Dengan kaidah ini, seseorang bisa menelaah dan membedakan antara hukum yang sudah final tanpa ikhtilaf dan hukum yang masih dalam batas ikhtilaf. (Ilustrasi: onepathnetwork.com)
Sunnatullah
Kolomnis
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi mendefinisikan ushul fiqih dengan menggunakan makna sederhana, yaitu, dalil-dalil fiqih. Artinya, sebuah kaidah yang bisa dijadikan perantara untuk melahirkan hukum syariat, diambil dari dalil-dalil secara terperinci, dan dilakukan oleh ulama yang kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid.
Sedangkan ahkam (hukum) merupakan konsekuensi dari adanya istinbath, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan orang mukalaf dan sudah mempunyai kewajiban dalam menjalankan syariat Islam.
Pokok syariat Islam terbagi menjadi lima bagian. Pertama, wajib dilakukan, seperti shalat fardhu. Kedua, haram dilakukan seperti zina. Ketiga, boleh memilih antara melakukan dan tidak, seperti makan dan minum. Keempat, sunnah dilakukan, seperti mencatat hutang. Kelima, makruh dilakukan, seperti mengerjakan shalat sunnah saat terbit dan terbenamnya matahari.
Para ulama mencetuskan hukum-hukum (istinbath ahkam) di atas dari Al-Qur’an dan hadist. Karena bagaimanapun, Allah telah mengaruniakan kepada umat Islam dua hal yang sangat mulia. Yaitu, diutusnya Nabi Muhammad , dan diturunkannya Al-Qur’an kepadanya.
Dengannya, umat Islam tidak kebingungan untuk mengerjakan dan meninggalkan sebuah pekerjaan yang telah dijelaskan. Dengannya pula, umat Islam tidak akan terjerumus pada jalan yang sesat. Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:
قد تركت فيكم أيها الناس ما إن اعتصمتم به فلن تضلوا أبدا: كتاب الله وسنة نبيه
Artinya, “Sungguh telah kutinggalkan pada kalian wahai manusia, sesuatu yang jika kalian berpegang teguh padanya maka tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah nabi-Nya,” (HR Al-Baihaqi).
Dalam studi ilmu-ilmu syariat Islam, ilmu ushul fiqih menjadi bagian penting sebagai alat yang berfungsi untuk memutuskan sebuah hukum dengan cara memahami teks-teks wahyu (Al-Qur’an) dan hadist-hadist Rasulullah, layaknya sebuah metodologi dalam rangka memahami ajaran Islam secara utuh. Hal ini disebabkan Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber hukum Islam yang harus dipahami dengan benar.
Ushul fiqih menjadi bagian yang sangat penting untuk dikaji dan dipahami guna melakukan istinbath ahkam karena betapapun Al-Qur’an dan hadist merupakan rujukan independen yang wajib dijadikan pedoman, keduanya disampaikan dengan bentuk tidak sistematis dan baku, layaknya sebuah ajaran yang aplikatif dan siap guna, meskipun pada masa Rasulullah dan para sahabat telah dilaksanakan apa adanya berdasarkan arahan Rasulullah.
Oleh karenanya, sejak awal agama Islam tumbuh, para ulama dari kalangan sahabat, para imam mazhab, dan ulama kalangan salaf (klasik) dan khalaf (kontemporer) dari zaman ke zaman menaruh perhatian yang sangat besar kepada kedua sumber tersebut.
Perhatian mereka bukan sekadar menjadikan keduanya sebagai bahan bacaan dan hafalan. Mereka bahkan selalu berusaha untuk memahami dan mengkaji hukum-hukum dan hikmah yang bisa diambil dari keduanya. Hal itu, tentu tidak bisa diperoleh kecuali dengan pemahaman yang utuh dan benar pada keduanya.
Dengan upaya para ulama yang selalu mengkaji dan mendalami, akhirnya mereka mengeluarkan hukum (istinbath ahkam), baik dari Al-Qur’an maupun hadits. Kaidah istinbath inilah yang menjadi salah satu pokok bahasan penting dalam sebuah cabang ilmu syariat Islam, yaitu ushul fiqih.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Kitab Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi menyebutkan tiga pokok kaidah penting yang dijadikan pedoman oleh para ulama untuk mencetuskan sebuah hukum, yaitu:
الأول: كل فعل عظمه الله أو مدحه أو أحبه أو وعد به خيرا أو وصفه بالاستقامة أو أقسم به فهو مشروع مشترك بين الوجوب والندب
Artinya, “Pertama: setiap pekerjaan yang diagungkan oleh Allah, atau Allah memujinya, mencintainya, atau menjanjikan kebaikan disebabkan pekerjaannya, mensifati orang yang mengerjakan dengan sifat istiqamah, atau menjanjikannya, maka (pekerjaan tersebut) dianjurkan, dan hukumnya antara wajib dan sunnah.”
Contohnya, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
نِعْمَ الْعَبْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya, “Dia adalah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (Surat Shad ayat 30)
Pada ayat di atas, betapa Allah memuji hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Maka, sebagaimana kaidah di atas, hukum melakukan ketaatan kepada-Nya mempunyai hukum antara sunnah dan wajib. Hanya saja, para ulama sepakat bahwa taat pada Allah hukumnya wajib.
الثاني: كل فعل طلب الشارع تركه أو ذمه أو لعنه أو شبه فاعله بالبهائم أو بالشياطين أو أوعد به أو هو رجس أو فسق فهو غير مشروع مشترك بين التحريم والكراهة
Artinya, “Kedua: setiap pekerjaan, di mana syariat menganjurkan untuk meninggalkannya, atau syariat mencelanya, melaknatnya, menyerupakan orang yang mengerjakan dengan hewan, setan, atau mengancamnya, atau pekerjaan itu kotor, fasik, maka (pekerjaan tersebut) tidak dianjurkan dan hukumnya antara haram dan makruh.”
Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
Artinya, “(Allah) berfirman, ‘Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada makhluk yang telah Kuciptakan dengan kuasa-Ku?’” (Surat Shad ayat 75).
Pada ayat di atas, secara jelas Allah menanyakan alasan Iblis yang enggan melakukan sujud kepada Nabi Adam ‘alaihis salam dengan pertanyaan yang tegas atas pelanggaran yang dilakukan pada perintah-Nya.
Secara umum, tidak disebutkan hukum secara pasti pada ayat tersebut. Hanya saja, para ulama ushuliyin bersepakat bahwa tindakan demikian merupakan pekerjaan yang dilarang (baca: haram).
Munculnya hukum ini karena Allah mencela tindakan iblis saat itu. Maka, sebagaimana kaidah yang telah disebutkan, jika syariat mencela pelakunya, atau melaknatnya, maka hukumnya antara haram dan makruh. Hanya saja dalam kasus ini para ulama sepakat bahwa hukumnya haram.
الثالث: كل ما أحله الله أو أذن به أو رفع الجناح أو الأصر أو الحرج أو الاثم عنه فهو مباح مأذون فيه شرعا.
Artinya, “Ketiga, setiap pekerjaan yang dihalalkan oleh Allah, atau memberikan izin untuk melakukannya, atau menghilangkan beban, tekanan, kekurangan, dosa dari pekerjaan itu, maka (pekerjaan tersebut) diperbolehkan dan diizinkan secara syariat.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil Fiqh, [Beirut, Darul-Fikr: 2018 M], halaman 34).
Tiga kaidah di atas merupakan dasar-dasar penting yang digunakan oleh para ulama dalam berijtihad. Memahami dasar dalam ushul fiqih berarti mempelajari Al-Qur’an dan hadits secara menyeluruh, mulai dari belajar cara mencetuskan hukum dari keduanya, hingga menafsirkan dan mengembangkannya. Namun, yang perlu diingat yaitu, proses istinbath ahkam hanya bisa dilakukan oleh para ulama yang kapasitasnya sudah selevel mujtahid, tentu tidak boleh dilakukan oleh orang-orang yang keilmuannya masih pas-pasan.
Adapun penjelasan di atas menjadi sebuah pengetahuan, untuk membuka ruang yang masih tertutup, yaitu bisa mengetahui proses para ulama dalam mencetuskan sebuah hukum. Dengan kaidah ini seseorang bisa lebih memahami tentang hukum-hukum syariat. Ia bisa menelaah dan membedakan antara hukum yang sudah final tanpa dipertentangkan (ikhtilaf), dan hukum yang masih dalam batas pertentangan (ikhtilaf).
Ustadz Sunnatullah, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
4
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua