Sirah Nabawiyah

Pelajaran dari Kasus Berita Bohong yang Menimpa Sayyidah Aisyah

Sab, 5 Desember 2020 | 04:00 WIB

Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar pernah diterpa kabar bohong (hadits al-ifki), sepulang dari ekspedisi Musthaliq pada tahun kelima Hijriyah. Dia dituduh telah berselingkuh dengan seorang sahabat yang bernama Shafwan bin Mu’aththal. Kabar ini diproduksi oleh pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul dan kemudian disebarkan oleh beberapa orang, di antaranya Misthah bin Atsatsah, Hassan bin Tsabit, dan Hamnah binti Jahys.    


Fitnah tersebut dengan cepat beredar ke seluruh penjuru di Madinah sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslim. Pada awal-awal, sebagaimana diceritakan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah (2008), Nabi Muhammad hanya mendiamkan kabar itu. Namun karena wahyu tidak kunjung turun dan keadaan semakin riuh, maka Nabi kemudian meminta pendapat dari beberapa sahabat—seperti Usamah bin Zaid, Ali bin Abi Thalib, dan Burairah- tentang kabar itu. 


Di sisi lain, Sayyidah Aisyah sangat terpukul usai mengetahui kabar dirinya berselingkuh tersebar di seluruh Kota Madinah. Terlebih, setelah tiba di Madinah dari ekspedisi Musthaliq dia jatuh sakit selama sebulan lamanya. Sejak saat ini, Aisyah kemudian tinggal di rumah orang tuanya setelah mendapatkan izin dari Nabi Muhammad. Dalam satu riwayat, dia menangis hingga dua malam tanpa henti. Aisyah merasa Nabi Muhammad bersikap berbeda dari biasanya setelah berita itu mencuat. Sikap Nabi tidak hangat, tidak bercanda, dan kurang begitu perhatian kepadanya padahal saat itu Aisyah sedang sakit.


Memang Nabi tidak menyalahkan dan juga tidak membenarkan kabar itu—karena Nabi masih menunggu wahyu dari Allah. Kepada Aisyah, Nabi mengatakan bahwa Allah akan membersihkannya jika dia memang tidak bersalah. Lalu, jika Aisyah berdosa maka Nabi memintanya untuk memohon ampunan kepada Allah. Mendengar hal itu, Aisyah kembali bercucuran air mata hingga hampir habis. Aisyah lalu merespons hal itu dengan ucapan yang panjang. Intinya, dia sabar menghadapi kabar fitnah itu hingga Allah melakukan pembelaan terhadapnya. 


Masyarakat pada masa Nabi Muhammad terbagi ke dalam empat golongan terkait dengan rumor Aisyah berselingkuh tersebut. Pertama, mereka yang sejak semula tidak membenarkan rumor dan mempercayai kebersihan Aisyah. Abu Musa al-Ashari dan istrinya termasuk kelompok ini. Kedua, mereka yang diam; tidak membenarkan dan juga tidak menyangkalnya. Ini merupakan sikap mayoritas. Ketiga, mereka yang tidak membenarkan dan juga tidak menyanggahnya, tetapi mereka membicarakan isu ini. Karena sikap kelompok ketiga ini, kabar fitnah terhadap Aisyah menyebar di Madinah. Mereka yang termasuk kelompok ketiga adalah Misthah bin Uttsah, Hassan bin Tsabit, dan Himnah binti Jahsy. Keempat, pelopor berita bohong yaitu Abdullah bin Ubay dan para pengikutnya kaum munafik.

 

Sebulan—riwayat lain menyebut 45 hari- setelah kabar bohong itu menyebar di Madinah, Nabi Muhammad menerima wahyu tentang pembebasan Aisyah dari tuduhan keji itu, yaitu Surat An-Nur ayat 11: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Delapan ayat setelahnya juga terkait dengan peristiwa hadits al-ifki ini. 


