Surabaya, NU Online
Semakin sering saja terjadi kecelakaan di Indonesia dengan membawa banyak korban jiwa. Mulai dari tabrakan mobil, pesawat jatuh hingga kapal tenggelam. Bahkan untuk kapal tenggelam sudah hampir beruntun dalam Minggu-Minggu ini. Tentu peristiwa yang tidak biasa itu memunculkan pertanyaan, apakah itu akibat kelalaian semata, ujian, atau sudah siksaan (sanksi) dari Allah SWT?
Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, KH Miftachul Akhyar, mengaku prihatin dengan banyaknya peristiwa kapal tenggelam yang terjadi akhir-akhir ini. “Sudah sangat memprihatinkan,” kata Kiai Miftah ketika dihubungi NU Online di Kantor PWNU Jawa Timur pada Kamis (29/9) siang.
<>
Musibah yang beruntun belakangan ini, menurut Kiai Miftah, sudah lebih cenderung ke arah peringatan, bukan lagi sebagai ujian. Bedanya, kalau peringatan diberikan kepada orang-orang yang tidak taat kepada tuntunan agama sebagai sanksi, sedangkan kalau ujian diberikan kepada orang-orang yang taat beragama sebagai proses menuju kenaikan derajat yang lebih tinggi. “Sepertinya sudah mengarah ke sanksi,” kata Kiai Miftah.
Kiai Miftah berkesimpulan seperti itu setelah melihat betapa banyak perilaku menyimpang yang terjadi di negeri ini. Perilaku-perilaku itu telah menggeser paradigma agama. Orang yang salah pun – sekarang lebih banyak – tetap merasa percaya diri, tidak pernah mengaku salah dan tidak pernah menyesali kesalahannya. “Justru biasanya malah menyewa pengacara untuk melindungi dirinya agar terhindar dari hukuman,” kata Kiai Miftah.
Soal tuduhan korupsi yang menimpa pejabat tinggi misalnya, masyarakat malah seringkali dibuat bingung, karena permasalahan biasanya malah berputar-putar. Kalau sudah kena, biasanya malah hanya anak buah. Ketika seorang pejabat tinggi dituduh korupsi, Kiai Miftah langsung percaya? “Sulit untuk tidak percaya, karna korupsi sudah saling menyandera pejabat tinggi di negara ini,” jelas pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah Kedungtarukan Surabaya itu.
Soal pemberantasan korupsi dan upeti misalnya, memang seringkali digembar-gemborkan oleh pejabat di tingkat pusat. Secara lisan biasanya mereka melarang hal itu dilakukan. Namun pada tataran praktek, mereka masih memberikan sinyal-sinyal ke bawah untuk tetap melestarikannya. “Karena yang salah sudah semakin banyak, yang benar dan lurus jadi makin sedikit. Yang benar malah seperti sendirian. Sulit,” papar Kiai Miftah.
Kiai Miftah mengutip sebuah kaidah dalam Bahasa Arab, jika kemaksiatan telah merajalela dan dibiarkan, maka balak (bencana) akan menyebar ke mana-mana. Dan kalau bencana sudah menyebar, orang yang tidak ikut-ikut (tidak melakukan kemaksiatan) pun akan kena dan merasakannya. “Na’udzubillah,” kata Kiai Miftah.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor: M. Subhan
Terpopuler
1
Guru Madin Didenda Rp25 Juta, Ketua FKDT: Jangan Kriminalisasi
2
Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno KH Raden Asnawi Kudus
3
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
4
Rapimnas FKDT Tegaskan Komitmen Perkuat Kaderisasi dan Tolak Full Day School
5
Ketum FKDT: Ustadz Madrasah Diniyah Garda Terdepan Pendidikan Islam, Layak Diakui Negara
6
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
Terkini
Lihat Semua