Jeda dalam Akad Nikah: Batasan Waktu Sah Ijab Qabul Menurut Fiqih
NU Online · Sabtu, 17 Mei 2025 | 16:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Fenomena pernikahan publik figur kerap menjadi sorotan di media sosial, tidak hanya dari sisi kemewahannya, tetapi juga dari segi tata cara pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah akad nikah yang baru-baru ini terjadi, jagat media sosial diramaikan oleh pernikahan seorang artis yang menuai perdebatan karena adanya jeda waktu antara ijab dan qabul dalam akad nikahnya.
Namanya pro dan kontra, tentu saja ada dua pihak dalam hal ini. Sebagian kalangan ada yang mempertanyakan keabsahan akad tersebut karena dianggap tidak memenuhi unsur kesatuan antara lafal ijab dan qabul, sementara yang lain berpendapat bahwa jeda tersebut masih dalam batas yang dibolehkan dan tidak memengaruhi pada keabsahan akad.
Namun dalam realitanya, pelaksanaan akad nikah seringkali terjadi jeda sebagaimana kejadian yang ada. Berbagai faktor yang bisa adalah seperti kegugupan mempelai pria, koreksi dari penghulu, atau kekeliruan dalam pengucapan yang harus mengulangnya kembali.
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan fiqih dalam hal ini? Apa batasan yang digunakan oleh para ulama fiqih untuk menentukan sah atau tidaknya akad nikah jika terdapat jeda di antara ijab dan qabul?
Tulisan ini akan membahas secara sistematis mengenai konsep ittishal (ketersambungan) dalam akad.
Akad sebagai Syarat Sah Nikah
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sahnya pernikahan dalam Islam adalah adanya akad, atau yang dalam istilah fiqih disebut dengan shighat, yaitu lafal ijab (pernyataan menikahkan dari wali) dan qabul (penerimaan/persetujuan dari mempelai laki-laki) yang menunjukkan kesepakatan antara wali dan mempelai laki-laki. Salah satu syarat penting dalam pelaksanaan akad ini adalah adanya ketersambungan langsung dan tanpa jeda panjang antara ijab dan qabul.
Ulama menegaskan bahwa jika wali mempelai perempuan berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku,” kemudian mempelai laki-laki diam dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Aku terima pernikahannya,” maka akad tersebut tidak sah. Sebab, jeda yang panjang ini membuka kemungkinan bahwa wali dapat berubah pikiran atau menarik kembali ijab-nya, sehingga kesinambungan akad menjadi gugur.
Adapun jeda yang hanya sebentar, seperti karena menarik napas, bersin, atau jeda kecil yang biasa terjadi dalam berbicara, maka hal itu tidak membatalkan akad. (Musthafa Al-Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], jilid IV, halaman 57).
Benar bahwa pernikahan tidak akan sah jika tidak ada ijab dan qabul, dan keduanya harus dilakukan tanpa jeda yang panjang. Adapun jeda yang sebentar, seperti untuk menarik nafas, maka hukumnya boleh dan tidak memengaruhi keabsahan akad. Namun, untuk lebih memperluas pemahaman tentang jeda dalam akad nikah, khususnya dalam persoalan ini, kapankah jeda itu disebut panjang atau lama (al-fashlut thawil)? Mari kita lanjut pembahasannya.
Baca Juga
Hukum Mengulang Akad Nikah karena Grogi
Maksud Jeda yang Panjang dalam Akad
Merujuk penjelasan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, maksud al-fashlut thawil (jeda panjang) yang membatalkan dalam akad seperti nikah dan jual beli adalah jeda yang menunjukkan adanya sikap berpaling atau ketidakseriusan dalam menerima akad. Artinya, selama jeda itu masih dianggap wajar dan tidak menimbulkan kesan bahwa pihak yang diminta untuk menyatakan qabul telah menolak atau berpaling, maka akad masih sah.
Namun, ketika diam atau penundaan itu sudah cukup lama hingga menimbulkan anggapan bahwa akad tidak diinginkan, maka akad menjadi tidak sah. Inilah yang menjadi batas pembeda antara jeda ringan (fashlun yasir) yang ditolerir dan jeda panjang (fashlun thawil) yang membatalkan akad.
Imam As-Suyuthi mengatakan:
وَأَمَّا الْبَيْعُ وَالنِّكَاحُ وَنَحْوُهُمَا، فَضَابِطُ الْفَصْلِ الطَّوِيْلِ فِيْهَا: مَا أَشْعَرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنِ الْقَبُوْلِ
Artinya, “Adapun jual beli, nikah, dan semisalnya, maka batasan jeda panjang di dalamnya adalah sesuatu yang dapat memberi kesan adanya sikap berpaling dari penerimaan (akad).” (Al-Asybah wan Nazhair, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1403], jilid I, halaman 409).
Namun demikian, Imam Ar-Ramli memberikan perincian lebih luas perihal makna jeda yang membatalkan antara ijab dan qabul.
Menurutnya, selain tidak boleh ada jeda panjang yang menunjukkan sikap berpaling dari penerimaan, juga tidak boleh diselingi oleh ucapan lain yang tidak termasuk dalam konteks akad, meskipun hanya sedikit. Yaitu ucapan yang tidak termasuk konsekuensi akad, tidak pula bagian dari kemaslahatan akad, dan tidak termasuk anjuran yang disyariatkan dalam akad itu sendiri.
Beda halnya jika ucapan yang disisipkan adalah sesuatu yang dianjurkan dalam syariat, maka tidak membatalkan akad. Imam Ar-Ramli mengatakan:
أَلَّا يَطُوْلَ الْفَصْلُ بَيْنَ الْإِيْجَابِ وَالْقَبُوْلِ؛ بِأَنْ يُشْعِرَ بِإِعْرَاضِهِ عَنِ الْقَبُوْلِ. وَأَلاَّ يَتَخَلَّلَ بَيْنَهُمَا كَلَامٌ أَجْنَبِيٌّ عَنِ الْعَقْدِ وَلَوْ يَسِيْرًا، بِأَلَّا يَكُوْنَ مِنْ مُقْتَضَى الْعَقْدِ وَلاَ مِنْ مَصَالِحِهِ وَلاَ يَكُوْنَ مِنْ مُسْتَحَبَّاتِهِ
Artinya, “Dan tidak boleh ada jeda panjang antara ijab dan qabul, sekira mengesankan adanya sikap berpaling dari penerimaan. Ijab dan qabul tidak boleh juga diselingi ucapan yang asing dari akad, meskipun sedikit, yaitu ucapan yang tidak menjadi bagian dari konsekuensi akad, tidak demi kemaslahatannya, dan tidak termasuk hal-hal yang dianjurkan dalam pelaksanaan akad.” (Fathurrahman bi Syarhi Zubad ibn Rusalan, [Beirut, Darul Minhaj: 2009], halaman 557).
Nah sekarang, apa sebenarnya yang dijadikan pijakan untuk menentukan bahwa seseorang sudah menunjukkan tanda-tanda berpaling dari penerimaan sebuah akad?
Pembahasan ini sangat penting dan tidak bisa diabaikan, karena di sinilah letak ukuran sah atau tidaknya kesinambungan antara ijab dan qabul.
Apa yang Dijadikan Ukuran dalam Jeda?
Ulama sebenarnya berbeda pendapat perihal apa yang menjadi pijakan dalam menentukan apakah seseorang telah berpaling dari penerimaan akad dengan pemisah yang lama. Setidaknya ada dua pendapat yang dicatat oleh Syekh Sulaiman Al-Jamal.
Pendapat pertama, menurut Al-Qaffal adalah andaikan kedua orang yang akad diam dalam ukuran waktu yang lama, kemudian jawaban atau penerimaan (qabul) tersebut sudah tidak lagi dianggap sebagai kelanjutan dari pernyataan sebelumnya. Itulah yang disebut ukuran jeda panjang yang membatalkan akad.
Sementara pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa ukuran jeda dikembalikan kepada 'urf atau kebiasaan masyarakat. Artinya, selama jeda itu masih dianggap wajar, maka akad tetap sah. Sebaliknya, jika menurut 'urf jeda itu sudah menunjukkan sikap berpaling, maka akad tidak sah.
ضَبَطَ الْقَفَّالُ الطُّولَ بِأَنْ يَكُونَ زَمَنُهُ لَوْ سَكَتَا فِيهِ لَخَرَجَ الْجَوَابُ عَنْ كَوْنِهِ جَوَابًا وَالْأَوْلَى ضَبْطُهُ بِالْعُرْفِ
Artinya, “Al-Qaffal menetapkan ukuran jeda panjang (dalam akad) sebagai waktu yang jika keduanya diam selama itu, maka jawaban (qabul) tidak lagi dianggap sebagai jawaban. Namun, yang lebih utama adalah menetapkannya berdasarkan kebiasaan 'urf.” (Hasyiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: t.th.], jilid IV, halaman 132).
Dengan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa 'urf berperan penting dalam menentukan bahwa jeda itu masuk dalam kategori panjang atau sebentar. 'Urf sendiri adalah kebiasaan yang telah diterima dan dipahami secara umum oleh masyarakat, baik dalam bentuk perbuatan maupun makna suatu ucapan tertentu yang menjadi pemahaman bersama tanpa menimbulkan tafsir lain. (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], jilid I, halaman 102).
