Air Irigasi Dipakai Memandikan Babi: Apakah Sawah dan Hasil Panen Jadi Najis?
NU Online · Sabtu, 10 Mei 2025 | 11:00 WIB
Shofiyatul Ummah
Kolomnis
Terjadi kasus orang memandikan babi yang aliran airnya masuk ke dalam irigasi sawah, apakah tindakan tersebut dapat membuat seluruh sawah najis? Apakah hasil panen juga akan ikut najis?
Sebelum menjawab hal tersebut penting bagi kita untuk memahami secara mendetail terkait hukum air basuhan najis:
Hukum Air Bekas Basuhan Najis
Secara kategori, air bekas basuhan najis mungkin saja masuk ke dalam salah satu dari dua jenis air, yakni air najis atau air musta’mal. Air bekas basuhan tadi dianggap musta'mal jika air tidak berubah dan kadar air tidak bertambah, sebaliknya air yang tidak memenuhi syarat musta’mal ini dihukumi air yang terkontaminasi najis (mutanajjis). (Abu Syuja’, Fathul Qarib, [Darul Fikr], halaman 40).
Atau untuk lebih mudah menstatuskan hasil basuhan air, jika benda yang dibasuh tetap dihukumi najis, maka bekas basuhannya pun ikut dihukumi najis.
Meski status air basuhan tadi bisa saja najis atau musta’mal, air tersebut bisa berubah statusnya menjadi air suci saat air tadi berkumpul dalam satu tempat dan mencapai ukuran dua qullah (kurang-lebih 270 liter).
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini:
فان الماء القليل النجس اذا جمع اليه ماء نجس فبلغ القلتين وليس الماء متغيرا فالكل طهور
Artinya, "Sesungguhnya air sedikit yang najis jika berkumpul dengan air najis lainnya kemudian mencapai dua qullah, sedang airnya tidak berubah maka keseluruhan air dihukumi suci." (Al-Juwaini, Nihayatul Mathlab, [Darul Fikr], juz I, halaman 235).
Membersihkan Najis dengan Air Mengalir
Secara teoritis fiqih sedikit membedakan antara penggunaan air yang diam dan air mengalir. Khususnya saat air tersebut bertemu atau terkontaminasi najis.
Air yang diam air dan terkontaminasi najis dapat dihukumi najis sesuai perincian berikut :
- Air sedikit langsung dihukumi najis saat bertemu dengan najis.
- Air banyak (lebih 2 qullah) dihukumi najis saat bertemu najis jika salah satu warna, sifat dan baunya mengalami perubahan.
Sementara air menalir yang terkontaminasi najis, ulama cenderung membedakan antara apakah najisnya terhanyut oleh air ataukah tidak. Jika najisnya hanyut bersama dengan air, maka yang dianggap najis adalah air yang menghanyutkan najis dan tempat di mana najis itu berada, sedangkan aliran air yang sebelum dan sesudahnya tetap dianggap suci. (Al-'Umrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam As-Syafi’i, [Darul Kutub Al-Islamiyah], juz I, halaman 38).
Sedangkan jika najis tidak hanyut dengan air, maka air yang belum melewati najis dipastikan suci sedangkan air yang sudah melewati najis bisa dipilah ke dalam dua hukum:
- Najis jika sedikit atau banyak dan berubah;
- Suci jika banyak dan tidak berubah.
Meski demikian, air yang sudah berubah atau terkontaminasi najis ini dapat kembali berstatus suci menyucikan jika ia bertemu dengan air diam dan kemudian mencapai dua qullah serta perubahannya hilang. Hal ini sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh Ibnu Suraij:
قال ابن سريج: فإن مرت هذه الجرية على ماء راكد، وكانت الجرية كدرة، والراكد صافيًا، فبلغا قلتين، كان الجميع طاهرًا؛ لأن الاعتبار باجتماع الماء الكثير في موضع واحد
Artinya, "Ibnu Suraij berkata: "Jika aliran ini bertemu dengan air yang diam, dan kondisi air mengalir keruh sedangkan air mengalirnya bening lantas keduanya mencapai dua qullah, maka seluruh air dihukumi suci karena yang diperhitungkan adalah dengan berkumpulnya air yang banyak dalam satu tempat”. (Al-'Umrani, I/40).
Sebagai catatan, dalam pandangan qaul qadim Imam As-Syafi’i, air mengalir hukumnya tetap suci selama tidak berubah, hal ini senada dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang dipilih oleh para Imam.
Hukum Menyiram Tanaman dengan Air Najis
Terlepas dengan status najis atau tidaknya air, sebenarnya syariat tidak mempermasalahkan jika suatu tanaman disiram dengan air yang najis sebagaimana pendapat Imam An-Nawawi:
مسألة: إذا سقى الزرع، والبقل، والثمر، ماءً نجسًا أو زبلت أرضه هل (١) يحل أكله؟.الجواب: يحل أكله، والله أعلم
Artinya, “Permasalahan: jika tanaman dan sayuran, dan buah-buahan dengan air najis, atau tanahnya dipupuk dengan kotoran binatang apakah halal memakannya? Jawaban: Halal memakannya”. (An-Nawawi, Fatawa An-Nawawi, [Darul Basyair Al-Islamiyah], halaman 21).
Itu artinya air yang disiramkan pada tanaman tidak berpengaruh pada status najis atau tidaknya buah atau hasil tanaman itu sendiri. Sama halnya seperti hewan yang makan dari najis tidak berpengaruh pada status kesucian dagingnya.
Dengan demikian, kasus memandikan babi yang airnya mengalir ke irigasi sawah tidak sampai mempengaruhi hasil panennya, dan air bekas siraman babi yang mengalir ke dalam irigasi hukumnya bisa berubah suci jika berkumpul dengan air banyak lainnya. Wallahu a'lam bis shawab.
Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP. Nurud-Dhalam Sumenep
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Amalan Penting di Permulaan Bulan Dzulhijjah, Mulai Perbanyak Dzikir hingga Puasa
Terkini
Lihat Semua