Syariah

Ushul Fiqih: Penjelasan Perihal Syar’u Man Qablana

Kam, 12 Agustus 2021 | 04:00 WIB

Ushul Fiqih: Penjelasan Perihal Syar’u Man Qablana

Syar'u man qablana, syariat sebelum Nabi Muhammad saw

Sebagaimana jamak diketahui, Allah swt mengutus para nabi dan rasul pada zaman tertentu dan untuk umat tertentu. Mereka diutus untuk menjadi petunjuk dengan ajaran dan risalah yang dibawanya. Mereka juga sebagai pengingat bahwa Islam sebagai ajaran yang benar, dan akan ada hari akhir, di mana semua amal selama di dunia akan dibalas oleh Allah. Misalnya, Nabi Muhammad saw sebagai pembawa ajaran sekaligus pembaharu Islam sesuai apa yang menjadi risalah baginya dan sesuai keadaan umatnya. Begitu juga umat sebelumnya, mereka juga mempunyai ajaran yang tidak jauh berbeda dengan risalah Nabi Muhammad saw. Ajaran itu berisi tentang akidah, ibadah, mu’amalah dengan sesama, dan lainnya.


Banyaknya para nabi dan rasul yang Allah utus untuk menyerukan tauhid, tentu juga membawa ajaran syariat yang berbeda. Perbedaan melahirkan berbagai amaliah dan hukum yang juga berbeda. Berbagai syariat itu tentunya tidak bisa dihilangkan dengan sia-sia, tanpa diteruskan oleh nabi dan umat setelahnya. Dari sini perlu dipahami dan dimengerti, apakah syariat yang mereka bawa juga termasuk syariat Nabi Muhammad dan umatnya? Atau hanya dikhususkan untuk mereka? 


Ajaran Islam yang diterima Nabi Muhammad saw sebagai agama universal dan sangat luas. Islam tidak hanya menjadikan satu dalil yang sudah final (Al-Qur’an dan hadits) sebagai satu-satunya referensi otoritas yang tidak memberikan kesempatan dan keleluasaan untuk menerapkan dalil-dalil lain sebagai pendukung atau sebagai penjelasan lebih detail tentangnya. Salah satu dalil yang harus dikaji dan dipahami adalah Syar’u Man Qablana (syariat sebelum Nabi Muhammad saw), seperti syariat Nabi Ibrahim as, syariat Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan nabi-nabi yang lain.


Masalah Dasar Sebelum Memahami Syar’u Man Qablana
Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani (wafat 1250 H) menjelaskan, ada dua masalah pokok yang perlu dipahami sebelum membahas Syar’u Man Qablana lebih dalam, yaitu: (1) apakah Rasulullah saw diperintah untuk menjalankan syariat; dan (2) apakah Rasulullah saw diperintah menjalankan syariat sebelum masa kenabiannya.


Perihal dua masalah di atas, mengenai masalah pertama, ulama sepakat bahwa disamping Rasulullah sebagai pembawa syariat (musyarri’), ia juga dituntut untuk menjalankan semua syariat yang dibawanya. Namun, ulama berbeda pendapat perihal masalah yang kedua, menurut sebagian pendapat, Rasulullah saw dituntut untuk menjalankan syariat sebelum masa kenabiannya, dan syariat yang dijadikan pedoman adalah syariat Nabi Adam as, sebagai syariat pertama yang ada di muka bumi.  Ada yang berpendapat, Rasulullah saw dituntut menjalankan syariat Nabi Nuh as, sebelum masa kenabiannya. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah dituntut untuk menjalankan syariat Nabi Ibrahim as. Adapula pendapat yang terakhir menyatakan bahwa Rasulullah saw dituntut menjalankan syariat Nabi Isa as. Sebab, masa di antara keduanya sangat dekat dibanding dengan masa nabi sebelumnya.


Namun pendapat yang dijadikan pedoman mayoritas ulama adalah Rasulullah saw tidak dituntut untuk menjalankan syariat para nabi sebelumnya, sebelum masa kenabiannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang diprakarsai oleh Imam al-Qusyairi dan dipedomani oleh mayoritas ulama. Menurutnya, jika sebelum masa kenabian Rasulullah saw dituntut untuk menjalankan syariat nabi sebelumnya, hal itu menunjukkan bahwa Rasulullah saw akan abai dan acuh pada syariatnya sendiri setelah kenabiannya. Dalam kitab Irsyâdul Fuhûl dijelaskan:


وَرَجَّحَ هَذَا: أَيْ عَدَمَ التَّعَبُّدِ بِشَرِعٍ قَبْلَ الْبِعْثَةِ. هَذَا مَا نَرْتَضِيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَلَى دِيْنٍ لَنَقَلَ وَلَذَكَرَهُ، إِذْ لَا يُظَنُّ بِهِ الْكِتْمَانُ


