Sirah Nabawiyah

Perang Hunain dan Sifat Lemah Lembut Rasulullah

Rab, 19 Mei 2021 | 13:00 WIB

Perang Hunain dan Sifat Lemah Lembut Rasulullah

Sikap lemah lembut dan ramahnya Rasulullah, sekalipun pada musuh, memberikan dampak yang sangat besar terhadap berkembangnya ajaran Islam.

Setelah kota Makkah dibebaskan (Fathu Makkah) oleh Rasulullah ﷺ, ternyata ada beberapa kabilah Arab yang belum menyerah, seperti Bani Tsaqif, Hawazin, dan sejumlah kabilah lainnya. Semua itu disebabkan perasaan tidak senang kepada umat Islam saat itu, mereka tidak dapat menerima hakikat dengan penaklukan umat Islam di kota Makkah. Akhirnya, semua kabilah tadi bersatu untuk melawan kaum Muslimin, sembari mengerahkan anak-anak, kaum wanita, dan harta benda mereka. Di bawah komando Malik bin Auf, salah seorang pemimpin kabilah Hawazin, mereka merancang strategi untuk menyerang umat Islam.


Setelah mendengar gerakan mereka, Rasulullah ﷺ mengutus sahabat Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami untuk mengklarifikasi adanya gerakan tersebut. Setelah nyata kebenarannya, Rasulullah bersiap-siap untuk berperang.


Peristiwa bersejarah itu dikenal dengan Perang Hunain, yaitu pertempuran antara Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya melawan beberapa kabilah Arab, di antaranya, Bani Tsaqif, Hawazin, dan beberapa kabilah lainnya. Perang itu terjadi pada bulan Syawal tahun 8 Hijriah di lembah Hunain, yaitu antara kota Makkah dan Thaif. Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Sirah Nabawiyah (2006) menyebutkan, tentara kaum Muslimin dalam perang Hunain berjumlah 12.000 personel, terdiri dari 10.000 penduduk kota Madinah, dan 2.000 dari kota Makkah.


Syekh Ibnu Hisyam dalam kitab Tahdzibus Sirah menyampaikan, sebelum meninggalkan kota Makkah, Rasulullah mengangkat ‘Attab bin Usaid al-Umawi yang saat itu masih berumur 20 tahun sebagai pemimpin kota Makkah. Kemudian, Rasulullah berangkat menuju lokasi perang bersama 12.000 personel (Syekh Ibnu Hisyam, Tahdzibus Sirah, h. 367).


Sementara itu, pihak musuh di bawah komando Malik bin ‘Auf mempersiapkan pasukannya di lembah Hunain dengan cara menyebarkan di berbagai sudut. Malik menyampaikan kepada pasukannya bahwa mereka harus bisa melumpuhkan Rasulullah ﷺ dan pasukannya hanya dengan satu serangan (al-Buthi, Sirah Nabawiyah, 2006: 279).


Ketika Rasulullah dan kaum Muslimin sampai di lembah Hunain, dalam kondisi gelap karena hari masih sangat pagi, muncullah sekian banyak pasukan yang langsung menyerang mereka dari tempat-tempat persembunyian di balik lembah. Mereka menyerang kaum Muslimin secara habis-habisan. Kuda-kuda perang milik umat Islam saat itu berlarian ke sana kemari, sementara seluruh prajurit terpaksa mundur tanpa memedulikan satu sama lain. Peperangan berlangsung sengit, strategi musuh yang di prakarsai oleh Malik bin ‘Auf cukup ampuh untuk membuat pasukan Islam lari tunggang-langgang dan terpecah di lembah Hunain. Saat itu, pasukan kaum Muslimin tidak memperhatikan keadaan sekitar, dan celah itulah menjadi target musuh untuk menyerang Rasulullah dan para sahabatnya.


Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyampaikan sikap Rasulullah saat itu, dalam kitabnya Sirah Nabawiyah mengatakan:


وانحاز رسول الله ﷺ ذات اليمين، ثم نادى في الناس: اِلَيَّ يَا عِبَادَ اللّه، أَنَا النَّبِي لاَكَذِبَ، أَنَا اِبْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبْ


Artinya, “(Melihat hal itu) Rasulullah ﷺ segera menyingkir ke sisi kanan seraya berseru ke arah pasukan umat Islam: kemari, mendekatlah kepadaku, wahai hamba-hamba Allah! Aku seorang Nabi, tak mungkin aku berdusta. Aku keturunan Abdul Muthalib” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2006], h. 280).


