Tasawuf/Akhlak

Ahlush Shuffah, Cikal Bakal Tarekat di Masa Nabi?

NU Online  ·  Rabu, 25 September 2024 | 16:30 WIB

Ahlush Shuffah, Cikal Bakal Tarekat di Masa Nabi?

Salah satu ruangan di Masjid Nabawi. (Foto: NU Online/Freepik)

Tarekat adalah jalan atau metode khusus yang ditempuh oleh para sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat dan tasawuf tidak dapat dipisahkan eksistensinya. Dalam tradisi tasawuf, tarekat berfungsi sebagai sebuah sistem atau disiplin spiritual yang dipandu oleh seorang guru atau mursyid, yang membantu murid atau pengikutnya untuk mencapai kesucian hati dan kedekatan diri kepada Allah.


Penamaan istilah tasawuf sendiri memiliki ragam pandangan yang berbeda. Ada yang mengatakan bahwa nama tersebut berasal dari kata “shaff” (barisan pertama), ada juga yang menyebutnya berasal dari “Ahlush Shuffah” (penghuni beranda masjid), atau dari suku Arab sebelum Islam.


Hanya saja, Al-Washifi dalam Mawazin ash-Shufiyyah (2001: 36) menolak pendapat-pendapat tersebut dan menyebut bahwa istilah tasawuf berasal dari kata Yunani, yaitu “Sophia,” yang berarti kebijaksanaan. Dia berargumen bahwa kata tasawuf tidak memiliki asal-usul dalam Bahasa Arab. Makna lain yang ia nyatakan mendekati kebenaran adalah tasawuf atau sufi berasal dari “shūf” yang berarti kain wol, karena kaum sufi terkenal dengan pakaian wol kasar yang mereka kenakan sebagai simbol kesederhanaan dan kedekatan mereka dengan Nabi dan para wali (Alexandria: Darul Iman).  


Berbeda dengan Al-Washifi, Al-Kalabadzi dalam At-Ta'arruf li Madzhab Ahlit Taṣawwuf (1933: 22) menyatakan bahwa kata tasawuf berakar dari “shuffah” atau beranda masjid Rasulullah. Argumentasi yang dikemukakannya, bahwa para Ahlish Shuffah (orang-orang yang tinggal di beranda masjid pada masa Nabi), memiliki karakter yang sangat layak untuk dinisbatkan sebagai ahli tasawuf. Dalam diri mereka terdapat kejernihan hati, mereka senantiasa shalat di barisan pertama, sedangkan mereka sehari-hari menggunakan pakaian yang terbuat dari kain wol (shuf).


Tentu saja, ragam pendapat mengenai akar kata tasawuf tidak hanya terbatas pada yang telah disebutkan ini. Begitu pun dengan definisinya, para ulama memiliki ragam definisi yang berbeda-beda. 


Selain itu, tasawuf juga memiliki ragam fase perkembangan di sepanjang zaman. Assasi mencatat dalam Mafhumut Tashawwuf wa Tathawwuruh yang dimuat dalam jurnal Majallah ‘Umumul Lughah al-‘Arabiyyah wa Adabuha (Volume 3, No. 4, 2021: 74), bahwa fase terakhir dari perkembangan tasawuf adalah munculnya tarekat-tarekat kalangan sufi seperti Syadziliyyah, Qadiriyyah, Tijaniyyah, dan lain sebagainya di zaman sekarang.


Lebih detail dari penjelasan ini, Lindung Hidayat Siregar dalam Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial yang dimuat dalam jurnal Miqot (Vol. XXXIII No. 2, Juli-Desember 2009: 171), menjelaskan bahwa tasawuf berkembang dari yang awalnya hanya ritual yang diamalkan secara individual, menjadi doktrin organisasi yang mewujud dalam bentuk tarekat-tarekat sufi.


Berdasarkan keterkaitan antara makna tasawuf yang berakar dari beragam kata dengan perkembangan bentuk tasawuf dari pengamalan pribadi kepada doktrin organisasi, beberapa dari kita mungkin mengasumsikan bahwa Ahlush Shuffah merupakan cikal-bakal tarekat-tarekat yang berkembang saat ini.


Kapan Ahlush Shuffah Muncul?


Setelah 13 tahun kenabiannya, Rasulullah memutuskan hijrah ke Madinah Bersama kaum Muslim. Kalangan Muhajirin dengan rela meninggalkan harta dan keluarga mereka di Makkah. Tentu saja, orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi tidak semuanya memiliki harta. Ada beberapa orang yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan fakir miskin.


Tatkala Nabi selesai membangun Masjid Nabawi, di sudut belakang masjid terdapat sebuah tempat yang menjadi saksi bisu sejarah penting dalam perkembangan Islam. Tempat ini dikenal dengan nama ash-Shuffah, yang menjadi rumah sementara bagi para sahabat miskin dan Kaum Muhajirin yang tidak memiliki tempat tinggal di Madinah. 


Awalnya, Rasulullah melaksanakan shalat di Makkah dengan menghadap Baitul Maqdis, kiblat umat Yahudi dan Nasrani pada saat itu. Meskipun demikian, beliau tetap menempatkan Ka'bah di hadapannya sebagai tanda hormat terhadap tempat suci umat Islam. 


