Ongkos Berhaji, Menunggu Mampu atau Memampukan Diri?
NU Online · Selasa, 15 Agustus 2017 | 01:02 WIB
Namun tidak demikian dengan haji. Rukun Islam yang satu ini memiliki catatan khusus dalam pengamalannya, yakni syarat adanya kemampuan.
Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 97 Allah berfirman:
Artinya, “Dan wajib atas manusia karena Allah berhaji ke Baitullah yakni bagi orang yang mampu menjalaninya.”
Tentang ayat ini para mufasir menjelaskan bahwa syarat melakukan ibadah haji adalah memiliki kemampuan dalam hal bekal, kendaraan, dan juga nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan sampai dengan kembali lagi kepada mereka. Lebih lanjut, masih dalam hal kemampuan, Imam Baghawi juga mensyaratkan adanya keamanan dalam perjalanan, terbebas dari tanggungan hutang serta beberapa syarat lainnya (lihat Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil (Kairo: Darul Alamiyah, 2015), jilid 1, hal. 463)
Secara ringkas kita sering menyebut ibadah haji sebagai ibadah yang wajib dilakukan bagi seorang Muslim yang mampu saja, yang tidak mampu tidak wajib berhaji. Hanya saja pada prakteknya batas kemampuan ini menjadi rancu ketika diterapkan di masyarakat.
Ada orang yang ditanya kapan ia akan beribadah haji lalu menjawab dengan kalimat “saya belum mampu”, “saya tidak punya uang sebanyak itu untuk mendaftar” dan jawaban semisalnya yang menunjukkan ketidakmampuannya. Padahal bila melihat harta yang dimiliki bisa jadi sesungguhnya ia telah memiliki kemampuan dan terkena beban kewajiban untuk berhaji. Ada semacam pemahaman di masyarakat bahwa seseorang dianggap mampu berhaji apabila pada satu waktu ia memiliki sejumlah uang yang cukup untuk mendaftar dan melunasi biaya ibadah haji serta untuk bekal selama di tanah suci. Meski ia mampu membeli sepeda motor dan bahkan mobil sekalipun, bila pada satu waktu ia tak memiliki uang yang cukup untuk berbagai macam biaya haji maka ia anggap dirinya belum mampu dan bebas dari kewajiban berhaji. Pemahaman seperti ini kiranya kurang pas.
Bila melihat kedudukan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam—di mana rukun bisa berarti sebagai tiang penyangga yang membuat kokoh bangunan Islam—semestinya setiap orang Muslim berkemauan untuk berusaha secara maksimal untuk mendapatkan kemampuan berhaji sehingga kelima rukun Islam dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Semestinya setiap Muslim memiliki niat dan usaha yang kuat untuk bisa melaksanakan ibadah haji dan tidak bersembunyi di balik alasan “Allah belum memanggil saya”. Karena kedudukannya sebagai rukun Islam semestinya setiap Muslim tidak menomor-sekiankan ibadah haji lalu lebih memilih menggunakan hartanya untuk keperluan konsumtif yang lain.
Beranjak dari pemahaman di atas bisa diambil satu contoh bahwa seorang yang mampu membeli sepeda motor—umpamanya—secara kredit sesungguhnya ia juga dapat mengupayakan untuk mampu beribadah haji. Taruhlah seseorang membeli sepeda motor dengan uang muka lima juta rupiah. Ia terkena kewajiban melunasinya dengan mengangsur selama lima tahun atau enam puluh kali dengan besar angsuran lima ratus ribu rupiah per bulan. Maka ketika lunas ia telah mampu membayar sepeda motor itu seharga tiga puluh lima juta rupiah. Itu juga berarti ia mampu untuk menyisihkan uang sebanyak itu dalam waktu lima tahun. Bersamaan dengan itu ia juga bisa menjalani hidup secara layak, membiayai sekolah anak-anaknya, membayar beberapa tagihan rekening, dan memenuhi kebutuhan lainnya. Artinya pula, orang yang mampu membeli sepeda motor dengan pola seperti itu sesungguhnya ia juga mampu untuk mengusahakan kemampuan berhaji dari sisi biaya dengan cara menyisihkan penghasilan lima ratus ribu per bulan.
Namun yang terjadi di masyarakat tidaklah demikian. Banyak di antara mereka yang begitu mudah menyisihkan penghasilan demi membeli berbagai macam kebutuhan yang tak lagi primer, namun merasa berat untuk melakukan hal yang sama demi bisa melaksanakan rukun Islam kelima dengan alasan mulai dari “masih banyak kebutuhan ini dan itu” sampai alasan “belum dipanggil Allah”.
Bila dicermati lebih lanjut sesungguhnya upaya untuk mampu berhaji banyak dipengaruhi oleh seberapa besar niat dan kemauan untuk melaksanakannya. Setiap tahun di musim haji melalui media massa kita sering mendengar cerita seseorang yang dapat berhaji dari usahanya sebagai seorang pemulung, penjualan jajanan kecil di pinggir jalan, buruh cuci pakaian dan lain sebagainya. Karena kemauan yang kuat mereka sisihkan sebagian kecil pendapatannya yang memang tak besar. Dan setelah sekian tahun lamanya pada akhirnya mereka berkemampuan untuk berhaji dari uang tabungannya sebagai buah dari upaya memampukan diri.
Sebagai penutup, sekali lagi dari melihat bahwa haji adalah rukun Islam yang semestinya juga dipenuhi sebagaimana rukun Islam lainnya, kiranya tidak berlebihan bila pemahaman bahwa “haji adalah ibadah yang wajib bagi orang yang mampu” sedikit digeser menjadi bahwa “haji adalah ibadah yang wajib bagi semua umat Islam kecuali bagi yang tidak mampu”. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)
Terpopuler
1
Panduan Shalat Idul Adha: dari Niat, Bacaan di Antara Takbir, hingga Salam
2
Takbiran Idul Adha 1446 H Disunnahkan pada 5-9 Juni 2025, Berikut Lafal Lengkapnya
3
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Khutbah Jumat: Meraih Hikmah Kurban di Hari Raya Idul Adha
Terkini
Lihat Semua