Warta

Delegasi UMNO Tanyakan Soal Aceh

NU Online  ·  Sabtu, 26 Juli 2003 | 11:20 WIB

Jakarta, NU.Online
Peningkatan Operasi Kemanusiaan merupakan salah satu solusi dalam penyelesaian masalah Aceh, selain terus melakukan dialog disamping memberikan peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan, perbaikan ekonomi terhadap rakyat Aceh, langkah itu penting untuk mengimbangi operasi pemulihan keamanan, yang selama ini dinilai lebih menonjol, kata Ketua PBNU Ir. H. Sholahudin Wahid dalam Silaturahmi Kunjungan Delegasi UMNO dan Pemuka masyarakat Negeri Kelantan Malaysia di PBNU, Jakarta (26/03/2003)

Menurut  Gus Sholah akar Masalah utama konflik  di Aceh  adalah ketidakadilan yakni  adanya perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh mengenai keadilan dan hak-hak daerah. Diletakkan dalam kultur politik masing-masing, maka apa yang dianggap adil bagi Jakarta belum tentu demikian dirasakan rakyat Aceh, ungkap Sholahudin ketika ditanya oleh delegasi tentang duduk persoalan Aceh yang sebenarnya.

<>

Sama halnya dengan hak-hak daerah yang oleh Pemerintahan reformasi sekarang dipandang sudah maksimum. Sebaliknya di daerah dilihat sebagi tipuan semata. Status otonomi khusus, misalnya, barulah sekadar kata-kata. Ekspresi keinginan daerah, misalnya, selalu dijawab dengan tindakan represif.

Bahkan dalam penerimaan daerah pun, Jakarta terkesan tidak ikhlas dengan memperlambat penghitungan jumlah riel yang seharusnya diterima daerah dari sektor migas. Padahal, hitungannya sangat sederhana, yaitu 70 persen dari penerimaan negara yang diperoleh dari gas alam cair (LNG) Arun.

Jika ditelusuri sejarah pergolakan di Aceh, Baik DI/TII maupun GAM berangkat dari artikulasi kekecewaaan hubungan pusat- daerah. Hanya saja jika DI/TII menjadikan agama sebagai ideologi gerakannya, Hasan Tiro bermain dalam bingkai nasionalisme.

Lebih lanjut Ia menjelaskan buntunya kesepakatan antara GAM dan Pemerintah, sehingga digelarnya operasi militer di Aceh lantaran dalam kesepakatan itu hanya ada satu format alternatif. Yakni demiliterisasi atau penyerahan senjata. “Seharusnya ada alternatif-alternatif lain, yakni pemulihan martabat rakyat Aceh, berupa pemulihan ekonomi, dan penegakan hukum. Itu saja yang mereka minta. Ini yang tidak dilakukan pemerintah dan TNI,” tukasnya.

Namun dirinya memahami jika pendekatan keamanan itu dilakukan, karena jalan damai sudah gagal. “Ini terjadi juga karena pihak pemerintah dan elit berfikir politik semata. Dengan kata lain, konflik Aceh telah dimanfaatkan sebagai komoditas dan instrumen politik.

Dalam hal ini segera tampak, memburuknya keadaan politik di Jakarta, gaungnya di Aceh akan lebih keras terdengar dibanding di Ibu Kota RI. Tidak heran jika masalah Aceh muncul sebagai isu nasional bersifat kambuhan. Pada saat situasi politik di Jakarta memburuk, kebijakan pemerintah pusat yang lemah atau keras mendapat kecaman yang sama dari tokoh parpol, aktivis, atau LSM. Sementara ketika militer diabaikan dan mendapat tekanan dalam soal pelanggaran HAM di masa lalu, situasi Aceh cenderung memburuk dan serangan GAM meningkat. Termasuk penyerangan pos-pos TNI/Polri, penculikan penduduk sipil, dan pembakaran sekolah maupun gedung-gedung pemerintah.

Ikut Hadir dalam pertemuan itu Prof  Cecef Syarifudin, H.M. Rozy Munir, H. Syahrial Syarif, dan Dr. Anwar Musa, mantan menteri Pembangunan luar daerah Malaysia, yang  di dampingi sekitar 30  delegasi. Kunjungan  delegasi UMNO ke PBNU juga sekaligus undangan ke Malaysia  untuk lebih mengenalkan NU secara lebih dekat,  ungkap Dr. Anwar Musa. (Cih)