Karena itu, jika jeda tersebut melebihi kebiasaan umum yang telah dikenal luas oleh masyarakat dan mereka menilainya sebagai jeda yang panjang, maka akad dianggap batal. Sebab, jeda panjang tersebut bertentangan dengan pemahaman bersama dan praktik sosial yang berlaku. Namun jika masih dianggap biasa atau dianggap sebentar, maka jeda tersebut tidak membatalkan akad.
Dari sekian banyak pendapat ulama yang membahas soal jeda dalam ijab dan qabul, terdapat satu pendapat yang menarik untuk dicatat. Yaitu pendapat ulama Irak yang dikutip oleh Imam Badruddin Az-Zarkasyi.
Menurut mereka, ukuran keabsahan akad tidak semata-mata bergantung pada kecepatan qabul setelah ijab, melainkan pada keberadaannya dalam satu majelis yang sama. Artinya, selama kedua belah pihak masih berada dalam satu majelis, dan majelis itu belum dianggap bubar, maka ucapan qabul tetap sah dan terhubung secara hukum dengan ijab, meskipun terjadi jeda. Ia mengatakan:
Az-Zarkasyi menjelaskan:
فَإِنْ طَالَ الذِّكْرُ الْفَاصِلُ لَمْ يَصِحَّ بِلاَ خِلاَفٍ لِإِشْعَارِهِ بِالْإِعْرَاضِ. وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ فِي خُطْبَةٍ قَصِيْرَةٍ، كَذَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنِ الْأَئِمَّةِ، ثُمَّ حَاوَلَ تَخْرِيْجَ خِلاَفٍ فِيْهِ. قُلْتُ: وَهُوَ قَضِيَّةُ مَا حَكَاهُ عَنِ الْعِرَاقِيِّيْنَ بَعْدُ مِنَ الْاِكْتِفَاءِ بِوُقُوْعِ الْقَبُوْلِ فِي مَجْلِسِ الْإِيْجَابِ، وَقَالُوْا: حُكْمُ نِهَايَةِ الْمَجْلِسِ حُكْمُ بِدَايَتِهِ
Artinya, “Jika ucapan dzikir yang memisahkan terlalu panjang, maka akad tidak sah tanpa ada perbedaan pendapat, karena menunjukkan adanya sikap berpaling. Adapun perbedaan pendapat hanya terjadi pada khutbah yang singkat. Demikianlah yang dinukil oleh Ar-Rafi’i dari para imam. Kemudian ia berusaha menyusun kemungkinan adanya khilaf di dalamnya.
Saya (Az-Zarkasyi) berkata: "Ini sejalan dengan apa yang dikutip dari ulama Irak setelahnya, cukup diterimanya qabul selama masih berada dalam satu majelis ijab.’ Mereka mengatakan: ‘Hukum akhir majelis sama dengan hukum awalnya.’” (Az-Zarkasyi, As-Sirajul Wahhaj Takmilatu Kafilil Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, t.th.], jilid VI, halaman 43).
Kesimpulan Ulama tentang Batasan Jeda dalam Akad dan Pengaruhnya terhadap Keabsahan
Dengan demikian dapat disimpulkan, jeda dalam proses akad, baik dalam nikah, jual beli, maupun akad lainnya, memiliki batasan yang berpengaruh langsung terhadap keabsahan akad tersebut.
Ulama sepakat bahwa jika jeda antara ijab dan qabul sudah cukup panjang hingga menimbulkan kesan berpaling atau tidak adanya keseriusan dalam menerima akad, maka akad menjadi batal. Berbeda dengan orang gugup, karena ia tidak dianggap berpaling dari qabul. Ukuran panjang atau tidaknya jeda tersebut pada akhirnya sangat bergantung pada penilaian kebiasaan masyarakat.
Selain perihal lamanya waktu, jeda juga bisa berbentuk ucapan yang tidak relevan dengan konteks akad. Menurut Imam Ar-Ramli, ucapan yang tidak termasuk bagian dari konsekuensi akad, kemaslahatannya, atau hal-hal yang dianjurkan dalam pelaksanaannya, juga dapat membatalkan akad.
Sementara itu, sebagian ulama Irak memiliki pendapat yang berbeda, bahwa selama kedua belah pihak masih berada dalam satu majelis yang belum tidak dianggap bubar, maka ucapan qabul tetap sah meskipun disertai jeda. Wallahu a’lam bis shawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Cerpen: Tirakat yang Gagal
4
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
5
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua