Adab ketika Sakit menurut Imam al-Ghazali
NU Online · Sabtu, 12 November 2016 | 07:22 WIB

Sakit adalah momen introspeksi dan membenahi kekurangan yang banyak diperbuat justru ketika dalam keadaan sehat.
Mahbib Khoiron
Penulis
Di antara kenikmatan yang kerap terlupakan selain waktu luang adalah kesehatan. Manusia seringkali baru merasakan besarnya anugerah kesehatan ketika ia ditimpa sakit. Ini mirip kala orang mulai menganggap nilai penting cahaya saat ia diliputi situasi gelap. Jika sudah tertimpa sakit, memang tak ada gunanya mengeluh atau menyesali keadaan. Pilihan yang paling masuk akal adalah menjadikan keadaan tersebut sebagai momen berharga bagi perbaikan diri.
Dalam kitab al-Adab fid Dîn, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bn Muhammad al-Ghazali mencatat beberapa adab yang harus dilakukan oleh seseorang ketika menderita sakit.
Pertama, memperbanyak ingat kematian (al-iktsâr min dzikril maut). Meski tidak selalu, sakit sering menjadi tanda seseorang akan menemui ajal. Inilah saat tepat si sakit menumbuhkan kesadaran bahwa kelak ia kembali ke hadirat-Nya dan karena itu kehidupan di dunia ini butuh persiapan yang matang. Kendatipun, ingat kematian sesungguhnya dianjurkan terjadi setiap saat, namun karena keterbatasan seseorang bisa memanfaatkan momen-momen tertentu untuk hal itu seperti ketika ziarah atau sakit.
Kedua, memantapkan diri untuk bertobat dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Sakit adalah momen introspeksi dan membenahi kekurangan yang banyak diperbuat justru ketika dalam keadaan sehat.
Ketiga, tidak berhenti memuji Allah, memanjatkan kerendahhatian diri dan doa. Bermujahadah disertai dengan sikap tawaduk akan membuat sakit bukan semata penderitaan melainkan jembatan yang sangat bernilai bagi peningkatan mutu ketakwaan.
Keempat, menampakkan diri sebagai pribadi yang lemah dan butuh kepada Allah. Sakit adalah di antara sekian banyak gejala bahwa manusia memiliki kelemahan. Karena itu, di kala sakit sudah selayaknya ia menjadikan momen ini untuk penegasan akan kelemahan itu.
Kelima, berobat namun tanpa meninggalkan permohonan kesembuhan kepada Sang Pembuat Obat. Manusia tetap diharuskan berikhtiar untuk mencapai kesembuhan dirinya, di saat bersamaan juga harus diiringi permintaan tolong kepada Allah karena pada hakikatnya kesembuhan itu Dialah penciptanya.
Keenam, menampakkan rasa syukur ketika sedang kuat. Artinya, sisa energi yang masih ada mesti disyukuri karena itu berarti masih ada anugerah kesehatan di tengah kondisi sakit. Bandingkan ketika ia ditimpa sakit yang menyebabkan ia koma alias tak sadarkan diri.
Ketujuh, sedikit mengeluh. Mengeluh adalah hal yang manusiawi kala seseorang menderita sakit. Namun menjadi tak wajar ketika keluhan tersebut diumbar terus-menerus. Selain tak memiliki manfaat signifikan, keluhan hanya akan memperkeruh suasana kejiwaan baik pada diri si sakit maupun orang-orang yang turut menolongnya.
Kedelapan, menghindari jabat tangan. Kalimat ini bisa dimaknai secara luas bahwa orang sakit, terutama yang mengidap penyakit menular, harus sadar akan potensi dirinya menulari orang lain. dengan kata lain, ia tak boleh bersikap atau melakukan kegiatan yang bisa menyebabkan orang lain tertular, salah satu di antaranya adalah kontak fisik secara langsung. Kecuali bila kontak fisik itu diyakini tak akan menimbulkan penularan penyakit. Wallahu a’lam. (Mahbib Khoiron)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menyiapkan Bekal Akhirat Sebelum Datang Kematian
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Khutbah Jumat: Tetap Tenang dan Berpikir jernih di Tengah Arus Teknologi Informasi
4
Resmi Dilantik, Berikut Susunan Lengkap Pengurus PP ISNU Masa Khidmah 2025-2030
5
Khutbah Jumat: Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Badan
6
Tuntutan Tak Diakomodasi, Sopir Truk Pasang Bendera One Piece di Momen Agustusan Nanti
Terkini
Lihat Semua