Warta

Debt Swept Dulu, Baru Yang Lain

NU Online  ·  Sabtu, 5 Maret 2005 | 11:37 WIB

Jakarta, NU Online
Tidak terlalu bermasalah bagi Pemerintah Indonesia untuk menerima tawaran Pemerintah Perancis untuk mengubah piutang negara tersebut menjadi saham di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia, asalkan negara tersebut tidak menghapus misi sosial dari BUMN. Namun, dibandingkan dengan konversi saham atau investasi, di sektor-sektor strategis, skema debt swept masih lebih menguntungkan Indonesia. Karena itu, Pemerintah harus menawarnya dalam bentuk debt swept dulu sebelum menerima skema yang lain.

“Persoalannya, apakah pemerintah Perancis bersedia turut menjalankan misi sosial dari BUMN di Indonesia? tanya balik Mustofa Zuhad, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat NU Online menanyakan pendapatnya, Sabtu (5/03) mengenai tawaran Pemerintah Perancis kepada Indonesia untuk mengonversi piutang negara itu di Indonesia menjadi saham di BUMN. 

<>

Lagi pula, tambah salah seorang ketua PBNU yang akrab dipanggil Cak Mus ini, harus ditinjau kembali tentang boleh tidaknya asing ikut memiliki saham di BUMN. “Kalau swasta nasional saja tidak boleh memiliki saham di BUMN, bagaimana dengan asing, berarti UU BUMN kan harus ditinjau,” katanya mengingatkan.

Kemungkinan yang dimaksud Cak Mus adalah BUMN yang belum go public, sebab dalam UU NO. 1 Tahun 1995 tentang perseroan terbatas (PT)  dikenal adanya pemegang saham independen dengan jumlah tidak lebih dari 20 persen dari masyarakat umum di BUMN. Selain itu, yang dimaksud Cak Mus, kemungkinan juga bukan termasuk BUMN yang diprivatisasi, sebab dalam pasal 72, 73 dan 74  dari UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN telah diatur ketentuan penyehatan BUMN dengan jalan restrukturisasi atau privatisasi dengan alasan penyehatan.

Meski bagi Cak Mus, usulan Pemerintah Perancis soal penyelesaian hutang itu diakuinya tergolong baru, bila usulan itu disetujui tetap harus tidak mengorbankan kepentingan sosial yang diemban BUMN. “Jangan karena meringankan beban hutang, lantas BUMN menjadi murni komersil. Kalau Perancis tidak bersedia mengikuti misi sosial BUMN, ya jangan disetujui,” ungkapnya.

Hampir sama dengan Cak Mus, Pakar Ekonomi Politik dan Analis Kebijakan Publik  Universitas Indonesia Andrinof A. Chaniago menanggapi usulan Pemerintah Perancis itu sebagai usulan yang baik selama skemanya menguntungkan buat Indonesia.

“Kalau skema konversi itu menguntungkan Indonesia ya tidak masalah untuk diterima. Sebab, dengan cara itu, asumsinya kewajiban Pemerintah Indonesia untuk membayar hutang luar negeri menjadi berkurang, apalagi skema konversi tersebut tidak mengakibatkan menipisnya devisa negara, hanya aset yang berkurang dengan masuknya saham asing itu,” jawab Andrinof.

Menurut Andrinof, bila Pemerintah menerima usulan dari Pemerintah Perancis itu, tetap tidak boleh mengorbankan kepentingan masing-masing BUMN dalam memberikan pelayanan barang dan jasa semurah-murahnya bagi masyarakat. “Jangan karena meringankan kewajiban, lantas menerima skema konversi itu dengan mengorbankan kepentingan masyarakat atas BUMN,” tandasnya.

Mengingat kepentingan masyarakat atas BUMN itu, Andrinof justeru mengusulkan agar Pemerintah tidak berpuas diri dengan serta merta menerima skema penyelesaian hutang dari Pemerintah Perancis itu. Sebab masih ada skema yang jauh lebih menguntungkan Indonesia, yaitu debt swept, di mana hutang Indonesia bisa dikonversi menjadi proyek konservasi lingkungan Indonesia. “Jadi tawaran Perancis itu harus ditawar dulu menjadi debt swept, hutang Indonesia kepada Perancis bisa dihapus, devisa tidak perlu berpindah ke luar negeri, saham BUMN juga tetap bisa utuh, keuntungannya jelas lebih besar,” usulnya.

Menurut Syafi’ Alielha, salah seorang pengamat ekonomi politik dari kalangan muda Nahdlatul Ulama, peluang Indonesia untuk mendapatkan debt swept sangat besar, sebab negara-negara industri maju seperti AS, maupun negara-negara di Uni Eropa, memiliki alokasi anggaran dalam APBN mereka untuk konservasi lingkungan untuk negara-negara berkembang.

“Anggaran itu kan bisa dibarter Indonesia dari uang yang dialokasikan untuk pembayaran hutang kepada mereka (kreditur) bukan dibayarkan dalam bentuk pembayaran hutang, melainkan untuk konservasi lingkungan. Dan itu sah, sebab kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industri mereka baik di negara mereka sendiri maupun di industri mereka di Indonesia kan harus dikonservasi,” papar Syafi’ lantang.

Namun Andrinof mengkritisi apa yang dikemukakan Syafi’. Menurutnya, tidak semua negara industri maju akan bersedia memberikan debt swept kepada Indonesia, apalagi Amerika Serikat (AS) yang menganut kapitalisme liberal, yang dicari hanya keuntungan sebesar-besarnya dari pinjaman dan investasi yang mereka telah berikan kepada Indonesia, meski seperti itu, AS masih terlalu mem-blow-up isu HAM.

“Potensi debt swept itu baru diber