Taushiyah

Pidato Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi pada acara Rakernas Rabithah Maahid Islamiyah (RMI)

NU Online  ·  Selasa, 5 Juni 2007 | 11:39 WIB

Disampaikan pada 19 Mei 2007 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta


Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Yang terhormat pengurus Rabithah Maahid Islamiyah

Para peserta Rakernas yang saya hormati, pesantren merupakan modal pertama dan modal utama Nahdlatul Ulama, bahkan dia menjadi modal utama dan pertama untuk keserasian hubungan antara agama dan negera yang tidak bermasalah karena pemikiran keagamaan pesantren yang non pesantren terbukti sepanjang sejarah ada saja problematika antara pemikiran agama dan ke-In<>donesiaan.

Sekarang pemikiran pesantren yang tawassuth dan i’tidal yang mengenal fikhulahkam, fikhuddakwah dan fikhussiyasah ini laku sekarang di dunia internasional karena banyak orang yang menggunakan fihkulahkam tidak mau menggunakan fikhuddakwah sehingga selalu orang dihukumi jelek tetapi tidak ditunjukkan al wa’du wal irsyad. Maka terjadilah konflik, agitasi kemudian provokasi berdasarkan agama yang ujung-ujungnya adalah konflik.

Bahkan lebih daripada itu, ada hizbuttafsiri yang selalu mengkafirkan orang lain tetapi tidak berupaya orang yang dikafirkan untuk diislamkan. Kelompok ini lebih suka membunuh daripada menghidupi orang, lebih senang mencaci maki dengan harapan dapat pahala caci maki itu daripada kalamullah. Kelompok ini lebih suka dan gembira menyengsarakan orang yang tidak sama dengan dia daripada menyelamatkan orang lain. Mereka tidak mengerti fikhusiyasah sehingga akhirnya yang terjadi adalah agama masuk di Indonesia menjadi faktor dan problem perpecahan, bukan faktor untuk menata kehidupan.

Yang bisa menenangkan ini adalah kita, pesantren, bukan sekolahan. Dan pesantren pun adalah pesantren yang betulan, bukan pesantren kilat, dua minggu selesai, tiga hari selesai. Dia tahunya Allahu Akbar tetapi tidak tahu Astaghfirullah. Tetapi sayang, potensi pesantren meng-NU yang meng-Indonesia dan mengglobal ini belum pernah secara wajar dan pantes dirawat, dihargai dan dikembangkan, termasuk oleh NU sendiri. Jadi NU-nya itu nunut pesantren, bukan pesantrennya yang dikembangkan dari jamiyyah Nahdlatul Ulama.

Masalahnya apa, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa pesantren sampai hari ini belum terawat secara baik. Pertama karena pesantren sesungguhnya tumbuh dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah, bottom up, bukan top down. Kedua, masing-masing ulama memiliki otoritas sendiri yang sulit dimasuki kalau tidak sama fikirannya. Yang ketiga, pesantren memperkuat kultur tetapi belum memperkuat struktur dan belum memperkuat manajemen.

Penyeragaman pondok pesantren tidak semudah yang diduga karena ia bukan bagian dari pusat tetapi pusat inilhah yang disangga oleh seluruh pesantren. Maka misalnya sebuah perusahaan, pesantren ini bukan agen dari PBNU, ia tumbuh sendiri-sendiri, cuma yang kita harapkan ada sistem yang bisa diterapkan. Nah, inilah hal-hal yang menjadikan pesantren ini susah untuk diseragamkan, tetapi kekuatan pesantren sendiri secara kultural saya kira akan tahan dalam waktu yang sangat panjang.

Saya kadang-kadang iri kepada Muhammadiyah yang seluruh sekolahannya ada Muhammadiyahnya. Saya kadang-kadang malu kalau ditanya ini semua sekolah kok ada Muhammadiyahnya, “NU-nya mana?” Saya jawab, “Pokoknya yang nga ada Muhammadiyahnya miliknya NU, sangkeng angele ngolek jawaban” Ini katanya pesantren NU, tetapi apa iya dalam koordinasi NU? Pertanyaan ini bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Ketika saya mengajukan dana ke IDB, ditanya, kalau pesantren NU konstituennya mana, legal formalnya mana? Itu diperlukan. Lha ini kita tidak punya, akhirnya saya yang malu dikiranya akon-akon punya NU. Disisi lain pesantren sendiri tidak bisa berangkat ke sana karena jangkahnya nga nutut. Ini baru dari segi pendanaan. Akhirnya dana-dana internasional disedot oleh perseorangan atau kelompok-kelompok kecil yang punya institusi atau oleh kelompok besar yang institusinya jelas. Saya kira kalau kita bisa memperbaiki di bidang ini, kita ada peluang. Kita akan minta uang dari Indonesia itu dari mana, wong sama mlaratnya, sekarang ini para wali santri pada minta potongan, banyak yang nga bisa bayar karena dhuafa wal mustadafien. Mau minta ke masyarakat, yang keluar juga uang logam. maka harus ada uang raksasa untuk membangun pesantren.

Jadi penataan secara franchise harus ada hal-hal yang disepakati, apakah kurikulum, apakah nama, apakah landasan sehingga bisa dicarikan perlindungan secara bersama. Selanjutnya yang kedua, institusi dari Rabithah Maahid Islamiyah dibawah NU, belum pernah menjadi institusi yang cukup berwibawa dihadapan pesantren-pesantren, belum pernah, mulai Saya jadi ketua ranting NU di Malang sampai saya ketua umum PBNU, belum pernah ada institusi RMI yang begitu berwibawa sehingga ia bisa mengatur manajemen pesantren. Nah, setelah dipelajari sebabnya apa, ternyata karena yang jadi ketua RMI ini punya pondok sendiri, jadi mesti untuk dirinya sendiri yang gedhe, dha dhuman-dhumani pondok yang lain. Ketua RMI sebaiknya jangan yang punya pesantren, tapi orang yang mengabdi kepada pesantren, maka muncullah Kiai Mahmud Ali Zain. Alasannya bukan pengasuh pondok pesantren tetapi bisa mengembangkan ekonomi pondok pesantren dan sudah terbukti sekarang jadi DPD. Artinya apa, ini orang pesantren, sudah skala nasional dan tidak hanya menganakemaskan pesantrennya sendiri, langsung dipakai. Masalahnya sekarang, timnya harus diperkuat, maka saya minta setelah Rakernas ini, ada perbaikan di tingkat pusat RMI sendiri.

Pertama, orang-orang yang memang tahu pesantren, kemudian mau kompak, tidak benceng ceweng, Masing-masing orang memiliki kapasitas pembidangan, spesialisasi. Maksudnya, pesantren tidak akan beres kalau tidak beres dengan pengasuhnya. Karena pengasuh ini pepunden pesantren. Siapa orang RMI yang bisa muter-muter kemudian matur kepada ulama-ulama. Sekalipun itu bukan ketua RMI, tetapi harus ada orang yang atas nama RMI melakukan hal itu. Kalau omong itu didengan sama kiai. Ini harus ada, yang well organized.

Spesialis yang kedua adalah siapa yang melakukan pelatihan manajerial dan pelatihan skill kepada orang kedua di dalam pesantren. Bagaimana administrasinya, pengembangan ekonominya, skill-skill-nya, dan sebagainya. Ini harus ada orangnya. Sebenarnya PBNU membuat bisnis untuk pesantren. Silaturrahmi antara ulama ahlusunnah wal jamaah ini sudah tempuk, mulai ujung Australia sampai ujung Marokko, sudah ketemu tokoh-tokoh berat ahlusunnah wal jamaah, sudah kenal kita dan karena sudah kenal kita tahu bahwa kapasitas kita jauh dari mereka. Contoh, saya ketemu Syeikh Wahbah Zuhaini, saya ketemu Syeikh Said Rambahan al Buthi, pidatonya langsung jadi buku, tanpa editing, berarti tidak ada kalimat yang terbuang, kelasnya seperti itu.