Ketika hijrah ke Madinah, kiblat tetap mengarah ke Baitul Maqdis, namun Rasulullah harus membelakangi Ka’bah. Arah kiblat ini bertahan hingga tahun kedua setelah hijrah, sebelum Allah menurunkan perintah untuk memindahkan kiblat ke Ka’bah di Makkah.


Masjid Nabawi saat itu merupakan bangunan sederhana yang terdiri dari dinding tanpa atap. Ketika perubahan kiblat terjadi, bagian bangunan yang sebelumnya menjadi tempat menghadap kiblat tidak lagi digunakan untuk shalat, dan tempat inilah yang kemudian dikenal sebagai ash-Shuffah atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai beranda masjid, sebagaimana keterangan Saleh Ahmad Syami dalam Ahlush Shuffah: Ba’idan ‘anil Wahmi wal Khayal (Beirut: Darul Qalam, 1991: 31).


Awalnya, tempat ini hanyalah bagian dari masjid yang tidak beratap dan tidak terpakai. Namun, karena kebutuhan yang mendesak akan tempat tinggal bagi para sahabat lajang dan miskin, menjadikannya lebih dari sekadar naungan.


Ahlush Shuffah adalah sebutan bagi mereka yang tinggal di beranda masjid tersebut. Mereka adalah komunitas yang hidup dalam kesederhanaan, dan tidak tinggal di sana hanya untuk beristirahat saja, tetapi juga untuk mempelajari ilmu agama langsung dari Rasulullah. Di tempat ini, mereka mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk mendalami Islam melalui belajar, berzikir, dan beribadah, menjalani kehidupan yang sederhana namun sarat dengan kedekatan spiritual.


Di antara para penghuni ash-Shuffah, terdapat beberapa sahabat yang kelak menjadi tokoh besar dalam sejarah Islam. Dalam kesehariannya, mereka hidup dari sedekah Kaum Muslim lainnya, namun tidak pernah meminta-minta. 


Umar Falah dalam Tesisnya Ahlus Shuffah fi ‘Ashrir Risalah war Rasyidi (Banghdad, 2005: 29) mendata beberapa sahabat yang menjadi bagian dari Ahlush Shuffah. Di antaranya adalah Asma bin Haritsah, Al-Bara’ bin Malik, Bilal bin Rabbah, Tsaqif bin ‘Amr, Jabir bin Jamil, Hanzhalah bin Abi ‘Amir dan masih banyak lagi. Kurang lebih jumlahnya 100 orang.


Aktivitas Ahlush Shuffah sehari-hari selain beribadah dan berzikir adalah mempelajari Al-Qur'an dan hadits Nabi. Selain itu, mereka juga turut mempelajari cara menulis huruf Arab untuk menyalin Al-Qur'an kepada ‘Ubadah bin Shamit (Saleh Ahmad Syami, 1991: 67). 


Tatkala masyhur di kalangan para sahabat, bahwa tempat tinggal Ahlush Shuffah dikelilingi oleh informasi penting terkait keilmuan dalam Islam, khususnya hadits, para sahabat pun tidak segan mengunjungi beranda masjid tersebut untuk mendengarkan amalan-amalan yang diajarkan Nabi. Keterangan ini sebagaimana diceritakan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir:


خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيقِ فَيَأْتِيَ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ  كَوْمَاوَيْنِ  فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا قَطْعِ رَحِمٍ؟. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نُحِبُّ ذَلِكَ. قَالَ: أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ


Artinya: “Rasulullah SAW keluar menemui kami saat kami berada di Ash-Shuffah. Beliau bersabda: ‘Siapa di antara kalian yang suka pergi setiap hari ke Bathhan atau Aqiq, lalu kembali membawa dua unta besar tanpa dosa dan tanpa memutuskan tali silaturahmi?’ Kami menjawab, ‘Ya Rasulullah, kami suka hal itu.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari kalian tidak pergi ke masjid, lalu mempelajari atau membaca dua ayat dari Kitab Allah (Al-Qur'an)? Itu lebih baik baginya daripada dua unta. Tiga ayat lebih baik daripada tiga unta, dan empat ayat lebih baik daripada empat unta, serta seterusnya sesuai jumlahnya’.” (HR Muslim)


Jika melihat penjelasan ini, pola kehidupan Ahlush Shuffah sangat mencerminkan kejernihan hati dan tidak terikat dengan unsur duniawi. Tentu saja, pola kehidupan seperti itu di masa sekarang adalah manifestasi dari ajaran-ajaran tasawuf, begitu pun tarekat.


Hanya saja, untuk menyebut bahwa Ahlush Shuffah adalah cikal bakal tarekat-tarekat sufi sepertinya tidak sepenuhnya akurat, jika melihat sejarah berdirinya komunitas tarekat yang berlandaskan faktor sosial.


Di sisi lain, meskipun Ahlush Shuffah tidak secara langsung menciptakan sebuah tarekat, semangat hidup mereka dapat ditemukan pada ajaran tasawuf. Orang-orang yang tinggal di beranda masjid tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kehidupan spiritual dan kebahagiaan tidak selalu harus diwujudkan melalui kemewahan, tetapi justru seringkali ditemukan dalam kesederhanaan dan ketulusan hati. Wallahu a’lam


Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online