Tafsir Surat An-Nisa Ayat 5: Dalil tentang Al-Hajru atau Penangguhan Transaksi
Ahad, 24 November 2024 | 10:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Dalam sistem ekonomi Islam, prinsip keadilan dan kemaslahatan menjadi dasar utama dalam setiap transaksi. Salah satu konsep yang mendukung prinsip ini adalah al-hajru (الحجر), yang berarti larangan bagi seseorang untuk melakukan transaksi tertentu. Konsep ini bertujuan untuk melindungi hak-hak masing-masing individu ataupun masyarakat dari potensi kerugian yang bisa timbul akibat ketidakmampuan seseorang dalam mengelola harta.
Imam Syamsuddin Ramli, dalam kitab Nihayatul Muhtaj menyatakan bahwa secara bahasa, al-hajru berarti "pencegahan" atau "penghalangan". Sementara dalam terminologi syariah, al-hajru berarti tindakan mencegah seseorang untuk mengelola hartanya karena alasan tertentu yang sah menurut syariat.
باب الحجر بفتح الحاء وهو لغة : المنع ، وشرعا : المنع من التصرفات المالية
Artinya: "Bab Al-Hajr (باب الحجر), dengan fathah huruf "ha'", secara bahasa berarti larangan (المنع). Sedangkan secara syariat, artinya adalah larangan untuk melakukan tindakan terkait harta kekayaan. (Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj, (Beirut: Darul Fikr, 1984), Jilid IV, hlm. 354)
Sejatinya, dalil hukum al-hajru bersumber pada Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 5, Allah berfirman:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاۤءَ اَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَكُمْ قِيٰمًا وَّارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
Wa lā tu'tus-sufahā'a amwālakumul-latī ja‘alallāhu lakum qiyāmaw warzuqūhum fīhā waksūhum wa qūlū lahum qaulam ma‘rūfā(n).
Artinya: "Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan)-mu yang Allah jadikan sebagai pokok kehidupanmu. Berilah mereka belanja dan pakaian dari (hasil harta) itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, menjelaskan bahwa lewat surat An-Nisa' ayat 5, Allah melarang orang-orang yang belum sempurna akalnya, seperti anak-anak atau orang gila, untuk mengelola atau melakukan transaksi atas harta mereka [tasarruf]. Sebagai gantinya, pengelolaan harta tersebut menjadi tanggung jawab wali mereka, yang bertugas memastikan kebutuhan hidup mereka tetap terpenuhi.
Lebih jauh lagi, menurut Ibnu Katsir, orang yang kurang sempurna akalnya dikenakan al-hajru, yaitu larangan untuk menggunakan atau mengelola hartanya sendiri (tasarruf). Hal ini dilakukan demi melindungi mereka dari tindakan yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain.
Dalam ekonomi syariah, orang-orang yang dikenai al-hajru dapat digolongkan menjadi beberapa kategori. Pertama, anak kecil yang usia yang masih sangat muda, karena ucapan atau tindakan anak kecil dalam urusan muamalah dianggap belum memiliki kekuatan hukum. Kedua, al-hajru juga dikenakan pada orang yang mengalami gangguan jiwa atau gila, karena ketidakmampuan mereka untuk berpikir secara sehat.
Ketiga, seseorang yang buruk dalam pengelolaan harta akibat kurangnya kecerdasan atau akhlak. Misalnya, mereka yang menggunakan hartanya secara tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan kerugian besar.
Keempat, orang yang dinyatakan pailit, yaitu memiliki utang yang jauh melampaui kemampuan hartanya untuk membayar, sehingga atas permintaan kreditur, hakim dapat menetapkan status hijir.
Dalam kasus pailit, pemilik utang (kreditur) berhak mengajukan permohonan kepada hakim agar orang tersebut dikenai al-hajru. Jika hakim mengabulkan permohonan tersebut, orang yang dinyatakan pailit tidak lagi diizinkan mengelola hartanya sendiri. Harta yang tersisa akan dikelola sesuai aturan hukum untuk melunasi utangnya. Tujuan penerapan ini adalah untuk menjaga keadilan dan melindungi hak-hak para kreditur.
Simak penjelasan Ibnu Katsir berikut:
ينهى ﷾ عن تمكين السفهاء من التصرف في الأموال التي جعلها الله للناس قياما، أي تقوم بها معايشهم من التجارات وغيرها ومن هاهنا يؤخذ الحجر على السفهاء وهم أقسام، فتارة يكون الحجر للصغر، فإن الصغير مسلوب العبارة، وتارة يكون الحجر للجنون، وتارة لسوء التصرف لنقص العقل أو الدين، وتارة للفلس، وهو ما إذا أحاطت الديون برجل وضاق ماله عن وفائها، فإذا سأل الغرماء الحاكم الحجر عليه، حجر عليه
Artinya: "Dilarang memberikan wewenang kepada orang-orang yang tidak bijaksana (sufaha) untuk mengelola harta yang telah Allah jadikan sebagai penopang kehidupan manusia, yakni harta yang menjadi dasar penghidupan mereka, seperti perdagangan dan hal-hal lainnya.
