Semua orang memaknai Idul Fitri dengan cara dan daya pikirnya sendiri. Ada yang memaknainya dari segi etimologis, historis, filosofis, dan juga realis. Itu sah-sah saja. Demikian halnya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Dalam Al-Ghuniyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla fil Akhlaq, wat Tashawwuf, wal Adabil Islamiyah, Syekh Abdul Qadir memaknai hari Id sebagai berikut.
Artinya, “Idul Fitri itu bukan mengenakan pakaian bagus, mengonsumsi makanan enak, memeluk orang-orang tercinta, dan menikmati segala kelezatan duniawi. Idul Fitri adalah kemunculan tanda penerimaan amal ibadah; pengampunan dosa dan kesalahan; penghapusan dosa oleh pahala; kabar baik atas kenaikan derajat di sisi Allah, ‘pakaian’ pemberian, ‘harta benda’ baru, aneka pemberian, dan kemuliaan; kelapangan batin karena cahaya keimanan; ketenteraman hati karena kekuatan keyakinan; tanda-tanda Ilahi lain yang tampak; pancaran lautan ilmu dari dalam sanubari melalui ucapan; pelbagai kebijaksanaan, kafasihan, dan kekuatan retoris,” (Lihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Ghuniyah li Thalibi Tariqil Haq Azza wa Jalla, Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1997 M/1417 H, juz II, halaman 34).
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tidak menolak hal-hal yang bersifat lahiriyah-material. Tetapi ada yang tidak kalah dari unsur material, yaitu aspek non-material. Baginya, ketakwaan dan penerimaan amal-ibadah jauh lebih penting dari semua yang bersifat lahiriyah.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengutip riwayat Sayydidina Ali RA yang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri. Betapa terkejutnya seorang sahabat yang mendapati Sayyidina Ali RA sedang memakan roti dengan kualitas rendah di hari raya Idul Fitri.
“Bukankah ini hari raya wahai Amirul Mukminin? Kenapa baginda memakan roti seperti itu?”
“Hari raya Id itu bagi mereka yang puasanya diterima, amal ibadahnya diterima, dan dosanya diampuni. Bagiku, hari ini hari raya Id. Begitu juga esok hari. Setiap hari aku tidak bermaksiat kepada Allah, dan itu artinya setiap hari adalah hari raya Id bagiku,” jawab Sayyidina Ali RA.
Dari keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hari raya Idul Fitri bukan soal mudik atau tidak mudik, bukan masalah pakaian baru-tidak baru, bukan perkara pakai dresscode atau tidak, bukan perihal berbagi uang receh-atau tidak. Hari raya Id adalah ketakwaan, kebijaksanaan, dan perbaikan hidup beragama ke depan di bawah cahaya iman dan kekuatan keyakinan kepada Allah SWT. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
::::
Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada 26 Juni 2017, pukul 18.00. Redaksi mengunggahnya ulang tanpa mengubah isi tulisan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
2
Prabowo Klaim Selamatkan Rp300 Triliun APBN, Peringatkan Risiko Indonesia Jadi Negara Gagal
3
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Ngeusian Kamerdekaan ku Syukur jeung Nulad Sumanget Pahlawan
4
Gus Yahya Cerita Pengkritik Tajam, tapi Dukung Gus Dur Jadi Ketum PBNU Lagi
5
Taj Yasin Pimpin Upacara di Pati Gantikan Bupati Sudewo yang Sakit, Singgung Hak Angket DPRD
6
Ketua PBNU: Bayar Pajak Bernilai Ibadah, Tapi Korupsi Bikin Rakyat Sakit Hati
Terkini
Lihat Semua