Jangan Asal Memuji Orang Lain di Hadapannya!
NU Online Ā· Ahad, 13 Maret 2022 | 13:00 WIB
Muhammad Ishom
Kolomnis
Beberapa hadits Rasululllah shallallahu āalaihi wa sallam tentang pujian kepada orang lain di hadapanya sekilas tampak bertentangan satu sama lain. Artinya ada hadits yang dipercaya melarang memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya, ada pula hadits yang membolehkan hal seperti itu
Salah satu hadits yang sering dirujuk untuk melarang memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hammam bin al-Harith radhiallahu āanhu sebagai berikut:
Ų„Ų°Ų§ Ų±Ų£ŁŲŖŁ Ų§ŁŁ ŲÆŲ§ŲŁŁ ŁŲ§ŲŲ«ŁŲ§ ŁŁ ŁŲ¬ŁŁŁŁ Ų§ŁŲŖŲ±Ų§ŲØ
Artinya: āJika Engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnyaāĀ (HR Muslim No. 3002).
Jadi perintah Rasulullah untuk menaburkan debu di wajah orang yang memberikan pujian kepada kita merupakan petunjuk bahwa kita tidak boleh merasa senang dengan pujian dari orang lain, sekaligus hal ini dipercaya merupakan larangan memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya.
Sedangkan salah satu hadits yang sering dirujuk untuk membolehkan memberikan pujian kepada orang lain di hadapanya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Amir bin Saād radhiallahu āanhu sebagai berikut:
س٠عت Ų£ŲØŁŁ ŁŁŁŁ: Ł Ų§ س٠عت Ų±Ų³ŁŁ Ų§ŁŁŁ ŲµŁŁŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹ŁŁŁŁ ŁŲ³ŁŁ ŁŁŁŁ ŁŲŁ ŁŁ Ų“ŁŲ Ų„ŁŁ ŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŁŲ© Ų„ŁŲ§ ŁŲ¹ŲØŲÆ Ų§ŁŁŁ ŲØŁŁ Ų³ŁŲ§Ł
Artinya: āAku mendengar ayahku berkata, āAku belum pernah mendengar NabiĀ shallallahu āalaihi wa sallamĀ berkata kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini bahwa dia adalah calon penghuni surga kecuali kepada āAbdullah bin SalamāāĀ (HR Muslim No. 2483).
Jadi ketika Rasulullah memuji kesalehan āAbdullah bin Salam dengan menyebutnya sebagai calon penghuni surga tentu saja hal itu merupakan pujian yang luar biasa kepada sahabat tersebut. Sekali lagi hadits ini diyakini menjadi dasar diperbolehkannya memberikan pujian kepada orang lain.
Menengahi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya memberiakan pujian kepada orang lain berdasarkan hadits-hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
ŁŲ§Ł Ų§ŁŲ¹ŁŁ
Ų§Ų” : ŁŲ·Ų±ŁŁ Ų§ŁŲ¬Ł
Ų¹ ŲØŁŁŁŲ§ Ų£Ł Ų§ŁŁŁŁ Ł
ŲŁ
ŁŁ Ų¹ŁŁ Ų§ŁŁ
Ų¬Ų§Ų²ŁŲ© ŁŁ Ų§ŁŁ
ŲÆŲ Ų ŁŲ§ŁŲ²ŁŲ§ŲÆŲ© ŁŁ Ų§ŁŲ£ŁŲµŲ§Ł Ų Ų£Ł Ų¹ŁŁ Ł
Ł ŁŲ®Ų§Ł Ų¹ŁŁŁ ŁŲŖŁŲ© Ł
Ł Ų„Ų¹Ų¬Ų§ŲØ ŁŁŲŁŁ Ų„Ų°Ų§ Ų³Ł
Ų¹ Ų§ŁŁ
ŲÆŲ. ŁŲ£Ł
Ų§ Ł
Ł ŁŲ§ ŁŲ®Ų§Ł Ų¹ŁŁŁ Ų°ŁŁ ŁŁŁ
Ų§Ł ŲŖŁŁŲ§Ł Ų ŁŲ±Ų³ŁŲ® Ų¹ŁŁŁ ŁŁ
Ų¹Ų±ŁŲŖŁ Ų ŁŁŲ§ ŁŁŁ ŁŁ Ł
ŲÆŲŁ ŁŁ ŁŲ¬ŁŁ Ų„Ų°Ų§ ŁŁ
ŁŁŁ ŁŁŁ Ł
Ų¬Ų§Ų²ŁŲ© Ų ŲØŁ Ų„Ł ŁŲ§Ł ŁŲŲµŁ ŲØŲ°ŁŁ Ł
ŲµŁŲŲ© ŁŁŲ“Ų·Ł ŁŁŲ®ŁŲ± Ų ŁŲ§ŁŲ§Ų²ŲÆŁŲ§ŲÆ Ł
ŁŁ Ų Ų£Ł Ų§ŁŲÆŁŲ§Ł
Ų¹ŁŁŁ Ų Ų£Ł Ų§ŁŲ§ŁŲŖŲÆŲ§Ų” ŲØŁ Ų ŁŲ§Ł Ł
Ų³ŲŖŲŲØŲ§ . ŁŲ§ŁŁŁ Ų£Ų¹ŁŁ
Ā
Artinya: āPara ulama mengatakan, cara untuk mengompromikan hadits-hadits seperti itu adalah (dengan memahami) larangan itu berlaku jika mengandung risiko atau bahaya bagi orang yang dipuji, berlebihan dari kenyataannya, atau pujian itu ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa ujub dan semacamnya ketika mendengar pujian itu.Ā Adapun orang yang tidak dikhawatirkan akan mengalami hal seperti itu bahkan akan termotivasi untuk menyempurnakan ketakwaannya, meneguhkan akal dan pengetahuannya, maka tidak ada larangan memujinya di hadapan orang itu dengan catatan pujian itu bukannya membahayakannya, tetapi malahan membuahkan kemaslahatan seperti timbulnya kebaikan dan peningkatannya, atau kebaikan yang terus menerus, atau menumbuhkan keteladanan, maka pujian seperti itu dianjurkan (Lihat Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, [Muassasah Qurthubah, 1994]), Cetakan 2, Juz 18, hal. 170.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa memberikan pujian kepada orang lain di hadapan orang yang dipuji adalah boleh dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, pujian tidak berpotensi menimbulkan dampak negatif kepada orang yang dipuji. Sekiranya pujian akan menimbulkan dampak negatif bagi orang yang dipuji disebabkan timbul rasa riyaā sehingga menghilangkan keikhlasannya dalam berbuat kebaikan, maka pujian seperti ini sebaiknya tidak dilakukan.
Kedua, pujian bersifat faktual. Artinya pujian tidak boleh dilebih-lebihkan sehingga menjadi kebohongan dengan maksud tertentu seperti mengangkat citra orang yang dipuji yang sebenarnya buruk demi membantu meraih ambisinya.
Ketiga, pujian kepada orang yang suka menyombongkan diri atau merasa kagum pada dirinya sendiri yang disebut ujub sebaiknya tidak dilakukan. Alasannnya, puijian seperti ini bisa membuatnya semakin sambong ataupun ujub.
Keempat, pujian akan memotivasi orang yang dipuji menjadi lebih baik, seperti dalam masalah ketakwaan kepada Allah, rasa percaya diri, atau dalam hal prestasi belajar. Teori pendidikan menguatkan bahwa seorang anak akan termotivasi untuk menjadi lebih baik, lebih percaya diri dan berkurang kenakalannya bukan dengan caci-maki tetapi dengan pujian-pujian.
Setidaknya keempat syarat di atas perlu diketahui dan dipahami oleh siapa saja termasuk para orang tua dan guru yang akan memberikan pujian di depan anak atau siswa yang dipuji. Intinya, memuji seseorang di depan orang yang dipuji diperbolehkan selama pujian itu mendatangkan maslahatĀ dan bukannya mudarat bagi orang yang dipuji.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua