Syariah

Ragam Pendapat Ulama Mengenai Kerja Membangun Rumah Ibadah Nonmuslim

Kamis, 22 Desember 2022 | 12:00 WIB

Ragam Pendapat Ulama Mengenai Kerja Membangun Rumah Ibadah Nonmuslim

Ulama berbeda pendapat perihal seorang muslim yang tergabung dalam proyek pembangunan rumah ibadah nonmuslim. (Ilustrasi: freepik)

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman pemeluk agamanya. Ada yang beragama Kristen Katolik, Islam, Budha, Konghucu, juga Hindu. Banyak bangunan rumah ibadah tersebar di Indonesia termasuk keberadaannya yang terletak tak berjauhan. Selain dibangun oleh pemeluk agamanya masing-masing, proses pembangunannya juga terkadang melibatkan umat agama lain.


Mengenai pembangunan gereja misalnya, seringkali kita melihat tukang yang membangun gereja adalah Muslim. Tak jarang, para pekerja tetap menunaikan shalat di tengah kesibukan mereka membangun gereja.


Terkait dengan fenomena ini, para ulama memiliki perbedaan pandangan hukum. Pertama, ulama mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menegaskan pembangunan gereja di daerah Muslim adalah haram, sebab termasuk membantu wujudnya kemaksiatan kepada Allah.


Syekh Tajuddin as-Subuki menegaskan bahwa pembangunan gereja adalah bentuk maksiat kepada Allah baik itu dibangun oleh Muslim ataupun Nonmuslim


قال الفقهاؔ Ł„Łˆ ŁˆŲµŁ‰ ببناؔ ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© ŁŲ§Ł„ŁˆŲµŁŠŲ© باطلة لأن بناؔ Ų§Ł„ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ© وكذا ŲŖŲ±Ł…ŁŠŁ…Ł‡Ų§ ŁˆŁ„Ų§ فرق أن ŁŠŁƒŁˆŁ† Ų§Ł„Ł…ŁˆŲµŁŠ مسلما أو كافرا وكذا Ł„Łˆ ŁˆŁ‚Ł على ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„ŁˆŁ‚Ł باطلا مسلما ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„ŁˆŲ§Ł‚Ł أو كافرا فبناؤها ŁˆŲ„Ų¹Ų§ŲÆŲŖŁ‡Ų§ ŁˆŲŖŲ±Ł…ŁŠŁ…Ł‡Ų§ Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ© مسلما ŁƒŲ§Ł† الفاعل Ł„Ų°Ų§Ł„Łƒ أو كافرا كذا Ų“Ų±Ų¹ Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ


Artinya, ā€œUlama ahli fikih mengatakan ā€œSeandainya seseorang berwasiat untuk membangun gereja maka wasiat itu batal karena membangun gereja adalah maksiat begitu juga merenovasinya, dan tidak ada perbedaan baik orang yang berwasiat adalah Muslim maupun kafir, begitu juga seandainya wakaf untuk gereja maka wakaf tersebut batal, baik orang yang wakaf adalah Muslim maupun kafir, maka pembangunan gereja, renovasi maupun pemugaran gereja adalah maksiat, baik pelakunya Muslim maupun kafir dan inilah syariat nabi Muhammad Sawā€. (Taqiyuddin As-Subki, Fatawa as-Subuki, [Kairo, Dar Ma’arif: 2011 M], juz II, halaman 369).


Begitu juga, mayoritas ulama menganggap bekerja di gereja baik dalam bentuk pembangunan maupun melengkapi perabotan di dalamnya adalah bentuk membantu melaksanakan maksiat serta bentuk mengagungkan ajaran agama mereka.Bahkan, ulama mazhab Maliki berfatwa untuk menghukum kepada orang-orang yang melakukan hal demikian.


