Warta

Di Pekanbaru, Anak-anak yang Putus Sekolah Capai 1.293

Kam, 20 Oktober 2011 | 11:43 WIB

Pekanbaru, NU Online
Data Dinas Sosial Kota Pekanbaru menunjukkan, anak putus sekolah di ibukota Provinsi Riau tersebut masih terbilang tinggi, yakni mencapai 1.293 orang.
Kebanyakan diakibatkan terbentur pada masalah biaya pendidikan, khususnya untuk meneruskan studi ke jenjang yang lebih tinggi, karena butuh ongkos semakin mahal. Saharudin mengatakan pula, daerah kecamatan yang paling banyak anak putus sekolah berada di daerah pinggiran kota Pekanbaru.<>

"Jumlah anak putus sekolah berdasarkan data tahun 2010 ini mengindikasikan kita masih menyisakan banyak masalah dalam dunia pendidikan," kata Kepala Bidang Pelayanan dan Pemberdayaan Sosial Dinas Sosial (Dinsos) Pekanbaru, Saharuddin kepada Antara, Kamis (20/10).

Ke-1.293 anak putus sekolah itu, tersebar di 12 kecamatan Kota Pekanbaru. "Jumlah anak yang paling banyak putus sekolah di Kota Pekanbaru, kebanyakan ada di usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)," ujarnya.

Selengkapnya, angka putus sekolah paling banyak terdapat di Kecamatan Tampan, berjumlah 251 orang dan di Kecamantan Tenayan Raya ada 240 orang. 

Kedua kecamatan itu, menurutnya, berada di pinggiran kota. Sedangkan kecamatan dengan angka anak putus sekolah paling sedikit, lanjutnya, terdapat di Kecamatan Lima Puluh, yakni sebanyak 31 orang.

Saharudin menambahkan, perlu ada atensi khusus untuk mengatasi penyebab utama anak terlantar dan putus sekolah di Kota Pekanbaru, yakni berhubungan dengan faktor ekonomi orang tuanya. "Kebanyakan orang tua tidak mampu atau tak punya biaya untuk meneruskan pendidikan anaknya. Mengingat semakin tinggi jenjang pendidikannya, kian mahal pula ongkosnya," jelasnya.

Situasi itu, menurutnya, menjadi penghalang kemajuan pendidikan di Kota Pekanbaru. Untuk itu, pihaknya kini berupaya memberikan pelatihan-pelatihan bagi ke-1.293 orang anak terlantar dan putus sekolah tersebut.

"Salah satu contoh pelatihan yang dilaksanakan di Dinas Sosial, yakni menggelar di bidang ketrampilan perbengkelan sepeda untuk anak usia 15-18 tahun. Sedangkan pelatihan untuk anak di bawah umur 10 tahun berupa kerajinan tangan," tuturnya.

Saharudin mengimbau kepada anak yang sudah mengikuti pelatihan jangan sampai melakukan kegiatan-kegiatan bertentangan dengan norma hukum, sosial maupun agama dalam kehidupan bermasyarakat.

"Bagi yang sudah diberikan pelatihan agar dapat mempergunakan ketrampilan tersebut dengan sebaik-baiknya dan memanfaatkan hasil pelatihan ini untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat," ujar Saharuddin.

 


Redaktur : Syaifullah Amin