Dari sini diambil hukum tentang larangan (hajr) terhadap orang-orang yang tidak bijaksana. Mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Terkadang, hajr diberlakukan karena usia yang masih kecil, karena anak kecil tidak memiliki kecakapan hukum (untuk bertindak). Terkadang hajr diberlakukan karena gila. Terkadang juga diberlakukan karena ketidakmampuan mengelola harta dengan baik akibat kurangnya akal atau agama. Dan terkadang hajr diberlakukan karena kebangkrutan (iflas), yaitu ketika seseorang terlilit utang dan hartanya tidak mencukupi untuk melunasinya. Jika para kreditur meminta kepada hakim untuk memberlakukan hajr terhadap orang tersebut, maka hakim akan memberlakukannya." (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1998 M], jilid II, hlm, 187]
Tafsir Al-Qurthubi
Imam Qurthubi menjelaskan bahwa Surat An-Nisa ayat 5 membahas larangan menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya. Dalam Tafsir Al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, Imam Qurthubi mengutip pendapat Ibnu Khuwaizimandad yang menjelaskan bahwa pembatasan dan pengontrolan atas harta bagi orang-orang ini dapat diberlakukan dalam tiga kondisi:
Pertama, karena mereka masih kecil: kedua, karena mereka mengalami gangguan akal seperti gila, dan ketiga, karena tindakan mereka merugikan diri sendiri atau hartanya. Ketiga kategori ini menjadi dasar penerapan kebijakan pembatasan [al-hajru].
Lebih jauh, Imam Qurthubi menegaskan bahwa ayat ini memberikan landasan syar’i untuk memberlakukan pembatasan (hajr) terhadap orang yang tidak sempurna akalnya (safih). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 5: "Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta kamu" dan diperkuat dalam Surah Al-Baqarah ayat 282:
فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ
Artinya: "Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar,"
Dari ayat-ayat ini, disimpulkan adanya penetapan kewalian (wewenang) terhadap orang yang tidak sempurna akalnya (safih), sebagaimana kewalian juga berlaku untuk orang yang lemah. Istilah "lemah" di sini mengacu pada anak kecil, sedangkan "safih" merujuk pada orang dewasa yang telah baligh tetapi tidak mampu mengelola hartanya dengan bijak.
Hal ini dijelaskan karena istilah safih merupakan celaan atau aib, dan seseorang tidak dicela atas sesuatu yang di luar kendalinya. Oleh karena itu, anak yang belum baligh tidak dicela, karena mereka belum menjadi subjek hukum (taklif). Ketentuan taklif tidak berlaku bagi mereka, sehingga mereka tidak dikenai dosa atau tanggung jawab atas perbuatannya.
الثَّالِثَةُ- وَدَلَّتِ الْآيَةُ عَلَى جَوَازِ الْحَجْرِ عَلَى السَّفِيهِ، لِأَمْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِذَلِكَ فِي قَوْلِهِ: (وَلا تُؤْتُوا السُّفَهاءَ أَمْوالَكُمُ) وَقَالَ (فَإِنْ كانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً «١»). فَأَثْبَتَ الْوِلَايَةَ عَلَى السَّفِيهِ كَمَا أَثْبَتَهَا عَلَى الضَّعِيفِ. وَكَانَ مَعْنَى الضَّعِيفِ رَاجِعًا إِلَى الصَّغِيرِ، وَمَعْنَى السَّفِيهِ إِلَى الْكَبِيرِ الْبَالِغِ، لِأَنَّ السَّفَهَ اسْمُ ذَمٍّ وَلَا يُذَمُّ الْإِنْسَانُ عَلَى مَا لَمْ يَكْتَسِبْهُ «٢»، وَالْقَلَمُ مَرْفُوعٌ عَنْ غَيْرِ الْبَالِغِ، فَالذَّمُّ وَالْحَرَجُ مَنْفِيَّانِ عَنْهُ، قَالَهُ الْخَطَّابِيُّ
Artinya: "Ketiga: Ayat ini menunjukkan kebolehan untuk memberlakukan pembatasan (hajr) terhadap orang yang tidak sempurna akalnya (safih), sebagaimana perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya: "Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta" (QS. An-Nisa: 5), dan dalam firman-Nya: " Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar." (QS. Al-Baqarah: 282).
Maka, ayat tersebut menetapkan kewalian (wewenang) terhadap orang yang tidak sempurna akalnya sebagaimana ia juga menetapkannya terhadap orang yang lemah. Makna "lemah" di sini merujuk pada anak kecil, sedangkan makna "safih" merujuk pada orang dewasa yang telah baligh. Hal ini karena penyebutan safih adalah sebuah celaan atau aib, dan seseorang tidak dicela atas sesuatu yang bukan perbuatannya sendiri. Pena taklif (beban hukum) diangkat dari orang yang belum baligh, sehingga celaan dan dosa tidak dikenakan kepadanya. Demikian penjelasan dari Al-Khaththabi. (Imam Qurthubi, Tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kuutub al-Misriyah, 1964], Jilid V, hlm, 30)
Dalam praktiknya, al-hajru menjadi alat penting dalam menjaga kestabilan ekonomi dan melindungi hak-hak pihak yang terlibat dalam transaksi. Misalnya, ketika seorang pailit dinyatakan tidak boleh melakukan transaksi keuangan, hartanya akan diawasi atau dibekukan untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi dirinya maupun para krediturnya.
Pun, pada saat yang sama, wali atau pengawas harta bertugas mengelola aset tersebut secara profesional dan adil, baik dengan berdagang atau metode halal lainnya, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pihak yang di-hajru.
Dengan demikian, al-hajru menjadi prinsip perlindungan dalam muamalah, sekaligus bentuk kasih sayang Allah terhadap manusia. Syariat ini memastikan bahwa setiap anak manusia, baik yang kurang sempurna akalnya maupun yang terjebak dalam kesulitan finansial, tetap mendapatkan pengelolaan harta yang adil, bijaksana, dan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Amalan Gus Baha saat Haji dan Khataman di Bulan Syaban
3
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
4
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
5
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Kembali Gelar Festival Ilmiah Santri
6
Konbes NU 2025 Rumuskan Masa Jabatan Ketua Umum PBNU: Diusulkan Maksimal 2 Periode
Terkini
Lihat Semua