Syariah

Membaca dan Menandatangani Ta'liq Thalaq di Buku Nikah

NU Online  ·  Jumat, 8 Juni 2012 | 08:01 WIB

Berdasarkan keputusan Menteri Agama RI dan tertera dalam buku nikah, bahwa bagi pelaksanaan akad nikah dilakukan pembacaan shighat ta’liq talak dan menandatanganinya. Dalam praktiknya, adakalanya penghulu dan pihak mempelai pria sepakat untuk membacanya lalu menandatanganinya setelah pelaksanaan akad nikah, dan ada pula praktiknya yang tidak membaca shighat ta’liq itu, tetapi dengan pernyataan yang ditandatangani oleh mempelai laki-laki bahwa ia telah membacanya.<>Hal ini boleh saja dilakukan karena pada dasarnya tanda tangan itu tidak dapat dijadikan penanda ta’liq tersebut, dan secara otomatis sangsi-sangsi itupun tidak jatuh apa bila terjadi pelanggaran. Hukum ini diambil dengan cara mengqiyaskan posisi tanda tangan dengan tulisan dan hubungannya dengan hukum thalaq. Seperti yang termaktub dalam Kanz al-Raghibin karya Jalaluddin al-Mahalli

(وَلَوْ كَتَبَ نَاطِقٌ طَلَاقًا) كَأَنْ كَتَبَ زَوْجَتِي طَالِقٌ (وَلَمْ يَنْوِهِ فَلَغْوٌ) وَتَكُونُ كِتَابَتُهُ لِتَجْرِبَةِ الْقَلَمِ أَوِ الْمِدَادِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَفِي وَجْهٍ أَنَّ الْكِتَابَةَ صَرِيحَةٌ كَالْعِبَارَةِ يَقَعُ بِهَا الطَّلَاقُ (وَإِنْ نَوَاهُ فَالْأَظْهَرُ وُقُوعُهُ) لِأَنَّ الْكِتَابَةَ طَرِيقٌ فِي إفْهَامِ الْمُرَادِ كَالْعِبَارَةِ وَقَدْ اقْتَرَنَتْ بِالنِّيَّةِ وَالثَّانِي لَا يَقَعُ لِأَنَّهَا فِعْلٌ وَالْفِعْلُ لَا يَصْلُحُ كِنَايَةً عَنْ الطَّلَاقِ ... وَلَوْ تَلَفَّظَ النَّاطِقُ بِمَا كَتَبَهُ وَقَعَ بِهِ الطَّلَاقُ إلَّا أَنْ يَقْصِدَ قِرَاءَةَ مَا كَتَبَهُ فَيُقْبَلُ ظَاهِرًا فِي الْأَصَحِّ

(Dan andaikan seorang suami yang tidak bisu menulis talak), seperti ia menulis: “Istriku adalah wanita yang tertalak.” (dan ia tidak berniat mentalaknya, maka tulisan talak tersebut tidak berdampak apapun). Penulisan talak yang dilakukannya bisa jadi karena mencoba ballpoin, tinta atau yang lainnya. Dalam satu pendapat dinyatakan, tulisan merupakan sighat sharih seperti halnya ungkapan lisan, yang berdampak terjadinya talak. (Dan bila dia meniati tulisannya sebagai talak, maka menurut pendapat al-Azhhar, terjadi talak). Sebab tulisan merupakan satu metode untuk menyampaikan kehendak seseorang seperti halnya ungkapan lisan, dan faktanya telah besertaan niat. Sementara menurut pendapat kedua tidak terjadi talak. Sebab menulis adalah pekerjaan, dan sebuah pekerjaan tidak pantas dijadikan kinayah talak. … Apabila seorang suami yang tidak bisu mengucapkan tulisan talaknya, maka terjadi talak. Kecuali apabila ia bermaksud membacanya -saja-. Maka menurut pendapat al-Ashhah klaimnya diterima secara hukum lahir saja.

Namun sebaliknya, apabila shigat ta’liq itu dibaca baik ditandatangai maupun tidak, maka ta’liq itu dianggap terjadi dan begitu pula dengan sanksi-sanksinya.

Disarikan dari Hasil Keputusan Muktamar NU ke-32 di Makassar (Redaktur: Ulil Hadrawy)