Bukan tidak nyaring, bukan juga ucapannya tidak keras, namun, suara Rasulullah tenggelam dalam ganasnya hiruk pikuk prajurit yang sedang kebingungan saat keadaan tak menentu. Kemudian Rasulullah menengok ke arah pamannya yang bernama ‘Abbas dan memintanya untuk menyeru pasukan umat Islam yang lari dari peperangan. Ketika Sayyidina Abbas menyeru mereka untuk kembali, pasukan umat Islam pun menjawab “labbaik labbaik” sembari datang memenuhi panggilan itu dan kembali terjun ke medan perang.


Perang kembali meledak, semangat pasukan Muslimin kembali memuncak, tak ada yang bisa menghalangi mereka untuk meraih kemenangan. Ketika peperangan kembali berkecamuk, Rasulullah ﷺ bersabda:


الآن حَمِيَ الوَطِيسُ. ثم أخذ حصيات من الأرض، فرمى بهن وجوه الكفار، ثم قال: اِنْهَزَمُوْا وَرَبِّ مُحَمَّد.


Artinya, “Inilah saatnya perang yang sengit! Kemudian, Rasulullah mengambil beberapa batu kerikil dan beliau lemparkan kea rah orang-orang kakfir, seraya betrkata: Mereka akan kalah, demi Tuhan Muhammad” (al-Buthi, Sirah Nabawiyah, 2006: 280).


Saat itu, Allah menurunkan ketenangan pada Rasulullah dan umat Islam, juga menurunkan pasukan Malaikat yang tidak terlihat. Dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman:


لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ. ثُمَّ أَنزَلَ اللهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ


Artinya, “Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir” (QS At-Taubah: 25-26).


Seketika itu Allah menghunjamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang musyrik, sehingga mereka kalah, dan segala kesombongan yang semula tampak dalam diri mereka kini telah sirna. Sebagian dari mereka berhasil dibunuh pasukan Muslimin, sementara sebagian lagi dijadikan tawanan perang. Tawanan-tawanan perang itu lalu digelandang ke hadapan Rasulullah.


Dari Hunain, Rasulullah ﷺ dan pasukannya bergerak menuju Thaif dan mengepung daerah tersebut. Saat itulah, orang-orang Tsaqif menghujani pasukan Islam dengan panah dari benteng mereka sehingga jatuh beberapa korban dari pihak pasukan Islam. Namun, Rasulullah ﷺ terus melanjutkan pengepungan terhadap kota Thaif sampai belasan hari, dalam riwayat lain bahkan lebih dari dua puluh hari. Setelah melakukan pengepungan, barulah terlihat bahwa Rasulullah ﷺ akan meninggalkan Thaif.


Sikap Lemah Lembut Rasulullah
Setelah peperangan selesai, Rasulullah meninggalkan lembah Hunain dengan kemenangan yang berhasil diraih oleh pasukan Muslimin, berupa kemenangan yang telak, Rasulullah ﷺ melewati lokasi perang untuk melihat pasukan umat Islam yang syahid. Namun, saat itu Rasulullah melihat banyak orang mengerumuni wanita, dan ternyata wanita itu telah dibunuh. Rasulullah ﷺ bertanya, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Wanita ini telah dibunuh Khalid bin Walid.” Rasul berkata kepada orang-orang di situ, “Temui Khalid dan katakan kepadanya, Rasulullah ﷺ melarangmu untuk membunuh anak kecil, wanita, dan budak.”


Syekh Al-Buthi dalam kitabnya mengatakan, setelah semuanya selesai, Rasulullah meninggalkan lokasi perang dan kota Thaif bersama para sahabat saat itu. Dalam kitabnya menyebutkan sikap lemah lembut Rasulullah, yaitu:


وقال له بعض الصحابة: يَا رَسُوْلَ اللهِ أُدْعُ اللهَ عَلىَ ثَقِيْفٍ. فَقَالَ: اللهم اهْدِ ثَقِيْفًا


Artinya, “Berkata sebagian sahabat kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah untuk kehancuran kabilah Tsaqif!’ Namun, Rasulullah ﷺ justru berdoa, “Ya Allah berilah kabilah Tsaqif petunjuk.” (al-Buthi, Sirah Nabawiyah, 2006: 286).


Ternyata, dengan sikap lemah lembut dan ramahnya Rasulullah, sekalipun pada musuh, memberikan dampak yang sangat besar terhadap berkembangnya ajaran Islam. Tidak lama kemudian Allah benar-benar memberi hidayah kepada kabilah Tsaqif. Utusan kabilah Tsaqif datang ke Madinah menemui Rasulullah ﷺ untuk menyatakan keislaman dan keimanan kabilah tersebut.

 


Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.