Syariah

Diberi Hidangan saat Berpuasa Sunnah Menurut Fiqih

Sabtu, 11 Desember 2021 | 06:00 WIB

Diberi Hidangan saat Berpuasa Sunnah Menurut Fiqih

Haruskah ia membatalkan puasanya atau tetap mempertahankannya?

Salah satu ajaran luhur yang diajarkan oleh Islam kepada umatnya adalah ajaran untuk bertamu (silaturahmi) dan memberi hidangan kepada tamu. Kedua perilaku baik ini diyakini akan memberikan manfaat dan keberkahan bagi pelakunya, tamu dan tuan rumah.


Pada momen-momen tertentu Islam bahkan mengajarkan untuk mengundang orang lain untuk menjadi tamu guna menikmati hidangan yang disediakan dan mewajibkan orang yang diundang untuk menghadiri undangan tersebut.


Pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat banyak orang yang merasa senang ketika rumahnya didatangi tamu, terlebih tamu tertentu yang bagi tuan rumah adalah orang-orang istimewa. Ungkapan rasa senang atas kunjungan ini tak jarang mendorong pihak tuan rumah untuk menyediakan berbagai macam hidangan demi menghormati dan menyenangkan tamunya.


Permasalahan kemudian muncul ketika tuan rumah sudah bersusah payah menyediakan hidangan untuk sang tamu, namun tamunya tidak berkenan menikmatinya dengan alasan sedang melakukan puasa sunah. Tentunya rasa kecewa akan dirasakan oleh tuan rumah.


Lalu bagaimana fiqih Islam menyikapi permasalahan ini. Apa sikap yang mesti dilakukan saat seseorang bertamu ke rumah orang lain dan diberi hidangan berbagai makanan dan minuman namun ia dalam posisi sedang berpuasa. Haruskah ia membatalkan puasanya atau tetap mempertahankannya?


Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitabnya Fathul Mu’ȋn menjelaskan masalah ini sebagai berikut:


يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى


Artinya: “Disunahkan makan (saat bertamu) ketika sedang berpuasa sunah meskipun sunah muakkad untuk menyenangkan pemilik makanan, bila mempertahankan puasa memberatkan bagi tuan rumah, meskipun sudah berada di akhir waktu siang karena adanya perintah untuk berbuka. Ia akan diberi pahala atas puasa yang telah lewat dan sunah menggantinya di hari yang lain. Namun bila mempertahankan berpuasa tidak memberatkan bagi tuan rumah maka tidak disunahkan berbuka, bahkan lebih utama mempertahankannya.” (Zainudin Al-Malibari, Fathul Mu’ȋn dalam kitab I’ȃnatut Thȃlibȋn, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2009], juz III, hal. 665).


Dari uraian di atas dapat diambil satu simpulan bahwa ketika seorang yang sedang berpuasa sunah bertandang ke rumah orang, lalu oleh tuan rumah ia dihidangkan makanan maka disunahkan baginya untuk membatalkan puasanya dan memakan hidangan yang disuguhkan tuan rumah.


Ini dilakukan dengan tujuan untuk menyenangkan tuan rumah yang telah bersusah payah menyiapkan hidangan. Pun ini dilakukan bila dirasa tuan rumah yang telah menyiapkan berbagai hidangan akan merasa kecewa bila hidangannya tidak dimakan oleh sang tamu. Namun bila dirasa tuan rumah tidak mengapa bila hidangannya tidak dimakan maka bertahan untuk tetap berpuasa lebih utama dari pada membatalkannya.


Sikap ini juga diambil bila sang tamu sedang berpuasa sunah. Sedangkan bila ia sedang melakukan puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar atau puasa qadla maka ia dituntut untuk tetap mempertahankan puasanya dan haram membatalkannya. (Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, I’ȃnatut Thȃlibȋn, [Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah, 2009], juz III, hal. 665).


Selanjutnya Syekh Zainudin juga menjelaskan bahwa ketika sang tamu membatalkan puasanya demi memakan hidangan dan menyenangkan tuan rumah ia tetap akan diberi pahala atas puasa yang telah dilakukannya. Semisal bila saat bertamu pada jam dua siang, maka puasanya sejak subuh hingga jam dua siang itu akan tetap diberi pahala oleh Allah.


Syekh Zainudin juga memberi solusi untuk mengganti puasanya tersebut di hari lain bila yang bersangkutan mau melakukannya. Ini berarti hukum mengganti puasa sunah tersebut adalah sunah, tidak wajib.

 

 

Simpulan ini berdasar pada sebuah riwayat dari Imam Baihaqi yang menceritakan di mana ketika Rasulullah bertamu dengan sahabatnya yang sedang berpuasa sang sahabat mengatakan “saya sedang berpuasa”. Kemudian Rasulullah menegurnya dengan mengatakan “saudaramu sesama muslim bersusah payah (menyiapkan makanan) untukmu dan kamu mengatakan sedang berpuasa? Berbukalah dan gantilah pada hari yang lain”.


Apa yang diajarkan ulama di atas memang sangat relevan dan sangat sering terjadi di masyarakat. Seringkali, karena begitu senangnya akan kedatangan tamu tertentu, tuan rumah dengan senang hati bersusah payah menyiapkan berbagai makanan untuk dihidangkan kepada sang tamu yang akan datang. Bisa dibayangkan betapa akan kecewanya bila tiba-tiba sang tamu tidak berkenan menikmati hidangan yang ada karena alasan sedang menjalani puasa sunah.


Dengan melihat kebiasaan yang ada, akan lebih baik bila sang tamu yang sedang berpuasa dan ingin mempertahankan puasanya mencegah tuan rumah membuatkan hidangan makanan dan minuman. Pencegahan ini bisa dilakukan ketika dilihat tanda-tanda sang tuan rumah hendak membuatkan hidangan.


Bila kedatangan sang tamu sebelumnya telah dikomunikasikan terlebih dahulu, sang tamu bisa menyampaikan kepada tuan rumah untuk tidak menyiapkan apapun mengingat dirinya sedang berpuasa.

 

Baca juga: Inilah Beberapa Hukum Berpuasa​​​​​​​


Dengan demikian maka semua pihak akan merasa senang dan ridlo. Sang tamu bisa tetap melanjutkan puasanya tanpa terbebani dengan perasaan tidak enak kepada tuan rumah, sedangkan tuan rumah tidak perlu kecewa atas hidangannya yang tidak dimakan oleh tamunya. Wallȃhu a’lam.


Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkyudan Surakarta, kini aktif di kepengurusan PCNU Kota Tegal.