Maksud saya, bagaimana ada peningkatan standarisasi keilmuan ulama, bukan hanya keilmuan kiai, karena kalau kiai itu sebutan orang, kalau ulama sebutan al Qur’an. Yang kedua, sambung ilmu pengetahuan. Yang ketiga untuk bisa diakui tingkat lulusan pesantren. Yang keempat bagaimana kalau kita ke negera-negara lain bisa tijaroh disitu untuk mengembangkan nahdlatut tujjar disamping taswirul afkar disamping komite hijaz pada awal pendirian Nahdlatul Ulama. Jadi kita ke luar negeri bukan untuk luar negeri. Yang kelima, untuk menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin, maka kita tawarkan tawassuth dan i’tidal, bahwa ahlusunnah kita berkebalikan dengan ahlul bid’ah wa’ dholalah. Kita tidak tidak tatorruf yamini, kita tidak tatorruf yasari, tidak zalaki, toh sesuai dengan ajaran Nahdlatul Ulama dan ini laku.

Yang belum netes ini di bidang ekonomi, tapi hampir. Kalau saja, satu atau dua negera mau memberi konsesi minyak kepada NU, dalam satu atau dua tahun, seluruh pesantren NU akan berkembang, mudah-mudahan amalannya mandi. Ini sulit karena liku-likunya, kalau sudah ekspor-impor, bicara tambang, isinya mafia internasional. Tapi banyak negera-negara yang ingin membantu kita, cuma tangannya belum nyampe dan tangan kita belum nyambung kesana dengan sistem manajemen yang baik. Oleh karenanya maka saya minta RMI di semua tingkatan ada yang mengatur manajemen, mengadakan berbagai pelatihan dan sebagainya. Ini tidak bisa diberikan kepada masayikhnya. Pelatihan ke luar negeri juga sudah kita coba.

Kita sudah mulai dari Barat, Timur, dan Tengah, tinggal bagaimana kita mengintensifkan. Setelah itu, harus ada ahli untuk pengembangan kurikulum yang bersifat tasfiyah dan tanmiyah sekaligus. Tasfiyah adalah bagaimana memurnikan ajaran kitab itu sesuai dengan pendiri NU, tetapi karena pemikiran-pemikiran sekarang harus dikembangkan, maka bagaimana mengembangkan pemikiran yang tidak keluar NU. Dan kemurnian yang dikembangkan harus seimbang antara tasfiyah dan tanmiyah. Dan ini sukar karena kalau tasfiyah saja kita kolot, kalau tanmiyah saja, jadi liberal.

Ada seorang kiai di Malang bilang, dhadekno anak kolot iku lebih sulit daripada menjadikan anak modern, “Lho kok bisa kiai?” “Iya anak saya yang tiga itu tidak saya apa-apakan itu sudah modern. Jadi modern itu gampang, diculno lak wis biayaen dewe

Kita ini ditantang bahwa katanya pesantren ini tidak bisa memproduk ulama kaliber internasional karena tidak ada sistem yang menghantarkan. Yang kedua, ilmu agama di pesantren terpisah dengan ilmu umum sehingga pesantren memerlukan SMA, SMP, Aliyah sehingga tidak bisa built in di dalam sistem metodologi pesantren. Ini memerlukan tim tersendiri untuk memikirkan itu.

Kemudian para Bapak yang saya hormati, diperlukan sebuah tim ahli untuk menginventarisasi legal formal pondok pesantren.  Kadang-kadang pondok pada waktu dipimpin pendirinya aman, ganti putranya sudah lain, mulai ada tarik menarik karena tidak jelasnya wakaf, sampai tidak jelasnya legal formalnya.

Lagi ada satu problem, kalau pesantren itu sudah ditinggal pendirinya, maka menjadi problem apakah putranya itu sekaliber dengan ayahnya. Saya saja pesantrennya ecek-ecek, itu sudah mikir. Kalau pada zaman pendiri, didirikan dengan penuh tattorruf, mujahadah, pengorbanan dan sebagaianya, setelah ini meninggal, yang menggantikan tinggal menerima lambang-lambang kebesaran sehingga bajunya adalah kebesaran, artinya kegeden. Ini problem, jangan dibilang ini sesuatu yang gampang.

