Peringatan Ibnu Khaldun tentang Bahaya Pajak Tinggi bagi Stabilitas Ekonomi
NU Online · Selasa, 2 September 2025 | 07:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Beberapa waktu lalu, isu kenaikan pajak menjadi sorotan di Indonesia. Misalnya, rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah yang kemudian memicu gelombang protes masyarakat. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, aliansi warga menolak kebijakan Bupati yang hendak menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen. Penolakan itu bahkan berujung pada demonstrasi besar dengan tuntutan agar sang kepala daerah mundur dari jabatannya.
Hal serupa terjadi di Pinrang, Sulawesi Selatan, di mana masyarakat menolak kebijakan pemerintah kabupaten terkait kenaikan PBB. Meskipun pemerintah daerah mengklaim 60% wajib pajak menerima tarif baru, aksi demonstrasi di jalan menunjukkan adanya keresahan dan beban tambahan bagi masyarakat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pajak memang menjadi urat nadi keuangan nasional maupun daerah, tetapi kebijakan kenaikan pajak, jika tidak dikelola dengan bijaksana, justru bisa menimbulkan resistensi sosial dan mengganggu stabilitas ekonomi.
Dalam wacana fiskal modern, salah satu teori yang paling sering dikutip ketika membahas dampak tarif pajak tinggi adalah Kurva Laffer. Teori ini diperkenalkan oleh ekonom Amerika Serikat, Arthur B. Laffer, pada 1970-an. Menurut Laffer, perubahan tarif pajak menimbulkan dua efek utama:
- Efek aritmetika: jika tarif pajak naik, penerimaan per unit basis pajak juga naik; jika tarif diturunkan, penerimaan per unit turun.
- Efek ekonomi: tarif pajak rendah memberi insentif bagi masyarakat untuk bekerja, berproduksi, dan berinvestasi lebih banyak sehingga memperluas basis pajak. Sebaliknya, tarif pajak tinggi justru mengurangi minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi yang dikenai pajak.
Kurva ini menunjukkan bahwa pada titik tertentu, menaikkan tarif pajak justru akan mengurangi penerimaan negara, karena basis pajak menyusut akibat aktivitas ekonomi yang melemah atau berpindah ke sektor informal. Itulah yang disebut “prohibitive range” dalam Kurva Laffe. (Arthur B. Laffer, The Laffer Curve: Past, Present, and Future, [Washington D.C.: Heritage Foundation Backgrounder No.1765], 2004, hlm. 1–3)
Menariknya, jauh sebelum Laffer, gagasan serupa pernah disampaikan oleh sejarawan dan filsuf Muslim abad ke-14, Ibnu Khaldun. Dalam kitab monumentalnya, al-Muqaddimah, ia menulis pada bab "fi darbhil mukus awakhir ad-daulah:
اعلم أن الدولة تكون في أولها بدوية كما قلنا، فتكون لذلك قليلة الحاجات لعدم الترف وعوائده، فيكون خرجها وإنفاقها قليلاً، فيكون في الجباية حينئذ وفاء بأزيد منها، بل يفضل منها كثير عن حاجاتهم. ثم لا تلبث أن تأخذ بدين الحضارة في الترف وعوائدها، وتجري على نهج الدول السابقة قبلها، فيكثر لذلك خراج أهل الدولة، ويكثر خراج السلطان خصوصاً كثرة بالغة بنفقته في خاصته، وكثرة عطائه، ولا تفي بذلك الجباية
Artinya, "Ketahuilah bahwa suatu negara pada awal berdirinya biasanya masih sederhana, sebagaimana telah kami sebutkan. Karena itu, kebutuhannya sedikit, sebab belum mengenal kemewahan dan kebiasaan hidup mewah. Pengeluaran negara pun kecil, sehingga pajak yang dipungut ketika itu mencukupi bahkan melebihi kebutuhan, bahkan masih banyak tersisa. Namun, tidak lama kemudian negara mulai mengikuti pola kehidupan kota yang penuh kemewahan dan kebiasaan boros, meniru model negara-negara sebelumnya. Akibatnya, pajak rakyat semakin besar, dan khususnya beban pengeluaran sultan meningkat pesat, baik untuk kebutuhan pribadinya maupun pemberian hadiah. Pada titik ini, pajak yang terkumpul sudah tidak lagi mencukupi." (Muqaddimah Ibn Khaldun, [Lebanon: Darul Kutub al-ʻIlmiyyah, 2020], hlm. 219).
Kemudian Ibnu Khaldun melanjutkan, "Maka negara terpaksa menaikkan pungutan pajak demi memenuhi kebutuhan tentara dan belanja sultan. Awalnya hanya menambah sedikit, kemudian terus meningkat seiring bertambahnya kebutuhan mewah, biaya tentara, dan hadiah. Ketika negara mulai menua dan kekuatan sosialnya melemah, kemampuannya memungut pajak dari wilayah jauh berkurang. Akhirnya pemasukan pajak semakin sedikit, sementara pengeluaran terus membengkak, terutama untuk gaji dan tunjangan tentara."
