Warta

Ahmad Tohari: Tidak Ada ‘NU Kultural’

NU Online  ·  Rabu, 9 April 2008 | 05:03 WIB

Banyumas, NU Online
Istilah ‘NU kultural’ bagi warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin) yang tidak berada dalam struktur kepengurusan NU itu menjerumuskan. Berbicara NU adalah berbicara dalam konteks jam’iyyah, organisasi atau struktrur.

Demikian dikatakan budayawan dan sastrawan NU, Ahmad Tohari, saat menerima kunjungan Pengurus Koperasi Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Losari Kabupaten Cirebon, di rumahnya, Jatilawang Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (8/4) kemarin.<>

“Demikian juga istilah jama’ah. Ketika mengucapkan jama’ah itu juga jangan berimajinasi ada di luar garis NU. Jama’ah atau warga NU masuk pada wilayah struktur NU juga. Ngomong NU itu ya ngomong organisasi dengan segala pernak-perniknya,” katanya.

Jika yang dimaksud ‘NU Kultural’ itu adalah kesamaan ritual atau aktivitas berupa, sembahyang subuh qunut, tarawih 20 rakaat, tahlilan, haul, maulidan, tumpengan, bahtsul masa’il, bedug atau kentongan di masjid atau mushola itu juga salah. Menurut Kang Tohari (panggilan Ahmad Tohari), ritual atau aktivitas semacam itu sudah ada jauh sebelum NU didirikan. Itu adalah kultur Islam Nusantara yang bermadzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).

“Memang istilah NU Kultural merupakan alat resistensi kepada para pengurus NU dari mulai ranting hingga pengurus besar. Kita harus jujur, kebanyakan pengurus NU tidak berdaya menghadapi problem-problem klasik dan kontemporer jama’ahnya. NU belum banyak melakukan pemberdayaan di bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya," katanya.

Sastrawan beken yang tujuh tahun terakhir ini bergiat melakukan pemberdayaan ekonomi untuk rakyat kecil di Banyumas berpendapat bahwa pengurus NU, baik yang ada di badan otonomi ataupun lembaga sempat kelabakan menghadapi serangan gerakan Islam transnasional, serbuan budaya liberal, ekonomi kapitalis yang jahat, dan sintron-sinetron.

“Ya, memang ada upaya melawan, tapi cenderung anget-anget tahi ayam, reaktif dan sporadis, tidak istiqamah, sistematis dan strategis. Sehingga bisa kita sebut dengan gerakan,” kata penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini.

Buktinya, kata Kang Tohari memberi contoh, NU gagap dengan gerakan Islam transnasional, tak berdaya menyaksikan sinetron yang membodohi penduduk negeri ini tiap malam, kita bingung melihat film 'Fitna', diam saja melihat minimarket masuk gang di desa-desa.

“Mestinya kan tidak, wong Islam kanan itu sudah menjadi musuh kita sejak NU lahir, wong 'Fitna' itu cuma film sampah, wong menggerakkan para pedagang itu sudah dimulai sejak Kiai Wahab Hasbullah kok. Masa kita lupa?” selorohnya.

Aktivis Pengurus Pusat Lembaga Kajian dan pengembangan Sumber Manusia (Lakpesdam) NU, Hamzah Sahal, yang juga hadir dalam kesempatan itu mengatakan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) perlu melanjutkan acara harlah NU yang ke-82 dengan menggelar refleksi dan evaluasi yang mendalam, fokus, terbuka, dan komperhensif.

“Pidato Pak Hasyim (KH Hasyim Muzadi) sewaktu Harlah, juga diskusi-diskusi dan tulisan di koran-koran kemarin banyak yang bagus. Menurut saya ini harus ditindaklanjuti dengan evaluasi dan kemudian digerakkan, biar tidak berhenti pada hajatan masal saja,” katanya.

Acara bertajuk silaturahim pemberdayaan ekonomi umat harus dikembangkan. Menurut Hamzah, PBNU harus berterima kasih karena warga NU seperti Kang Tohari yang mau berinisiatif mengembangkan ekonomi warga NU . Diharapkan koperasi seperti yang dikelola MWC NU Losari Cirebon akan bermunculan di mana-mana.

Sebelum berkunjung ke rumah Ahmad Tohari, Pengurus Koperasi MWC NU Losari Cirebon melakukan kunjungan dan studi banding ke Bank Perkriditan Rakyat Syari’ah (BPRS) Artaleksana dan BMT Al-Amin yang berada di kompleks ruko Pasar baru Wangon, Banyumas. Kedua lembaga keuangan itu dirintis Ahmad Tohari dan H. Iwan tujuh tahun terahir dan sekarang ini telah memiliki aset tidak kurang dari Rp 3 milyar. (man/ade)