Dulu, para ulama kan jarang, Gus-nya dititipkan disana-sini supaya tumbuh mujahadahnya. Begini-begini ini mesti harus difikirkan. Ini adalah problem di dalam pesantren yang harus kita fikirkan dan kita atasi dalam musyawarah nasioanal ini kemudian dimandatkan kepada pimpinan pusat. Dan Pimpinan pusat dalam waktu tiga bulan harus memberesi ini. Saya sudah bilang Kiai Sahal, “Iki nek orang iso diganti ae, “Jangan diganti”, “lho kene opo?”, “Sing ngganti podo ora isone”. Repotnya RMI kan itu, jadi gilirane yo giliran ora iso, kan soro. DPR itu giliran, ya giliran rejeki, bukan perjuangan.

Ini masalah-masalah besar, sekarang masalah kedua adalah tarik menarik antara pesantren dengan masyarakat, karena pesantren telah menjadi titik berat kultur, maka dia akan punya lintas pengaruh baik pada santri dan wali santri berdasarkan struktur ta’limul mutaallim atau lingkungan kiri kanan karena faktor fadhilah, maunah dan karomahnya para kiai.

Nah, karena sekarang zaman reformasi, maka semua orang yang mau naik jadi politisi memerlukan massa. Mereka mau tidak mau pasti menghubungi titik-titik kuat ini. Ketika dihubungi titik kuat, si politisi datang dengan politiknya, kiai menerima dengan segala kepolosannya. Jadi yang satu membawa kalkulator, yang satu dihadapi dengan tasbih. “Ya kalah terus tasbehe”. Dan tidak merasa bahwa ia sedang dikalkulasi oleh tamu yang datang ini. Kebiasannya kiai ya ahlul khoir, Karena itu maka akhirnya pesantren menjadi sasaran kepentingan politik dan kekuasaan, bukan menjadi sumber politik dan kekuasaan. Akhirnya posisi kita menjadi maful paling top naibul fail dan belum pernah menjadi fail. Menjadi obyek dan belum pernah menjadi subyek. Paling pol tidak ikut sana, tidak sini tidak. Kehadiran para politisi ini kadang sedikit memberikan manfaat, kadang memberikan mudhorot, kadang memberikan manfaat dan kadang seimbang antara manfaat dan mudhorot.

RMI harus punya disiplin, saya minta dicatat, lembaga-lembaga dilingkungan Nahdlatul Ulama tidak boleh membuat MoU sendiri dengan fihak luar. Harus ditandatangani oleh PBNU sekalipun hak dan pekerjaannya dilimpahkan kepada lembaga, seperti lembaga ekonomi, pertanian, kesehatan, semua sudah tandatangan dengan menteri-menteri, tetapi yang tandatangan rais aam dan ketua umum tetapi ada klausul pelaksanaannya dilimpahkan kepada lembaga. Oleh karenanya sebenarnya hampir semua menteri di negera ini berkepentingan dengan pesantren. Manajemen eksternal ini harus ditata.

Kedua, pengurus RMI sendiri, tidak boleh mengatasnamakan RMI keluar tanpa setahu ketua RMI dan ketua RMI bertanggung jawab pada PBNU. Nek ora ngono playon dewe-dewe wong, maka hancur. Keahlian kita ini sebenarnya di bidang proposal. Dan kehancuran RMI di periode yang lalu menjadi tidak dipercaya oleh fihak luar karena banyaknya surat-surat yang tidak bertanggung jawab.

Para hadirin dan hadirat, yang saya hormati, ini betul-betul peringatan dari saya, kalau RMI mau melakukan seperti yang saya katakan tadi, dengan masing-masing spesialisasi, dan spesialisasi bergerak secara terkoordinasi, bukan hanya milyaran, saya kira trilyunan bisa masuk ke RMI. Kalau di lembaga lain tidak ada alasannya. Semua departemen berkepentingan terhadap pesantren dan semua departemen sesungguhnya memiliki dana untuk itu tetapi kita tidak melakukan komunikasi yang intens.

Untuk melakukan komunikasi yang intens ini, diperlukan pembagian kerja orang per orang untuk menghubungi masing-masing departemen secara sendiri-sendiri. Siapa yang ditugasi ke depag, untuk departemen pertanian, Depdiknas, sekretariat negera itu harus tertata sedemikian rupa dan terkoordinasi.

Sebenarnya itu bisa diketahui dimana letak mata anggaran yang bisa diambil melalui APBN dan melalui APBN ini anak-anak kita yang di DPR bisa membantu lebih awal karena dia yang menyusun, hanya sayangnya kalau sudah jadi DPR itu emoh dijalui sokongan. Tapi sebenarnya, kalau RMI seluruh anggota DPR yang seluruh lintas fraksi yang NU ini diajak ngomong untuk didesakkan, dan itu jauh lebih terhormat daripada yadussufla. Tepuk tangan kita ketika proposal berhasil, bukan ketika kita berhasil membantu fihak lain.

Jadi kita ini punya kue sangat besar tidak diapa-apakah, akhirnya dirubung semut karena kesalahan kita sendiri. Oleh karenanya bagaimana memproses kekuatan kultur pesantren menjadi kekuatan manajemen, menjadi kekuatan produksi, menjadi kekuatan ekonomi, kolo-kolo menjadi kekuatan politik, tapi terkoordinasi. Saya mikir ini kalau bisa jalan 10 tahun, Alhamdulillah. NU ini baru bisa dikoordinir melalui tahlil, “nek tahlil disinggung, ngamue barengtapi diluar itu, dalam politik, semua buka dasar sendiri-sendiri.” “Nek ditakoni, opoo nga milik teman sendiri, jawabe pesantren kita kan juga butuh genteng, talang kita juga masih bocor, lha kalau iku diijoli ya monggo,”sopo sing kate ngijoli genteng sak mono kae”. Padahal kalau mau poso sedino wae, gak duit-duitan, dalam satu periode, kita harus punya pemimpin di Jawa Timur si A, tapi itupun kita belum mampu.

Masalah-masalah yang kita bicarakan adalah masalah yang bukan masalah karena kita sendiri yang mempermasalahkan. Dino-dino ngomong PKB, PKNU. “Iku terus gunane opo wong duite yo ora ono, gupuh karepe dewe”. Ibaratnya seperti hidungnya dileleti dengan madu, baunya manis, tapi ketika dijilat tidak kena. Kita jangan memposisikan pesantren begitu. Pesantren harus diposisikan menjadi mufti dari semua orang yang berkepentingan. Sebab begitu yang satu masuk, maka yang lainya tidak mau, minimal simpatinya turun sehingga kelas rahmatan lil alaminnya juga turun.

Jadi biarlah politik dan partai politik dengan dunianya, kita juga mensupport agar partai politik berpolitik dengan baik sementara pesantren ini membuat kekuatan ekonomi, kekuatan ukhuwah, kekuatan ilmiah, kekuatan internasional dan sebagainya. Dengan sendirinya maka mereka akan menempatkan pesantren secara terhormat. Kalau kita mengejar-ngejar, hanya akan menjadi bagian dari mereka, tapi kalau kita tegakkan istikomah, maka semuanya akan mengikuti kita. Allahumma amiin.

Inilah beberapa masalah makro yang saya sampaikan. Terakhir saya juga ingin menyampikan masalah mikro, intern NU. Pertama, RMI pusat ini jangan endeng-endengan Jakarta Suroboyo-Jakarta Suroboyo, mlenger. Jadi harus dicari cara bagaimana sekretariat tempatnya di Kramat Raya 164, perkara orangnya orang Surabaya, nga papa asal seminggu dua kali bisa kemana. PBNU sekarang sudah bisa niketi.

