Menitipkan Salam Kepada Lawan Jenis, Bagaimana Hukumnya?
NU Online · Selasa, 24 Desember 2024 | 13:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Mengucapkan salam kepada sesama manusia merupakan praktik baik yang sangat dianjurkan dalam Islam. Tidak hanya sekedar ekspresi penghormatan, salam juga mengandung nilai-nilai penting dalam aspek sosial. Tentu saja dengan menebar salam, hubungan harmonis di antara manusia akan terjalin dengan baik.
Nabi Muhammad saw menganjurkan umatnya untuk senantiasa menebar salam di tengah masyarakat. Tujuannya supaya rasa cinta antara sesama manusia menjadi terbentuk dan keharmonisan pun tercipta. Selain itu, salam juga bisa menjadi wasilah untuk masuk surga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda:
وعن أَبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَا تَدْخُلُوا الجَنَّةَ حَتَّى تُؤمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أوَلَا أدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ. رواه مسلم
Artinya, "Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: 'Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, kalian juga tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu, yang apabila dikerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian'." (HR. Muslim)
Akan tetapi, penjelasan di atas berlaku untuk umat Islam secara umum. Lalu bagaimana ketika ucapan salam ditujukan kepada lawan jenis, atau menitipkan salam tersebut kepada seseorang terdekatnya. Bagaimana para ulama memandangnya?
Hukum Menitipkan Salam kepada Lawan Jenis
Ketika menitipkan salam kepada lawan jenis, ulama mempertimbangkan beberapa hal untuk menentukan hukumnya. Salah satunya adalah status atau hubungan orang-orang yang terlibat dalam penyampaian salam tersebut.
Pertama, Jika seorang laki-laki menitipkan atau mengucapkan salam kepada perempuan ajnabiyyah (bukan mahram), melalui orang yang bukan mahramnya juga, maka hukumnya makruh. Namun, jika seorang perempuan menitipkan atau memberi salam untuk laki-laki ajnabi (bukan mahram), baik menggunakan perantara laki-laki atau perempuan yang bukan mahramnya, maka hukumnya haram.
Kedua, mengacu kepada menjawab salam. Laki-laki yang menerima titipan salam dari seorang perempuan, melalui perantara seseorang yang bukan mahramnya, maka hukumnya adalah makruh. Begitu juga perempuan, jika dia menerima salam dari seorang laki-laki ajnabi, melalui orang yang bukan mahramnya juga, maka hukumnya haram.
Baca Juga
Shalat Tarawih 4 Rakaat 1 Kali Salam
Ketiga, berbeda dengan dua konsekuensi hukum di atas. Menitipkan salam kepada lawan jenis, begitu juga dengan menjawab salam dari mereka, hukumnya adalah sunnah. Dengan catatan, di antara pengirim dan penerima salam memiliki hubungan kekerabatan, baik itu karena hubungan mahram atau dengan sebab pernikahan. Hal ini berlaku juga kepada lawan jenis yang lansia.
Penjelasan hukum tersebut dipaparkan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Syarh Fathul Mu’in:
ودخل في قولي مسنون سلام امرأة على امرأة أو نحو محرم أو سيد أو زوج وكذا على أجنبي وهي عجوز لا تشتهى ويلزمها في هذه الصورة رد سلام الرجل أما مشتهاة ليس معها امرأة أخرى فيحرم عليها رد سلام أجنبي ومثله ابتداؤه ويكره رد سلامها ومثله ابتداؤه أيضا والفرق أن ردها وابتداءها يطمعه لطمعه فيها أكثر بخلاف ابتدائه ورده قاله شيخنا ولو سلم على جمع نسوة وجب رد إحداهن إذ لا يخشى فتنة حينئذ
Artinya, "Termasuk juga dalam pendapatku, bahwa sunnah hukumnya perempuan mengucapkan salam kepada perempuan yang lain, kepada mahramnya, tuannya (jika budak dalam konteks masa itu), atau pun kepada suaminya. Demikian juga kepada laki-laki lansia yang bukan mahramnya, yang tidak mungkin ada muncul hasrat kepadanya. Seyogyanya bagi perempuan dalam hal ini juga, menjawab salam dari laki-laki tersebut.
Adapun jika seseorang yang mengucapkan salam tersebut dapat memungkinkan datang hasrat (misal: masih muda, dsb.), kemudian tidak ada perempuan lain yang membersamai, maka haram hukumnya perempuan tersebut menjawab salam. Sama halnya, hukum ini berlaku juga ketika perempuan yang terlebih dahulu mengucapkannya.