Setelah turun wahyu, para penyebar fitnah—Misthah, Hassan, dan Hamnah- dihukum cambuk 80 kali. Diterangkan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad, (2015) Nabi tidak menghukum orang-orang munafik—Abdullah bin Ubay bin Salul dan para pengikutnya. Setidaknya ada empat pendapat ulama mengenai kenapa Abdullah bin Ubay tidak dihukum Nabi dalam kasus hadits al-ifki ini. Pertama, tidak ada bukti konkrit bahwa dia adalah pencetusnya dan dia juga tidak mengakui hal itu. Kedua, Allah mengetahui dia tidak akan bertaubat, karena itu sanksi Abdullah bin Ubay ditangguhkan dan baru akan dijatuhkan di akhirat kelak. Ketiga, Abdullah bin Ubay sengaja tidak dijatuhi hukuman karena dia memiliki posisi yang kuat di tengah kaumnya. Jika dia dihukum, maka dikhawatirkan itu akan mengganggu perkembangan Islam. Keempat, ketiga alasan sebelumnya bisa menjadi alasan kenapa Abdullah bin Ubay tidak dihukum.


Hadits al-ifki ini adalah kasus yang sangat menyakitkan, khususnya bagi Aisyah dan Nabi dan umumnya bagi umat Islam. Namun demikian, ada enam pelajaran yang bisa diambil dari kasus hadits al-ifki, sebagaimana disebutkan M. Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (2018): Pertama, sikap Nabi Muhammad menghadapi isu tersebut. Nabi tidak langsung mempercayai rumor tersebut, tidak memarahi Aisyah, dan tidak langsung menceraikannya. Sambil menunggu wahyu, beliau meminta pendapat dari beberapa orang dan kemudian membelanya di hadapan publik. Kedua, Aisyah tidak marah. Sikap Aisyah tidak marah dan hanya menyampaikan keluhannya, sambil menunggu pembelaan dari Allah. 


Ketiga, tidak menyebarkan rumor. Ayat-ayat yang turun berkaitan dengan hadits al-ifki mengajarkan bagaimana kita menghadapi rumor, yaitu tidak menyebarluaskannya. Keempat, kita berkewajiban memelihara nama baik orang-orang terhormat dan keharusan menyanggah isu-isu negatif terhadap siapapun yang dihormati. Kelima, Allah pasti membela orang-orang yang teraniaya, cepat atau lambat, selama dia patuh kepada-Nya. Keenam, wajar marah kepada siapa saja yang berbuat salah, terlebih yang yang bersalah itu selama ini diberi bantuan. Sesudah peristiwa itu, Nabi meminta Abu Bakar untuk mengasihi Misthah sebagaimana sebelum peristiwa itu. Nabi juga memberikan kembali kasih sayangnya kepada Hassan bin Tsabit. 

 

Sementara menurut al-Buthy dalam The Great Episodes of Muhammad SAW (2017), ada hikmah Ilahiyah di balik peristiwa hadits al-ifki. Yaitu sosok Nabi Muhammad sebagai manusia biasa ditonjolkan dalam kasus ini. Nabi menghadapi rumor ini sebagaimana manusia biasa. Maksudnya, beliau juga merasakan gelisah yang luar biasa dan meminta saran dari sahabat-sahabat terdekatnya. Beliau tidak mencoba menguak tirai kegaiban atau mengorek hati seseorang sehingga kebohongan berita ini bisa terungkap. 


Al-Buthy berpendapat, penonjolan sisi kemanusiaan Nabi Muhammad ini—melalui penundaan turunnya wahyu, agar manusia bisa mengetahui dua hakikat. Pertama, kedudukan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak serta merta menafikan statusnya sebagai manusia biasa. Kedua, wahyu Ilahi bukanlah perasaan jiwa yang muncul dari Nabi Muhammad, bukan pula sesuatu yang mengikuti kehendak, kebutuhan, dan harapan Nabi Muhammad.  


Penulis: Muchlishon Rochmat
Editor: Fathoni Ahmad