Saya dulu pesimis, apa ya NU bisa membiayai dirinya sendiri, PBNU itu biayanya 350 juta satu bulan, belum kalau keluyuran ke luar negeri. Tapi asal ada kejujuran dan kesungguhan. Jangan sampai orang tidak menyumbang karena tidak percaya, dan ini yang banyak dimana-mana, orang menyumbang sebenarnya tidak percaya, maka bagaimana membaut kita ini muktamat adalah masalah kita.

Kedua, di daerah-daerah, misalnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang potensinya sangat besar untuk NU, yang merupakan daerah yang paling kuat NU-nya, tapi juga paling ruwet NU-nya. Sudah mulai banyak yang bikin organisasi antar pesantren sendiri, di luar RMI, ke mana-mana sendiri, yang dibawa namanya juga NU, menjadi orang lain bingung, siapa sebenarnya yang mewakili NU. Ini semua kekeliruan kita. Kita tidak bisa menyalahkan orang lain.

Insyaallah dengan rapat kerja nasional ini, semoga Allah menunjukkan jalan yang lapang dan saya juga, mumpung ketemu, saya mohon doa karena nanti sore saya pergi ke Aljazair, yang ngundang, dubes Aljazair untuk Indonesia, dubes Indonesia untuk Aljazair,  dan Universitas Al Jazair. Mereka menyediakan 25 beasiswa, Lebanon menyedikan 10 beasiswa, Libya menyediakan 15 beasiswa dan itu semuanya kita isi dari ana-anak kita asal lulus ujian. Inggris juga pernah ngasih kita 14 untuk doktor, kita kirim 14 orang ,ditest bahasa Inggrisnya, alhamdulillah yang tidak lulus ya 14 itu. Itu kan kita menjadi merasa, andalah kita sebenarnya cuma jumlah, bukan kapasitas, tapi alhamdulilah wani dites itu wes kendel.

Kemudian para bapak, kita dimintai tolong karena Marokko dan Aljazair mau perang, merebutkan Sahara Barat, di selatan Marokko, di barat Aljazair, di sebelah utara Mauritania. Marokko datang ke PBNU, Aljazair juga datang ke PBNU, “Tolong dikomunikasikan antara dua ini, ketepatan Pak Hasyim juga bicara di PBB sebagai salah satu presiden WCRP”. Tapi ini masalahnya tak seberat di Irak, di Lebanon, di Palestina. Yang Irak pun hari ini sudah mulai tanda-tanda baik, apa yang kita katakan mulai didukung DPR kita, baik ketika pertemuan antar parlemen dunia di Bali maupun di Senayan. Partai Demokrat di AS juga mendukung. Saya khusus akan ketemu Hillary Clinton, supaya kita jangan memusuhi Amerika, tapi memusuhi kebijakan luar negeri Bush. Jadi yang kita lawan adalah kebijakan luar negerinya, bukan kita musuhi bangsa Amerikanya. Begini tawassuth dan i’tidalnya harus ada. Dan ini semuanya mulai kelihatan hasilnya, sekalipun belum khatam, belum optimal.

Saya berfikir dengan cara ini apakah NU tidak dimusuhi Amerika, ternyata kan dha juga, karena yang kita perangi bukan Amerikanya, tapi penjajahannya. Ketika Irak diserang seperti itu, kita bela, kita tidak boleh diam saja. Ketika Iran dihukum oleh PBB padahal nuklirnya belum tentu jadi bom, padahal Israel yang sudah memproklamirkan mempunyai bom tidak diapa-apakan, itulah dunia sekarang. Dunia sekarang dibawah duli Israel dan beberapa penguasa Amerika Serikat yang mendominasi PBB. Ini kita tidak boleh diam saja.

Saya mondar mandir ke Iran bukan untuk jadi Syiah, untuk fikhusyiyahas bukan untuk supaya orang NU jadi Syiah, sama sekali tidak, tetapi hak negara Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir tidak boleh dihalangi oleh Amerika Serikat karena suatu saat kita juga harus punya nuklir. Tapi sarehne gak ngertine wong NU, “Wah Pak Hasyim saiki wis mlebu syiah.” Masak kita sudah ngaji berpuluh-puluh tahun gak ngerti bedane syiah sama sunni. Jadi ini fihusyiyaha.