Artinya, “Dan (ulama) mengunggulkan (pendapat) ini, yaitu tidak dituntutnya (Rasulullah saw) dengan syariat sebelum kenabiannya. Ini merupakan pendapat yang kami ridhai, sebab jika Rasulullah saw ada dalam sebuah agama (syariat), maka ia akan mencatat, dan menjelaskannya, sebab tidak bisa disangka bahwa Rasulullah saw menyimpan (syariat)nya.” (Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ilâ Tahqîqil Haqqi min ‘Ilmil Ushûl, [Dârul Kutubil ‘Arabi, cetakan pertama: 1999], juz II, halaman 177).


Dua hal pokok di atas menjadi malasah dasar sebelum memahami Syar’u Man Qablana. Darinya pula, para ulama menjadikan Syar’u Man Qablana sebagai salah satu dalil perihal disyariatkannya syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, tepatnya setelah masa kenabiannya, atau justru tidak dijadikan syariat.


Definisi Syar’u Man Qablana
Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan Syar’u Man Qablana dengan arti hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi mereka, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Dawud dan Nabi Isa ‘alaihimussalam. Secara istilah Syar’u Man Qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt yang dibawa oleh para nabi mereka dan disyariatkan kepada umatnya. Para ulama berbeda pendapat, apakah Syar’u Man Qablana menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad atau tidak.


Menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, Syar’u Man Qablana atau syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw terklasifikasi menjadi dua bagian:

 

Bagian pertama, Syar’u Man Qablana yang tidak disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bagian pertama ini ulama sepakat bahwa syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw tidaklah menjadi syariat baginya dan umatnya. Contohnya setiap pekerjaan dan ritual yang dilakukan oleh orang-orang ahli kitab namun tidak diketahui dari mana sumber pekerjaan mereka dan syariat Nabi Muhammad saw tidak menganjurkannya. Dalam hal ini, para ulama lebih memilih diam (mauqûf) dari menganggapnya sebagai syariat umat terdahulu atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra bahwa orang-orang ahli kitab membaca Kitab Taurat menggunakan bahasa Ibrani dan menafsiri dengan menggunakan bahasa Arab, lantas Rasulullah saw bersabda:

 

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ (رواه البخاري)

 

Artinya, “Janganlah kalian benarkan ahli kitab, juga jangan mengingkari mereka.” (HR al-Bukhari).

 

Setelah Rasulullah saw menyampaikan sabda di atas, beliau melanjutkan firman Allah, yaitu:


قُولُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ


Artinya, “Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak cucunya, dan pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.’” (QS Al-Baqarah: 136).


Isi, makna dan kandungan kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelum Al-Qur’an sudah banyak yang diubah, mulai dari bahasa, terjamah dan arti oleh orang-orang ahli kitab. Karenanya, Rasulullah saw memberikan alternatif agar tidak membenarkan mereka, khawatir sudah diubah sesuai kehendaknya, juga tidak memperbolehkan mengingkari, karena bisa jadi ada sebagian yang masih utuh sesuai ajaran yang diturunkan. Adapun cara terbaik adalah tidak menanyakan semua itu. Dengan kata lain, isi kitab-kitab yang diturunkan dan masih sesuai dengan makna awalnya maka harus dipercaya dan diiman sebagai manifestasi keimanan pada ajaran nabi sebelumnya. Sikap tidak mempersoalkan firman Allah merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat di atas.


Bagian kedua, Syar’u Man Qablana yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadits. Dalam bagian kedua ini ada beberapa poin penting yang perlu dipahami dari syariat nabi terdahulu yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, bahwa ulama masih mengklasifikasi perihal apakah hal  itu menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw atau tidak. Perincian itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:


Pertama, Syar’u Man Qablana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi saw, namun dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad saw, maka ulama sepakat hal itu tidak termasuk komponen dari syariat Nabi Muhammad saw. Contohnya dalam Al-Qur’an Allah berfirman:


وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ، وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْم،ٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ


Artinya, “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya, dan sungguh Kami Mahabenar.” (QS al-An’am: 146)


Ayat di atas secara tegas mengharamkan setiap hewan yang mempunyai kuku, seperti burung, unta, angsa, dan semua jenis hewan yang mempunyai kuku. Begitu juga haram mengkonsumsi lemak hewan yang gemuk selain punuk dan perut besarnya. Ayat ini juga mengisahkan perihal yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Allah menegaskan tentang keharaman hewan-hewan yang telah disebutkan. Kemudian dijelaskan pula dalam Al-Qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:


قُل لَّا أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ


Artinya, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi orang yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.” (QS al-An’am: 145).


Ayat ini menghapus keharaman hewan-hewan yang telah diharamkan dan menjadi syariat bagi nabi terdahulu serta tidak diterapkan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya. Menurut Sayyid Thanthawi, ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kepada umat Nabi Muhammad saw kecuali bangkai (hewan mati yang tidak disembelih secara syar’i), darah yang mengalir, seperti darah yang keluar ketika hewan ketika disembelih, bukan darah beku seperti hati, dan limpa. Juga haram mengkonsumsi daging anjing dan babi karena semua itu dianggap kotor dan tidak disukai oleh watak manusia yang sehat, serta membahayakan pada kesehatan. (Sayyid Thanthawi, Tafsîrul Wasîth, halaman 1555)


Kedua, Syar’u Man Qablana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi saw dan tidak dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa syariat tersebut menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad saw dan umatnya. Contohnya dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:


يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).


Pada ayat tersebut secara tegas Allah mewajibkan puasa kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya, sebagaimana diwajibkannya puasa bagi umat sebelumnya. Secara historis, yang melaksanakan kewajiban puasa pertama kali adalah umat nabi terdahulu, namun kewajiban itu terus berlanjut bahkan menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad saw. Karenanya ulama sepakat bahwa termasuk dari syariat kita adalah syariat umat nabi terdahulu yang diakui dalam Al-Qur’an sebagai komponen dari syariat Nabi Muhammad saw.


Ketiga, hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadits nabi, dijelaskan sebagai syariat umat sebelum Nabi Muhammad saw, namun secara jelas tidak dinyatakan menjadi syariat untuk Nabi Muhammad saw dan umatnya, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh (hapus).
    

Terkait bagian ketiga ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad saw, yaitu pendapat jumhur dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’iyah. Ada juga yang  mengatakan tidak menjadi bagian dari syariat umat Nabi Muhammad saw, yaitu pendapat râjih (unggul) mazhab Syafi’i dan ulama Asy’ariyah.


Dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok pertama adalah firman Allah swt dalam Al-Qur’an, yaitu:


ثُمَّ أَوْحَيْنَا إلَيْكَ أَنِ اتّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنيفًا


Artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.’” (QS An-Nahl: 123).


Argumentasi yang disampaikan Syekh Wahbah az-Zuhaili begini. Syariat yang diturunkan kepada siapa pun merupakan syariat yang diturunkan Allah, dan juga tidak ditemukan ayat lain yang menghapusnya, sementara Allah menceritakan kepada umat Islam dalam firman-Nya melalui lisan nabi-Nya, maka hal ini menjadi dalil secara tersirat yang harus diikuti oleh umat Nabi Muhammad saw. Sebab Allah tidak akan menceritakannya jika tidak ingin dijadikan syariat, atau setidaknya akan ada ayat lain yang akan menghapus makna ayat tersebut.


Adapun dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok kedua adalah firman Allah dalam Al-Qur’an, yaitu:


لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا


Artinya, “Untuk setiap umat dari kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS al-Ma’idah: 48).


Ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah swt menjadikan syariat tersendiri yang dibawa oleh masing-masing nabi untuk umatnya. Tentu setiap syariat yang dibawa oleh nabi yang berbeda akan menghapus syariat nabi sebelumnya, kecuali ada ketentuan khusus yang menjadikan syariat terdahulu sebagai bagian dari syariat umat nabi setelahnya, sebagaimana penjelasan pada poin kedua. (Wahbah az-Zuhaili, al-Wajîz fî Ushûlil Fiqh, halaman 102-104).


Menurut Syekh Wahbah yang lebih unggul dari kedua pendapat di atas adalah pendapat dari mayoritas ulama dan ulama mazhab Hanafiyah serta sebagian kalangan Syafi’iyah yang menyatakan bahwa Syar’u Man Qablana ini dinyatakan sebagai syariat kita. Alasannya, syariat kita hanya membatalkan syariat orang terdahulu yang di anggap tidak sesuai dengan keadaan umat Nabi Muhammad saw. Karena itu, Syar’u Man Qablana yang disebutkan dalam Al-Qur’an tanpa ada penegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka kedudukannya berlaku bagi umat Nabi Muhammad saw. Sebab syariat yang di berlakukan hukumnya, pada hakikatnya adalah hukum Allah swt, disampaikan oleh para rasul kepada umatnya selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Sementara Al-Qur’an hadir untuk membenarkan hukum yang terdapat dalam kitab Taurat, Zabur dan Injil. Karenanya, selama tidak ada yang membatalkan, hukum yang terdapat pada ketiga kitab terdahulu itu berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad saw. Wallahu a'lam.
 


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.