Warta

Fatayat NU Desak Pejabat Pelaku Kekerasan Dipecat

NU Online  ·  Kamis, 22 Desember 2011 | 06:39 WIB

Semarang, NU Online
Fatayat Nahdlatul Ulama mendesak agar pejabat yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak dipecat. Sebab perbuatan jahat itu tidak bisa diterima oleh manusia beradab. Juga jelas melanggar hukum dan kemanusiaan.

Kemarin, dalam rangka memperingati Hari Ibu, Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah bersama Pimpinan Cabang Fatayat NU Kota Pekalongan dan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pekalongan menyatakan, pejabat negara harusnya mencerminkan diri sebagai pemimpin atau panutan masyarakat. Mereka harus  bebas dari tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
<>
Statemen itu disebar kepada wartawan terkait  kasus  penganiayaan (Pasal 351 KUHP) terhadap bidan bernama Wenty Hidayatillah oleh anggota DPRD Kabupaten Pekalongan bernama As’adillah Chumaedi yang telah menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Pekalongan.

“Kami meminta dengan tegas agar pejabat negara yang  menjadi pelaku kekerasan dipecat. Apalagi sudah menjadi terdakwa kasus penganiayaan terhadap perempuan,”  kata koordinator aksi Fatayat NU Atatin Malihah.

Atatin menjabat sekretaris Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A) PW Fatayat NU Jateng, juga menyampaikan mosi tidak percaya terhadap DPRD Kabupaten Pekalongan, karena masih membiarkan pelaku menduduki jabatannya di dewan.

“Kami juga meminta diterapkan ancaman hukum setinggi-tingginya bagi pelaku, agar menimbulkan efek jera. Ini untuk melindungi perempuan dan anak dari ancaman kekerasan,” tutur advokat ini.

Ia menegaskan, hari ini, Kamis (22/12) tim gabungan LKP3A, PW Fatayat NU Jateng, PC Fatayat NU Kota Pekalongan dan dan PMII Pekalongan akan menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Kabupaten Pekalongan  untuk memberi tekanan moral agar terdakwa As’adillah dihukum berat.

“Untuk memperingati Hari Ibu, kami akan menggelar aksi demonstrasi menuntut agar terdakwa dihukum seberat-beratnya,” ujarnya.

Atatin menambahkan, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 28 sudah mencamtumkan soal hak perempuan dan anak mendapat perlindungan dan persamaan hak atas rasa aman.

RI, lanjutnya, juga telah memiliki UU No 7 tahun 1984 tetang Pengesahan Konvensi  mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terharap Wanita (Convention on the Elimination of Allah Form or Discrimination Agains Woman;  CEDAW). Serta UU nomo 39 tahun 1999 tentang HAM.    

Karena itu, menurutnya, tidak ada alasan untuk menolak atau menunda penerapan hukum itu bagi pelaku kekerasan terharap perempuan.


Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Ichwan