Disesalkan Jika Hari Ini Bank Dunia Menolak Hasil EIR
NU Online · Rabu, 21 Juli 2004 | 23:47 WIB
Jakarta, NU Online
Hari ini, Kamis (22/7), Bank Dunia genap berusia 60 tahun. Meski usianya lebih tua dari Republik Indonesia, salah satu lembaga keuangan dunia yang paling banyak mengucurkan pinjaman kepada Indonesia itu dinilai lebih banyak menyeret masyarakat dalam penderitaan dibanding memberikan manfaat ekonomi.
Pembangunan waduk Kedung Ombo menjadi salah satu proyek Bank Dunia yang pembangunannya dilaksanakan dengan cara kekerasan pada masa rezim Orde Baru. Akibat pembangunan proyek yang mengabaikan keadilan sosial dan ekonomi itu, ribuan warga Kedung Ombo hidup terlunta-lunta sampai hari ini. “Jika dulu kami masih punya ribuan meter tanah, saat ini satu meter pun tidak punya. Untuk cari makan pun susah, karena untuk mendapatkan penghasilan Rp 10 ribu pun kami tak mampu. Karena itu, pendidikan kami, dan anak-anak warga Kedung Ombo terbelakang,”kata Paris Rajanto memberikan kesaksian dalam acara diskusi dengan tema: “Menggugat Fungsi Kelembagaan serta Akuntabilitas Bank Dunia Terhadap Proses Pembangunan di Indonesia”, Rabu (21/7).
<>Dalam diskusi yang diselenggarakan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dengan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Paris Rajanto 39 th, yang juga korban Kedung Ombo ini mengungkapkan,”Karena secara pendidikan tertinggal, untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI: Red.) pun dianggap tidak layak oleh PJTKI, sebab 20 warga Kedung Ombo yang sudah sampai di Jakarta diketahui tidak bisa membaca dan menulis, akhirnya mereka pun dipulangkan,”katanya mengisahkan.
Selain Kedung Ombo, dampak buruk yang diakibatkan dari pelaksanaan proyek Bank Dunia masih banyak. Di luar masyarakat yang menjadi korban, pelaksanaan berbagai proyek Bank Dunia dinilai banyak pihak rentan terhadap praktek korupsi, karena dikelola oleh mesin birokrasi yang korup, tidak transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Untuk menjawab kritik itu, salah satu langkah yang diambil Bank Dunia adalah dengan melakukan evaluasi independen untuk mengukur sejauh mana sumbangan proyek-proyek di sektor minyak, gas dan pertambangan pada upaya pengentasan kemiskinan melalui pembangunan yang berkelanjutan. Sistem evaluasi global dari Bank Dunia yang diberi nama Extractive Industries Review (EIR) itu diketuai oleh Prof.Dr. Emil Salim. Pada awal evaluasi tim EIR, Presiden Bank Dunia Wolfensohn berjanji akan memberikan keadilan kepada semua pekerjaan yang telah dilakukan dalam konteks EIR’.
Salah satu rekomendasi dari evaluasi yang dilakukan Tim EIR dari Juli 2001 sampai dengan Desember 2003 adalah permintaan kepada Bank Dunia untuk menghentikan pendanaannya dalam proyek-proyek tambang yang mengeksploitasi minyak dan batu bara, dan yang menggunakan metode pembuangan limbah tailing (lumpur limbah logam berat) seperti merkuri, arsent.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Longgena Ginting yang menjadi salah satu pembicara, rekomendasi ini diberikan, karena tim EIR menemukan proyek – proyek tersebut, selain meningkatkan kerusakan lingkungan, dan meningkatkan penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi penduduk lokal, juga membahayakan kesehatan masyarakat. Ginting pun mencontohkan tentang penyakit Minamata yang diderita 100 lebih penduduk sekitar teluk Buyat Sulawesi Utara dan telah merenggut korban jiwa diduga berat akibat pembuangan tailing yang dilakukan perusahaan tambang emas, PT Newmont Minahasa Raya (NMR).
“Serius tidaknya Bank Dunia dalam mempertangjungjawabkan kegagalan proyeknya, khususnya di Indonesia sangat tergantung pada kemauan politiknya menerima rekomendasi hasil EIR itu,”ujar Ginting. “Jika serius, maka Ultah yang ke-60 Bank Dunia akan menjadi unhappy, sebaliknya jika tidak serius, maka Bank Dunia akan merayakan kegagalannya dalam Ultahnya hari ini,”tambah Ginting.
Namun demikian, tipis kemungkinan Bank Dunia akan bersedia menjalankan rekomendasi EIR. Sebab menurut pembicara dari WWF Candra Kirana, untuk rekomendasi nomor 1 mengenai Prior Informed Consent (persetujuan tanpa paksa) dari masyarakat lokal dan masyarakat adat yang akan terkena dampak proyek, tampaknya tanggapan manajemen Bank Dunia kurang positif. Sebab, kata Kirana, kata Consent tersebut diganti menjadi Consultation yang jelas artinya negatif, karena hanya menjadikan masyarakat lokal dan masyarakat adat sebagai obyek kebijakan, alias konsultasi itu hanya bersifat basi-basi, dan jelas kurang menghargai hak – hak dasar yang seharusnya diberikan kepada mereka.
Keraguan Kirana semakin diperkuat oleh jawaban Bert Hoffman, pembicara dari Bank Dunia ini malah berkilah, “Apakah ada jaminan proyek-proyek pertambangan yang tidak didanai Bank Dunia akan berdampak baik,”kata Hoffman balik bertanya.(Dul)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
3
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
6
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
Terkini
Lihat Semua