ذهب Ų¬Ł…Ł‡ŁˆŲ± الفقهاؔ ؄لى أنه لا يجوز للمسلم أن ŁŠŲ¹Ł…Ł„ لأهل الذمة في Ų§Ł„ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© نجارا أو بناؔ أو غير Ų°Ų§Ł„ŁƒŲŒ لأنه ؄عانة على Ų§Ł„Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ©ŁˆŁ„Ų£Ł†Ł‡ Ų„Ų¬Ų§Ų±Ų© تتضمن ŲŖŲ¹ŲøŁŠŁ… ŲÆŁŠŁ†Ł‡Ł… ŁˆŲ“Ų¹Ų§Ų¦Ų±Ł‡Ł…ŲŒ وزاد Ų§Ł„Ł…Ų§Ł„ŁƒŁŠŲ© بأنه يؤدب المسلم ؄لا أن يعتذر بجهالة.


Artinya ā€œMayoritas ulama ahli fikih berpendapat bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim untuk bekerja kepada orang ahli dzimmah di gereja mereka, baik sebagai tukang perabotan, tukang pembangunan maupun selainnya, karena hal tersebut adalah bentuk membantu perbuatan maksiat, dan hal tersebut adalah akad yang mengandung pengagungan atas agama dan syiar mereka. Ulama mazhab Maliki menambahkan bahwa mereka harus dihukumi kecuali bila mereka beralasan tidak tahu hukum perbuatan tersebutā€ (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 2008 M:Ā 38/158).


Kedua, Syekh Ibnu ā€˜Abidin juga banyak ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad kontrak untuk bekerja dan membangun gereja bukanlah bentuk maksiat secara substansial sehingga termasuk akad pekerjaan yang diperbolehkan.


(وجاز ŲŖŲ¹Ł…ŁŠŲ± ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų©)  قال في Ų§Ł„Ų®Ų§Ł†ŁŠŲ© ŁˆŁ„Łˆ Ų¢Ų¬Ų± نفسه Ł„ŁŠŲ¹Ł…Ł„ في Ų§Ł„ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© ŁˆŁŠŲ¹Ł…Ų±Ł‡Ų§ لا ŲØŲ£Ų³ به لأنه لا Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ© في Ų¹ŁŠŁ† عمل


Artinya ā€œDan boleh dalam pembangunan gereja, dalam kitab al-Khaniyah disebutkan bahwa seandainya ia disewa untuk bekerja di gereja dan membangun gereja maka tidak masalah karena hal tersebut bukan maksiat secara substansialā€ (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ā€˜ala ad-Durr al-Mukhtar, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M], juz VI, halaman 391).


Ulama mazhab Hanafi berargumentasi bahwa yang dikenai hukum maksiat adalah pihak yang melakukan maksiat secara langsung yaitu sang penyewa/pemberi upah bila yang diinginkan adalah sarana prasarana maksiat bukan pekerja yang disewa.


ŁƒŁ…Ų§ Ł„Łˆ Ų¢Ų¬Ų± Ų“Ų®Ųµ نفسه Ł„ŁŠŲ¹Ł…Ł„ في بناؔ ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© أو Ł„ŁŠŲ­Ł…Ł„ خمر Ų§Ł„Ų°Ł…ŁŠ بنفسه أو على دابته أو Ł„ŁŠŲ±Ų¹ŁŠ له Ų§Ł„Ų®Ł†Ų§Ų²ŁŠŲ± أو Ų¢Ų¬Ų± بيتا Ł„ŁŠŲŖŲ®Ų° بيت نار أو ŁƒŁ†ŁŠŲ³Ų© أو بيعة أو يباع ŁŁŠŁ‡ الخمر Ų¬Ų§Ų² له عند أبي Ų­Ł†ŁŠŁŲ© لأنه لا Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ© في العمل ŁˆŲ„Ł†Ł…Ų§ Ų§Ł„Ł…Ų¹ŲµŁŠŲ© بفعل المستأجر ŁˆŁ‡Łˆ فعل فاعل Ł…Ų®ŲŖŲ§Ų±.


Artinya ā€œSebagaimana seandainya menyewa seseorang untuk membangun gereja, membawakan minuman keras milik orang kafir dzimmi baik dengan dirinya sendiri atau dengan tunggangannya, menggembalakan babinya (milik kafir dzimmi), menyewakan rumah untuk dipakai sebagai kuil menyembah api, gereja, biara atau tempat dijualnya minuman keras, maka hal ini semua diperbolehkan menurut imam Abu Hanifah, karena bukan maksiat secara pekerjaan (bagi orang yang disewa), akan tetapi terhitung maksiat bagi orang yang menyewa/memberikan upah karena dia pelakunyaā€ (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Dar Salasil Kuwait: 2008], juz XXXVIII, halaman 213).


Walhasil, pendapat ulama Mazhab Hanafi adalah pendapat yang paling tepat dan paling sesuai dengan kondisi di negara Indonesia. Hal ini mengingat kentalnya budaya masyarakat kita yang membaur dan saling menghormati antarumat beragama.


Pembangunan gereja maupun rumah ibadah agama lain adalah kebutuhan penting bagi pemeluknya. Dan banyak ulama islam yang memberikan toleransi hal ini.


Bahkan, dahulu di Mesir syekh al-Laits bin Sa’ad, seorang mujtahid mutlak yang setara dengan imam Malik bin Anas di Madinah serta Abdullah Ibnu Lahi’ah, seorang mufti tertinggi di Mesir menyatakan bahwa pembangunan rumah ibadah Nonmuslim adalah bentuk pembangunan negara untuk kebutuhan rakyatnya yang Nonmuslim.


Keduanya mengambil dalil bahwa pembangunan gereja di Mesir justru terjadi sejak masuknya islam di mesir yaitu pada zaman sahabat dan tabi’in.


أن Ł…ŁˆŲ³Ł‰ بن عسى لما ŁˆŁ„Ł‰ Ł…ŲµŲ± من قبل Ų£Ł…ŁŠŲ± Ų§Ł„Ł…Ų¤Ł…Ł†ŁŠŁ† Ł‡Ų§Ų±ŁˆŁ† Ų§Ł„Ų±Ų“ŁŠŲÆ أذن للنصارى في ŲØŁ†ŁŠŲ§Ł† Ų§Ł„ŁƒŁ†Ų§Ų¦Ų³ Ų§Ł„ŲŖŁŠ هدمها على بن Ų³Ł„ŁŠŁ…Ų§Ł†ŲŒ ŁŲØŁ†ŁŠŲŖ ŁƒŁ„Ł‡Ų§ ŲØŁ…Ų“ŁˆŲ±Ų© Ų§Ł„Ł„ŁŠŲ« بن Ų³Ų¹ŲÆ وعبد الله بن Ł„Ł‡ŁŠŲ¹Ų© ŁˆŁ‚Ų§Ł„Ų§ Ł‡Łˆ من عمارة البلاد واحتجا أن Ų§Ł„ŁƒŁ†Ų§Ų¦Ų³ Ų§Ł„ŲŖŁŠ ŲØŁ…ŲµŲ± لم تبن ؄لا في ال؄سلام في زمان الصحابة ŁˆŲ§Ł„ŲŖŲ§ŲØŲ¹ŁŠŁ†


Artinya ā€œMusa bin Isa ketika menjadi gubernur Mesir di Masa khalifah Harun ar-Rasyid mengizinkan perang Nasrani untuk membangun gereja yang sebelumnya dihancurkan oleh Ali bin Sulaiman. Maka dibangunlah gereja-gereja tersebut berkat hasil musyawarah dengan al-Laits bin Sa’ad dan Abdullah bin Lahi’ah. Keduanya berpendapat bahwa pembangunan gereja sebagai pembangunan negara. Keduanya mengambil dalil bahwa gereja yang ada di Mesir baru dibangun sejak masuknya Islam di zaman sahabat dan tabi’inā€ (Abu UmarĀ Al-Kindi, al-Wullah wal Qadha’,Ā [Beirut, Darul Kutub Al-Imiyyah: tanpa tahun], halaman 100).


Ustadz Muhammad Tholhah Al-Fayadl, mahasiswa Al-Azhar, Kairo