Warta

Bosscha: 26 Oktober Hilal Baru Bisa Dilihat

NU Online  ·  Jumat, 24 Oktober 2003 | 12:41 WIB

Jakarta, NU Online
Sementara itu Kepala Observatorium Bosscha, Dr Moedji Raharto mengatakan, berdasarkan hasil perhitungan timnya keberadaan hilal sebagai penentu awal bulan Islam termasuk dalam menentukan awal Bulan Ramadan 1424 H baru bisa dilihat pada hari Minggu sore tanggal 26 Oktober 2003.

"Sebetulnya fenomena ijtima (menyatunya bulan dan matahari dalam satu garis) yang menjadi momen penentu awal bulan, telah terjadi sehari sebelumnya, tetapi karena terjadi setelah matahari terbenam sangat mustahil untuk bisa dilihat pada Hari Sabtu tanggal 25 Oktober 2003," katanya, di Lembang, Jumat.

<>

Di sela-sela kesibukannya menyelenggarakan peringatan 80 tahun Observatorium Bosscha, dia mengemukakan, fenomena ijtima yang menjadi tanda berakhirnya Bulan Syaban 1424 H terjadi pada pukul 19:51 Wib.

Fenomena tersebut jelas sangat mustahil untuk bisa disaksikan oleh orang yang melakukan pengamatan hilal di Indonesia karena terjadi di bawah ufuk wilayah Indonesia.

"Fenomena itu juga terjadi satu setengah jam setelah matahari terbenam dan satu jam lebih tiga puluh empat menit setelah bulan terbenam, jadi berdasar hasil perhitungan tak mungkin bisa disaksikan oleh masyarakat Indonesia pada saat ijtima itu terjadi," katanya.

Ketika ditanya pada titik mana letak fenomena ijtima itu terjadi, dia mengemukakan, ijtima terjadi untuk wilayah Barat Indonesia persisnya pada koordinat 95 derajat 21 menit Bujur Timur (BT) dan 5 derajat 54 menit Lintang Utara (LU).

"Kesimpulannya untuk wilayah Indonesia proses ijtima itu terjadi tanggal 25 Oktober 2003 sesudah matahari dan bulan terbenam pada ketinggian 0,8 derajat di bawah ufuk. Jadi hilal baru terlihat pada keesokan harinya tanggal 26 Oktober dengan posisi lebih dari dua derajat di atas ufuk," katanya.

KH Masturo pakar ilmu hisab dan rukyat dari Ponpes Alfattah, Tanjungsari, Sumedang mengatakan, kerap terjadinya perbedaan awal puasa antara muslim Indonesia dengan Muslim di negara lain berkaitan erat dengan posisi geografis Indonesia yang berada di belahan Timur dunia.

"Seperti anda ketahui wilayah kepulauan Indonesia membentang mulai 95 derajat Bujur Timur (BT) hingga 144 derajat Bujur Timur (BT), artinya wilayah negara kita hanya kurang sedikit dari ujung Timur Dunia (180 derajat). Dengan posisi seperti itu tak menutup kemungkinan bila di Indonesia masih belum tampak hilal sementara beberapa jam kemudian oleh muslim di bagian Barat dunia hilal sudah tampak, maka terjadilah perbedaan dalam menentukan awal puasa," katanya.

Di kalangan muslim Indonesia sendiri, kata dia, perbedaan itu bisa terjadi sehubungan dengan adanya perbedaan pandangan antara pihak yang berpedoman kepada hasil pengamatan hilal harus tampak dengan muslim yang berpedoman pada keseragaman awal puasa dengan menginduk ke Mekah sebagai induk negeri Muslim.

"Masalah perbedaan dalam menentukan awal Ramadan itu mestinya tak terjadi karena secara logika mustahil untuk satu dunia yang sama terjadi sampai dua hari awal Ramadan dan dua hari Idul Fitri. Untuk mengatasi perbedaan pendapat itu kita perlu seorang Khilafah yang menjadi pemimpin bagi seluruh muslim," ujarnya.

Â