Warta

Ada Sosok dan Perilaku Nabi yang Tidak Bisa Ditiru

Rab, 8 Februari 2012 | 15:03 WIB

Semarang, NU Online
Para ulama ahli hadis telah sejak dulu memberikan pedoman, Rasulullah sebagai teladan bagi umat adalah tentang moralnya. Akhlak dan amal ibadahnya. Bukan fisiknya. Sunnah yang melekat pada Nabi ada dimensi syariah dan dimensi basyariyah (kemanusiaan).  

Dalam Haflah Maulidurrasul 1433 H yang digelar Badan Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di ruang sholat MAJT belum lama ini, KH Habib Umar Muthohar asal Semarang menerangkan, Nabi Muhammad itu kalau berjalan di bawah matahari, tidak ada bayangannya. Karena beliau sendiri adalah nur, cahaya. Ini jelas tidak bisa ditiru siapapun karena keistimewaan yang dianugerakan Allah secara khusus. 

Soal fisik Nabi, lanjut Bib Umar, sapaan akrab Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Semarang ini, jelas tidak bisa ditiru umatnya. Kata dia mengutip sebuah hadis,  tubuh Nabi tidak pernah dihinggapi lalat karena Nabi tidak punya bagian tubuh yang tidak enak.  Bahkan keringatnya pun baunya wangi. 

“Istri Baginda Rasul, Sayyidatina Aisyah Radhiyallahu ‘anhu menyaksikan sendiri, ketika Rasulullah tertidur dan jidatnya berkeringat, Aisyah mengusap kening suaminya itu. Ternyata keringatnya wangi, bahkan sampai-berhari-hari,” tuturnya di hadapan seribuan orang hadirin.  

Seterusnya, Nabi Muhammad sebagai orang Arab yang hidup di zaman itu, tidaklah menjadi syariat umatnya seluruh dunia harus berpenampilan seperti beliau. Semisal memakai jubah dan surban model Arab, ditambah jenggot panjang dan terompak dari kulit unta. Itu tidaklah syariat dan tidak untuk ditiru, sebab hal merupakan dimensi basyariyah Nabi. Masuk ranah budaya. Bukan agama. 

“Sekarang ini umat Islam dibuat bingung oleh sekelompok orang aneh. Semua serba bersimbol Arab. Seolah kalau tidak Arab tidak Islam. Inilah kalau belajar agama tidak secara benar. Yakni tidak belajar pada kyai  atau ulama, malah pada radio,” terangnya sambil bercanda. 
Soal amal ibadah pun, lanjutnya, sulit bisa meniru Rasulullah. Sebab Nabi kalau sholat sampai bengkak kakinya. Sedangkan umatnya, setelah bengkak baru mau sholat. 


Cintai Maulid
Cara belajar agama yang benar,  kata sayyid (keturunan Rasulullah) ini, orang harus membaca kitab sejarah peri kehidupan Rasulullah. Yaitu kitab Maulid.  Jumlahnya banyak, baik semua. 

Di antara yang populer adalah Al-Barzanji, Burdah, Ad-Diba’. Di perpustakaan Universitas Al-Azhar Mesir ada 150 Kitab Maulid.  Mana yang bagus? Bagus semua. Mana yang tidak bagus, tidak ada. 

“Yang jelek adalah yang tidak mau membaca atau membacakan kisah sejarah Nabi Muhammad SAW. Lebih buruk lagi, sudah tidak mau membaca, masih pula menyalahkan orang yang membaca  atau  membacakan kisah kehidupan Nabi,” kritiknya seraya heran mengapa ada orang yang menjelek-jelekkan Maulid Nabi. 

Orang yang tidak mengerti sejarah kehidupan Nabi, maka tidak kenal dengan Nabi. Bagaimana bisa mencintai, sedangkan kenal saja tidak. Hal inilah yang melanda banyak remaja sekarang. 

“Remaja dan anak-anak muslim sudah banyak yang asing atau tidak pernah mendengar cerita tentang Nabinya. Mereka malah dijauhkan dari Maulid dengan tudingan bid’ah, agar tidak pernah mengerti sosok panutannya itu. Sehingga mereka menjadi generasi yang bingung. Lalu bermoral buruk, tidak takut dosa dan seterusnya,” ujarnya. 

Bib Umar menguraikan, masyarakat sekarang sedang dilanda kebingungan. Ada bapak bingung, anaknya diajari moral baik di rumah, malah anaknya memakai narkoba di luar rumah. Ada anak bingung, lanjut dia, disuruh sholat dan mengaji, bapaknya sendiri malah tidak sholat dan malas ngaji. 
“Teruslah gelar Mauludan. Ulama kita sudah mengajarkan untuk senantiasa mencintai Kanjeng Nabi. Buktikan cintamu dengan senang menyebut nama dia dan rajin bersholawat untuknya,” pinta dia sambil mengajak membaca sholawat. 

Ikutilah Ulama 
Lebih tegas Habib Umat mengajak kaum muslimin untuk mengikuti ulama. Sebab ulama adalah pewaris para nabi. Jika ulama jadi panutan, maka negara akan aman. 

“Ikutilah ulama. Negara ini aman jika kita manut pada ulama. Belanda diusir, PKI ditendang, umat diselamatkan. Jangan ikut kaum berjenggot. Rusak agama kita. Masjid dibom, anak muda disuruh bunuh diri, dan kerusakan lainnya,” jelasnya. 

Beda ulama dengan orang jenggotan, kata Habib, kalau ulama, sejak zaman Walisongo, selalu berusaha mengislamkan orang kafir. Sedangkan kaum berjenggot malah mengkafirkan umat Islam. 

Ia pun mengajak umat Islam untuk menjauhkan diri dari akhlak madzmumah. Yaitu dengan  tidak menjelek-jelekkan sesembahan orang lain atau mengejek amalan orang lain. Jika hal itu dilakukan, kata dia, orang lain akan balas menjelek-jelekkan umat Islam sendiri. Allah juga akan ikut dijelek-jelekkan. 

“Prinsip agama itu, jangan mencubit orang jika kita tidak mau dicubit. Jangan menjelekkan amalan atau sesembahan orang lain, karena itu akan membuat sesembahan kita dijelek-jelekkan,” pesannya. 

Menyitir sejarah wali, Habib bercerita, Sayyid Ja’far Shodiq alias Sunan Kudus meminta umat Islam menghormati umat Hindu, termasuk melarang menyembelih sapi yang oleh orang Hindu dihormati. 

Hasilnya, seluruh orang Hindu di Kudus masuk Islam. Sampai sekarang, akan sangat sulit mencari orang Hindu di Kudus. Itu hasil dari penghormatan, hasil dari akhlakul karimah dalam berdakwah. 

“Jika Sunan Kudus suka menghujat, mungkinkah umat Hindu mau masuk Islam?,” tanyanya bermaksud menasehati.



Redaktur     : Syaifullah Amin
Kontributor : Mohammad Ichwan