Warta

Dilema Ramadhan di Maroko

NU Online  ·  Kamis, 11 Oktober 2007 | 23:04 WIB

Penetapan 1 Ramadan dan hari Raya Idul Fitri di Maroko selalu tergantung Sang Raja. Syeikh Dr al-Amin Mustofa Buchubzah, salah seorang anggota Parlemen Maroko yang juga pimpinan Ma'had Imam as-Syatibi, Tetouan, Maroko dengan tegas menyatakan, penetapan itu selalu saja diperbudak oleh kepentingan politis penguasa.

Hasil hisab dan rukyat dijegal. Sang raja dengan memproklamirkan diri sebagai “Amirul Mukminin", segala titahnya harus dilaksanakan, tak terkecuali penentuan awal dan akhir Ramadan sekalipun. Berbagai organisasi, LSM atau instansi dibungkam. Namun para tokoh yang dekat dengan penguasa pun melalui berbagai media selalu membantah, "Tidak ada politisasi puasa."
 <>;
Resikonya setiap tahun awal Ramadan di Maroko selalu terlambat dari negara-negara lainnya, temasuk dari negara-negara tetangga terdekat sekalipun, seperti Tunis, atau Libia, tahun ini Ramadhan di Maroko lambat sehari dibanding Indonesia. Hebohnya, pernah terjadi puasa Ramadan sampai genap 31 hari, pihak kerajaan baru mengumumkan jatuhnya Idul Fitri.
 
Ini tentu beresiko pula pada konteks keutamaan i'tikaf. Apalagi disinyalir banyak ahli, bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam-malam tanggal ganjil, tentu menjadi dilema, akibat penetapan awal Ramadan tidak jelas atau kurang tepat. Banyak pula rakyat berceletuk, “Biarlah sang raja yang menanggung dosa-dosa kita, jika terjadi kesalahan penetuan awal dan akhir Ramdan.”
 
Masjid Dikunci
 
Diantara keunikan trasisi di Maroko adalah shalat tarawih berjamaah di masjid-masjid dan mushalla-mushalla dibagi menjadi dua gelombang. Pertama, seusai sholat Isya delapan rakaat, dan gelombang. Kedua, menjelang waktu shubuh delapan rakaat, ditambah  tiga rakaat witir, setiap malam menghabiskan satu Juz Al-Qur'an. Total jumlah rakaat dalam tarawih berdasar mazdhab yang dianutnya, Maliky.
 
Masjid-masjid juga hanya di buka beberapa menit tiap menjelang dikumandangkannya adzan setiap waktu shalat lima waktu dan ditutup kembali seusai salat jama'ah. Termasuk di bulan Ramadan pun demikian. Ada banyak info, hal itu adalah interfensi pihak keraajaan melaui 'tangan' Departemen Agama (Maroko). Katanya mereka takut terjadinya gerakan-gerakan pemberontakan, terosrisme dan sejenisnya yang berawal dari masjid. Mungkin tidak jauh beda dengan Mesir, pasca tewasnya Anwar Sadad untuk menekan gerakan Ihkwanul Muslim, meski di Mesir Masjid 24 jam terbuka saat Ramadhan.

Khusus pada malam tanggal 27 di sebagaian masjid-masjid di Maroko dibuka selama 24 jam. Sedangkan malam tanggal 29 hampir semua masjid dibuka 24 jam, pada malam itu shalat tarawih secara berjamaah dilakukan semalam suntuk tanpa hitungan berapa banyak rakaatnya. Sampai banyak jamaah 'mengundurkan diri', keletihan.

Kebanyakan orang Maroko ber-qiyamul lail di rumah masing-masing. Selepas Salat tarawih(gelombang pertama) masjid dikunci kembali. Kita pun kerepotan untuk beri'tikaf, di masjid. Dibuka kembali mulai pukul 3.30 pagi menjelang dilaksanakannya jamaah shalat tarawih gelombang kedua, pukul 4.00. Ditutup kembali seusai jamaah shalat Subuh, sampai waktu Dzuhur tiba. 
 
Sambut Lailatul Qadar
 
Bila adzan Magrib berkumandang, mereka hanya memakan beberapa buah kurma dan menelan segelas air putih, buru-buru ke masjid untuk shalat magbrib berjamaah. Selepas shalat magrib mereka memakan harirah(makanan khas Maroko yang terbuat dari beberapa rempah-rempah) dan bermacam-macam manisan, dan makanan ringan khas Maroko. Makan malam (bukan sahur) selepas shalat tarawih, sekitar pukul 23.00. Sedangkan melaksanakan sahur sekitar pukul 3.00-4.00, sebelum pergi ke masjid untuk berjamaah shalat tarawih gelombang kedua.
 
Waktu subuh selalu berubah sesuai Musim. Jika musim panas, subuh pada pukul 3. 00 GMT dan Maghrib jatuh pada 8.00, siang hari cukup panjang. Ramadan kali ini jatuh pada musim semi, di awal Ramadan subuh jatuh pukul 4.25, tiap hari terus berubah sesuai peredaran 'gerbang' masuk pergantian musim, diakhir ramadan ini subuh jatuh pada pukul 4. 45 sampai 4. 55 GMT.
 
Jalabah (busana muslim tradisional Maroko) sejenis jubah atau gamis yang uniknya terdapat penutup kepala, bedanya bagi wanita dihiasi dengan bordir atau renda dan bahannya jauh lebih halus, daripada yang dikenakan pria. Meski oleh para desainer untuk perempuan akhir-akhir ini di modifikasi sedemikian rupa dan harganya mencapai ratusan dollar Amerika. Mereka kenakan pakaian-pakaian tersebut dengan alasan bahwa kegembiraan menyambut Lailatul Qadar, bak menyambut tamu agung, apalagi berhadapan dengan Idul Fitri'. Sebagaimana hari-hari biasanya. Muslimin dan Muslimat mengenakan pakaian kebanggaan dan tradisinya itu. 

Dengan pakaian yang mahal itu, terutama pada tanggal-tanggal ganjil di akhir bulan, tanggal 25, apalagi tanggal 27 dan 29 Ramadan. Mereka banyak yang pontang-panting dari masjid satu ke Masjid lainnya, melaksanakan shalat beberapa rakaat, kemudian pindah ke masjid lainnya dan seterusnya, meski jaraknya kadang jauh dari rumah mereka sekalipun. Tak jarang pula diantara mereka hanya sekedar jalan-jalan.
 
Di sini dengan pemukiman yang padat, dalam satu lingkungan terdapat 3-4 masjid dan banyak mushalla, tidaklah semacam pemukiman di Indonesia, antara masjid satu dengan lainnya sangat berjauhan jaraknya apalagi di daerah-daerah yang satu desa hanya terdapat satu masjid.
 
Dalam momen itu, Banyak para fotografer berbisnis musiman, di tepi-tepi jalanan tiap-tiap perkotaan, mereka memasang tenda dengan begron atau latar belakang ala Maroko, dilengkapi kursi dan sejenisnya. Banyak masyarakat yang berfoto ria. Katanya dua momen sekaligus, "musim Lailatul Qadar dan menyambut Idul Fitri"
 
Menjelang idul fitri, masyarakat tidak disibukkan dengan mudik atau sejenisnya, sebagaimana tradisi khas Indonesia. Bila Idul Fitri tiba, tidak ada silaturrahim antar tetangga dekat sekalipun, mereka bersalaman secukupnya selepas shalat Idul Fitri di masjid atau lapangan tertentu. Paling maksimalnya mereka saling silaturrahim antar anak-orang tua, kakak-adik. Atau hanya mengucapkan "Id Mubarak, Said" kepada orang yang dikenalnya bila kebetulan berpapasan di jalan. Tidak pula masyarakat disibukkan dengan mudik atau sejenisnya, sebagaimana tradisi di Indonesia.
 
Aji Mumpung

Jati diri Maroko adalah negara sekuler ditopang pula imbas geografisnya bertetangga dekat dengan negara-negara Eropa, tetapi setiap Ramadhan tiba, secara 'fisik' berubah seolah-olah laksana negara Islami.

Semenjak awal Ramadan, secara kasat mata, benar-benar para penduduk tampak mengkualitaskan Ibadah Puasa, utamanya ketika memasuki malam tanggal 21, Muslimin Maroko telah mengganti 'jurusnya' dalam beribadah, tampak lebih serus, jauh berbeda dibandingkan tanggal-tanggal sebelumnya. Lailatul Qadar adalah impian Mereka. Jauh berbeda dengan Ramadan di Indonesia dari awal hingga akhir kerap dibajak untuk kepentingan binis, atau kampanye terselubung politis. Atau minimalnya  ramadan hanya dominan sebatas simbolis belaka, spanduk dan pakaian muslim semusim yang juga masih dipelopori oleh para pelaku komersialis(artis dan politisi).
 
Di kereta api, para penumpang sepanjang perjalanan tampak ramai berdzikir, bertadarrus Al-Qur'an, termasuk para kondektur bis antar kota pun tak mau ketinggalan menenteng dan bertadarrus Al-Qur'an sepanjang perjalanan di sela-sela melayani para penumpangnya. Para pelayan toko, wartel, apotik, mengiringi kerjanya bersama alunan-alunan Al-Qur'an di saat pengunjung agak sepi. Di Maroko memang presentasi orang hafal Al-Qur'an sangat banyak, termasuk banyak anak-anak di bawan umur 10 tahun sudah hafal Al-Qur'an 30 juz, sebagaimana di negara-negara bagian Arab.
 
Cafe-cafe yang biasanya buka siang-malam, di bulan Ramadan tutup di siang hari. Harus jujur, banyak pula muslimin pribumi (uniknya) selepas jamaah salat tarawih di masjid banyak yang berbondon-bondong langsung menyerbu cafe untuk nongkrong hingga pukul 22.00 ada juga yang sampai Pukul 23.00 GMT. Sekedar info, cafe di sini adalah hanya tempat ngobrol kesana -kemari, dengan menyediakan berbagai minuman sejenis teh, kopi, dan makanan ringan, banyak  juga yang menjadikan cafe sebagai tempat berdiskusi ilmiah. Bukanlah cafe semacam tempat hiburan malam.
 
Para penggemar pakain mini pun tampak cuti. Sekedar info, imbas dari sekularisme, di Maroko para mahasisiwi program studi islamic studies, atau ushuluddin pun banyak yang berpakain mini masuk ruangan kuliah tanpa dilarang. Jujur saja, banyak sekali ditemukan, muslimin-muslimat Maroko yang berceletuk: "Biarkan saja putra-putri kita mau apa saja, bebas menikmati masa mudanya. Allah SWT Maha Pengampun, bisa taubat di hari tua." 
 
Saya bertanya kepada beberapa mahasiswi asli Maroko yang biasanya suka ber pakaian mini, yang  di bulan Ramadan ini mereka berubah total penampilannya. Alasan mereka: "Kita ingin mendapatkan Lailatul Qadar".
 
Ketika ditanya lebih lanjut, apakah setelah Ramadan masih akan tetap mengenakan busana muslim, ia menjawab: "Tidak ada rencana. Apalagi tiap datangnya musim panas kita para gadis Maroko 'wajib' beramai-ramai berpakain mini dan tiap hari berenang di pantai sepanjang hari. Saya berbusana muslim hanya karena mumpung Ramadan bulan penuh ampunan, semoga dengan sebab berbusana muslim saya dosa-dosa kita dalam setahun mendapat ampunan di bulan ini, itulah yang saya dengar dari orang-orang tua semenjak dulu,'' tandas mereka.

Nasrulloh Afandi
Kontribotor NU Online, belajar di Pascasarjana Universitas Qadi Iyadh Maroko