Jakarta, NU.Online
Pro-kontra jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun PT Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) hendaknya menjadi bagian dari introspeksi pemerintah. Selaku operator urusan negara, pemerintah hendaknya kreatif mencari sumber-sumber pendanaan untuk mengatasi krisis pendidikan, demikian diungkapkan Ketua Umum PB PMII. Malik A. Haramain.
Menurutnya, “pendidikan itu harus berorientasi pada pencerahan, mencerdaskan dan tidak diskriminatif,” dengan kata lain, kebijakan pemerintah untuk membuka jalur khusus adalah bagian dari sarana pelestarian kelas sosial, sekaligus mengubur impian mobilitas vertikal kelas bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Bahwa dapat dipastikan hanya strata sosial tertentu yang dapat menikmati sekolah atau universitas yang bermutu. Sedangkan anak-anak orang miskin tetap dalam posisi tertinggal.
<>“Kebijakan ini diskriminatif dan semakin menjauhkan fungsi pendidikan sebagai media pencerahan, karenanya PMII menolak karena membuat masyarakat semakin tertindas dan kebijakan itu semakin tidak membantu untuk meningkatkan kecerdasan anak didik.” ungkapnya kepada NU.Online
Pendapat senada dikemukakan Sekjen GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Gifliani Nayoan, menurutnya jika mengacu kepada semangat pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kebijakan jalur khusus itu perlu dikritisi kembali.
“Kebijakan jalur khusus itu bernuansa diskriminatif dan kami tidak mendukung,” katanya. Namun dirinya mengakui perlu waktu untuk menguji kembali kebijakan itu dengan melakukan gerkan-gerakan moral sejauh itu efektif untuk mendorong terciptanya iklim pendidikan yang adil dan merata.
Sementara itu Ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Restu mengungkapkan, “untuk kepentingan seluruh masyarkat, kita menolak karenanya kebijakan itu masih perlu di kaji kembali,” Ia justru menanyakan apakah sudah waktunya subsisi pemerintah itu dihentikan ?
Pada masa sekarang, negara meningkatkan subsidi pendidikan hingga 20 persen dari APBN. Namun setelah Indonesia memasuki pusaran neoliberal, subsidi sebesar itu tidak signifikan, apalagi diperparah oleh korupsi yang terbendung, Termasuk dalam sektor pendidikan, negara melakukan deregulasi atau lebih dikenal dengan nama otonomi pendidikan. Kebijakan otonomi pendidikan ini menyebabkan sejumlah perguruan tinggi harus mencari dana sendiri, terutama dengan jalan bisnis atau istilahnya World Trade Organization (WTO) sebagai commercial service
Dengan kondisi ini kampus dituding telah meninggalkan misi sosialnya dan berubah menjadi sebuah usaha komersial. Perguruan tinggi menjadi semakin rakus mencari uang dan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab seolah lepas tangan.
Ditempat terpisah Andhika Rizky, Presidium Mahasiswa Trisakti menyatakan, keberatan karena jalur khusus itu bisa menimbulkan kesenjangan antara ekonomi yang kaya dan miskin. "Pendidikan jangan memberatkan mahasiswa, terutama orang tuanya. Jalur khusus itu bernuansa diskriminatif karena ada kavling untuk anak orang kaya," ungkapnya.
Dengan demikian, adalah tidak proporsional jika negara dan pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan anggaran pendidikan. Jika pendidikan bermutu disadari sebagai hak asasi dan jalan utama mencapai kemajuan hidup, maka pemerintah hendaknya menjadikan pendidikan sebagai prioritas anggaran negara. Termasuk di dalamnya menyediakan insentif demi kesejahteraan para dosen.(Cih)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat HUT Ke-80 RI: 3 Pilar Islami dalam Mewujudkan Indonesia Maju
2
Ketua PBNU Sebut Demo di Pati sebagai Pembangkangan Sipil, Rakyat Sudah Mengerti Politik
3
Khutbah Jumat: Kemerdekaan Sejati Lahir dari Keadilan Para Pemimpin
4
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
5
Sri Mulyani Sebut Bayar Pajak Sama Mulianya dengan Zakat dan Wakaf
6
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Wujud Syukur atas Kemerdekaan Indonesia ke-80, Meneladani Perjuangan Para Pahlawan
Terkini
Lihat Semua