Kemudian, dimakruhkan bagi seorang laki-laki untuk menjawab salam dari perempuan, begitu juga mengucapkan salam kepadanya. Perbedaan ini disebabkan, bahwa jawaban dari seorang perempuan dan ucapan salamnya akan berakibat pada pengharapan laki-laki. Sebab lebih banyak harapan terjadi pada diri laki-laki, berbanding terbalik ketika laki-laki yang memulai mengucapkan salam dan membalasnya. Hal ini diungkapkan oleh guru kami.
Namun, andai laki-laki mengucapkan salam kepada sekumpulan wanita, maka salah seorang di antara mereka diwajibkan untuk menjawabnya, jika tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah ketika salam tersebut dijawab, sebagaimana dikutip dari pendapat Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Syarh Fathul Mu’in" [Beirut, Dar Ibnu Hazm, 2009: 595).
Penjelasan konsekuensi hukum terkait pengucapan dan penitipan salam tersebut, tidak hanya diungkapkan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari, akan tetapi Syekh Syamsuddin Ar-Ramli juga berpendapat demikian. Yakni, Bahwa perempuan yang mengucapkan salam terlebih dahulu atau menjawab salam dari laki-laki hukumnya adalah haram. Begitu juga keduanya bagi laki-laki, dihukumi makruh. Beliau menyebutkan dalam Nihayatul Muhtaj Jilid VIII (Beirut, Darul Fikr, 1984: 52):
وَيُنْدَبُ لِلنِّسَاءِ إلَّا مَعَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَيَحْرُمُ مِنْ الشَّابَّةِ ابْتِدَاءً وَرَدًّا وَيُكْرَهَانِ عَلَيْهَا، نَعَمْ لَا يُكْرَهُ سَلَامُ جَمْعٍ كَثِيرٍ مِنْ الرِّجَالِ عَلَيْهَا حَيْثُ لَمْ تَخَفْ فِتْنَةً لَا عَلَى جَمْعِ نِسْوَةٍ أَوْ عَجُوزٍ فَلَا يُكْرَهَانِ
Artinya, "Perempuan disunnahkan (mengucapkan dan menjawab salam) kecuali kepada laki-laki ajnabi (bukan mahram). Haram bagi perempuan terlebih dahulu mengucapkan salam dan menjawab salam dari laki-laki. Kemudian, kedua hal tersebut (mengucapkan salam dan menjawab salam) dimakruhkan bagi laki-laki atas perempuan.
Akan tetapi, hukumnya tidak makruh jika sekumpulan laki-laki mengucapkan salam kepada seorang perempuan, jika tidak dikhawatirkan fitnah. Begitu juga kepada sekumpulan wanita dan para lansia, tidak dimakruhkan bagi laki-laki untuk mengucapkan dan menjawab mereka."
Selanjutnya, bagi orang yang dititipkan salam atau yang menjadi perantara, maka wajib baginya menyampaikan salam kepada yang bersangkutan. Sebab perkara tersebut juga merupakan amanah yang harus ditunaikan. Hal ini dikemukakan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu'in (2009: 597).
Perlu pembaca cerna secara bijak bahwa detail hukum yang telah dipaparkan oleh para fuqaha di atas mengandung tujuan kemaslahatan bagi orang-orang yang melaksanakannya, bukan semata-mata membatasi pergaulan secara berlebihan tanpa alasan tertentu.
Larangan mengirim salam kepada lawan jenis dalam Islam memiliki hikmah seperti mencegah fitnah dan godaan yang dapat muncul dari interaksi ringan, menjaga kehormatan dan martabat diri serta orang lain, mendorong kesopanan dalam komunikasi, dan melindungi keharmonisan rumah tangga bagi yang sudah menikah.
Demikian penjelasan terkait menitipkan dan mengucapkan salam kepada lawan jenis menurut pandangan fiqih atau hukum Islam. Wallahua’lam.
Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Pentingnya Amanah dan Kejujuran di Tengah Krisis Kepercayaan Publik
2
Khutbah Jumat: Jangan Ikut Campur Urusan Orang, Fokus Perbaiki Diri
3
Khutbah Jumat: Kelola Harta dengan Bijak
4
Khutbah Jumat: Menjadi Hamba Sejati Demi Ridha Ilahi
5
Khutbah Jumat: Pentingnya Menjauhi Lingkungan Pertemanan yang Toxic
6
Innalillahi, Mustasyar PBNU KH Ahmad Chozin Wafat dalam Usia 76 Tahun
Terkini
Lihat Semua