"Sultan kemudian menciptakan jenis-jenis pajak baru, dipungut dari transaksi jual-beli, dari harga barang di pasar, bahkan dari komoditas yang ada di kota. Ia melakukan itu karena terpaksa, akibat tuntutan gaya hidup mewah masyarakat, semakin banyaknya tentara, dan besarnya kebutuhan. Pada masa akhir negara, pajak ini bisa naik sangat tinggi sehingga pasar menjadi lesu, harapan masyarakat hilang, pembangunan rusak, dan akhirnya hal itu berbalik menghancurkan negara. Kondisi ini terus bertambah parah hingga negara runtuh."
"Hal semacam ini banyak terjadi di negeri-negeri Timur pada akhir masa Dinasti Abbasiyah dan Fathimiyah, ketika pajak bahkan dikenakan kepada jamaah haji. Namun kemudian Shalahuddin al-Ayyubi menghapus semua pungutan itu dan menggantinya dengan kebijakan baik. Hal yang sama juga terjadi di Andalusia pada masa Muluk al-Thawaif, sampai Yusuf bin Tasyfin dari Dinasti Murabitun menghapusnya. Demikian pula di wilayah Jarid, Afrika, ketika para pemimpinnya bertindak sewenang-wenang memungut pajak. Wallahu a‘lam." (Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 219).
Pernyataan Ibnu Khaldun ini menunjukkan pemikiran yang sejalan dengan Kurva Laffer, bahwa pajak yang terlalu tinggi justru melemahkan perekonomian dan pada gilirannya mengurangi penerimaan negara.
Kenaikan pajak, terutama pajak konsumsi, kerap langsung dirasakan di tingkat rumah tangga. Masyarakat memandang beban belanja harian semakin berat, sementara pendapatan atau gaji tidak ikut naik. Hal ini menimbulkan persepsi negatif terhadap kebijakan fiskal pemerintah. (Nurul Kharisma & Imahda Khori Furqon, “Analisis Dampak Kenaikan Tarif PPN Terhadap Masyarakat dan Inflasi di Indonesia,” Jurnal Sahmiyya, Vol. 2, No. 2, 2023, hlm. 295).
Pelaku usaha, khususnya pedagang kecil dan menengah, juga terkena imbasnya. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: menaikkan harga barang atau menanggung sendiri tambahan beban pajak. Kondisi ini sering menekan margin keuntungan dan daya saing sehingga memicu pro-kontra di kalangan dunia usaha. (Analisis Dampak Kenaikan Tarif PPN..., hlm. 295).
Secara makro, kebijakan pajak yang lebih tinggi juga berpotensi melemahkan daya beli. Meski penelitian menunjukkan dampak kenaikan pajak terhadap inflasi relatif kecil, masyarakat tetap merasakan harga kebutuhan pokok bergerak naik seiring dengan kebijakan fiskal tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya mencatat bahwa inflasi lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga minyak goreng dan bahan bakar minyak (BBM), tetapi kenaikan pajak tetap memberi kontribusi. (Analisis Dampak Kenaikan Tarif PPN..., hlm. 301).
Ketika beban pajak meningkat tanpa diimbangi dengan kenaikan pendapatan, konsumsi masyarakat cenderung menurun. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menekan pertumbuhan ekonomi riil. Peringatan semacam ini sudah jauh hari disampaikan Ibnu Khaldun, yang melihat bahwa pajak yang terlalu berat justru melemahkan kegiatan ekonomi dan akhirnya merugikan negara itu sendiri.
Pemikiran Ibnu Khaldun masih sangat relevan. Belanja negara yang semakin tinggi dan pungutan pajak yang kian besar sering kali berujung pada pasar yang lesu, hilangnya optimisme, dan terhambatnya pembangunan. Dalam istilah modern, keadaan ini serupa dengan “rentang prohibitif” dalam Kurva Laffer, di mana pajak yang terlalu tinggi justru menurunkan penerimaan negara.
Karena itu, kebijakan fiskal sebaiknya ditempuh dengan penuh kehati-hatian. Meningkatkan penerimaan negara bukan semata soal menambah tarif, melainkan dengan memperluas basis pajak, memperkuat kepatuhan pajak yang humanis dan adil, memperkuat hukum agar korupsi tertangani, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Dengan begitu, masyarakat dapat berkontribusi melalui pajak tanpa merasa terbebani, sementara negara tetap memiliki ruang fiskal untuk membiayai pembangunan secara berkelanjutan. Wallahu a'lam.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online & Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
Demo Agustus 2025: Alarm Keras Suara Rakyat
2
PMII Jakarta Timur Tuntut Keadilan Usai Kadernya Tertembak Peluru Karet hingga Tembus Dada
3
PBNU Bersama 15 Ormas Islam Serukan Masyarakat Tenang dan Menahan Diri di Tengah Memanasnya Situasi
4
Instruksi Kapolri soal Tembak di Tempat Dinilai Berbahaya, Negara Harus Lakukan Evaluasi
5
Massa Aksi Jarah Markas Gegana dan Bakar Halte Senen yang Tak Jauh dari Mako Brimob Kwitang
6
Haul Ke-44 KH Abdul Hamid Pasuruan, Ini Rangkaian Acaranya
Terkini
Lihat Semua