Sirah Nabawiyah

Sikap Mulia Nabi Muhammad Menghadapi Pelecehan dan Hinaan

Sel, 20 Juli 2021 | 02:15 WIB

Sikap Mulia Nabi Muhammad Menghadapi Pelecehan dan Hinaan

Ilustrasi Rasulullah Muhammad saw. (Foto: NU Online)

Selama berdakwah menyebarkan ajaran dan risalah Islam, Nabi Muhammad dan para sahabatanya menerima hinaan bertubi-tubi. Bahkan mendapat siksaan dan ancaman pembunuhan. Namun, perjuangan dan semangat para sahabat Nabi tidak kendur tetapi justru semakin memperkuat keyakinan mereka dalam beriman dan berislam.


Salah satu penghinaan dan pelecehan yang didapat Nabi dan para sahabatnya ialah ketika hendak menuju Kota Makkah tahun ke-6 hijriah atau sekitar tahun 628 M. Walaupun Rasulullah tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menghalanginya, dan akan terjadi kontak senjata. Namun, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata dalam perjanjian Hudaibiyah.


Dalam perjanjian Hudaibiyah dengan Kafir Quraisy, keputusan yang dilakukan Rasulullah tidak masuk akal dalam pandangan para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir pada fase dakwah Islam Makkah.


Dalam bukunya, No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam (2005) yang dikutip Tirto, Reza Aslan menerangkan bahwa Perjanjian Hudaibiyah mengusulkan pembatalan ibadah haji Nabi Muhammad dan pengikutnya, dan segera kembali ke Madinah, serta penghentian tanpa syarat semua penyerangan kafilah di sekitar Makkah. Sebagai gantinya, Nabi Muhammad diizinkan kembali lagi di musim haji tahun berikutnya dan Ka'bah akan dikosongkan dari peziarah lain untuk sementara waktu sehingga dia dan pengikutnya bisa berhaji tanpa gangguan (hlm. 147-148).


Tidak cukup dengan pelecehan itu, Nabi Muhammad juga diminta menandatangani perjanjian dengan tidak menggunakan atribusi "rasul Allah", tetapi hanya sebagai kepala suku komunitasnya. Karena pengikut Nabi sangat menyadari posisi Muhammad yang sedang naik di seluruh Hijaz, perjanjian ini kelihatan tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, kepastian kejatuhan Makkah segera terjadi. Barangkali inilah yang menyebabkan pengikut Nabi Muhammad, yang merasa kemenangan sudah di depan mata beberapa kilometer lagi dari tempat mereka berada, begitu kecewa saat Nabi menerima persyaratan perjanjian itu (hlm. 148).

 


Namun, menurut Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan hidup Muhammad (2003) menyatakan, sulit mendedahkan mengapa Muhammad menerima Perjanjian Hudaibiyah ini. Bisa jadi dia punya rencana untuk menggalang kekuatannya kembali dan menunggu waktu yang pas untuk menaklukkan Makkah secara paksa (hlm. 436).


Bisa jadi Nabi Muhammad juga menjalankan mandat Ilahi dan doktrin jihad untuk "memerangi mereka sehingga tak ada lagi penindasan, dan yang ada hanya keadilan dan keimanan kepada Allah SWT; tetapi bila mereka berhenti, janganlah ada lagi permusuhan. Kecuali terhadap mereka yang melakukan kezaliman" (Q.S. 2: 193)


Sedangkan menurut Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam Besar (2018), apa yang ditetapkan oleh Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Makkah. Sebaliknya, para pelintas dari Madinah yang ditahan di Makkah akan dibiarkan, karena pasti mereka adalah para kader yang dapat melakukan upaya politik pecah belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraisy.


Dalam diplomasi Hudaibiyah, Nabi menuai kesuksesan luar biasa di kemudian hari. Semua lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun hendaknya kita mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pandangan jauh ke depan.


Yang jelas, dalam menghadapi setiap pelecehan dan hinaan, “Nabi Muhammad tidak marah untuk kepentingan (pribadinya). Namun jika ajaran-Nya dilanggar, maka tidak ada sesuatu apapun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau.”


Prof Nadirsyah Hosen (2019) menjelaskan bahwa teks di atas diriwayatkan dari Hindun bin Abi Halah. Siapa beliau? Abi Halah adalah suami Siti Khadijah sebelum menikah dengan Rasulullah SAW. Jadi Hindun itu adalah anak tiri Nabi Muhammad. Sewaktu Siti Khadijah menikah dengan Nabiyullah, Hindun ini berusia remaja dan tinggal bersama Nabi Muhammad dan ibunda Siti Khadijah. 

 


Itulah sebabnya Hindun tahu persis seluk-beluk perilaku keseharian Nabi. Dalam riwayat panjang yang dikutip Sayyid Thantawi, Sayyidina Hasan bertanya kepada pamannya, yaitu Hindun bin Abi Halah mengenai sosok sang Datuk (Nabi Muhammad).


Hindun bin Abi Halah berkata, "Rasulullah SAW tidak berkata-kata kecuali seperlunya, beliau lebih sering diam. Beliau memulai dan menyudahi pembicaraan dengan sepenuhnya, dan tidak bicara dengan bibir saja. Perkataannya singkat tetapi mempunyai makna dan hikmah yang dalam. Tidak mencela dan tidak pula memuji dengan berlebihan. Tidak ada seorangpun yang bisa melawan kemarahannya jika kebenaran didustakan sehingga beliau memenangkan kebenaran itu."


Dalam riwayat lain dikatakan, "Rasulullah SAW tidak marah disebabkan urusan duniawi, tetapi apabila kebenaran didustakan, beliau SAW akan marah tanpa ada seorangpun yang bisa tegak di hadapan kemarahan beliau, sehingga beliau memenangkan kebenaran itu baginya. Beliau tidak marah berkaitan dengan kepentingannya sendiri, dan tidak pernah memberikan hukuman karena dirinya sendiri. Apabila beliau menunjuk atau memberi isyarat ke arah sesuatu, beliau akan menunjuknya dengan seluruh telapak tangannya. Apabila beliau merasa takjub, beliau akan membalikkan telapak tangannya."


"Rasul memilih perkara yang ringan jika ada dua pilihan selama tidak mengandung dosa. Jika mengandung dosa, Rasul akan menjauhinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi, tapi jika ajaran Allah dilanggar maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah)." (HR Bukhari)


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon