Sirah Nabawiyah

Membaca Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Nabi

Kam, 31 Oktober 2019 | 16:30 WIB

Membaca Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Nabi

Gerbang Raudhah di Masjid Nabawi Madinah. (Foto: istimewa)

Muhammad bin Abdullah yang diutus Allah SWT sebagai Nabi pungkasan (khatamun nabiyyin) telah memiliki sejumlah tanda dan keistimewaan sebelum ia menjadi seorang Nabi dan rasul. Hal ini bisa dibaca lewat karakter pribadi Muhammad dan makna yang terdapat pada beberapa anggota keluarganya.

Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna  dan  sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan mujur).

Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi.

Al-Qur’an surat Al-A'raf [7]: 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS. Al-A'raf [7]: 157).
 
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Al-A'raf: 157)

Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Qur'an itu, dapat terbaca antara lain dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:

 "...bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran." (Baca M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, 2000).

Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran" menurut Kitab Perjanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zamzam).

Ini berarti  bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa, Seir tempat Nabi Isa,  dan  Makkah tempat  Nabi  Muhammad  SAW.  Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.

Karena itu pula wajar jika Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad SAW), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad SAW daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng."

Menjelang kelahiran Muhammad, Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (2006) mengungkapkan rasa duka dan sedih menimpa hati Abdul Muthalib, menimpa hati Aminah, karena ia kehilangan seorang suami yang selama ini menjadi harapan kebahagiaan hidupnya, Abdullah. Apalagi kala itu Siti Aminah sedang hamil tua. 

Waktu terus berjalan, kandungan Aminah semakin besar dan tiba saatnya untuk bersalin. Tanpa kehadiran sang suami, Aminah melahirkan seorang anak laki-laki. Abdul Muthalib segera menerima kabar ini. Ia yang amat bergembira lalu menemui menantunya dan membawa bayi yang baru dilahirkan itu ke Kakbah dan diberi nama Muhammad.

Tujuh hari setelah kelahiran sang bayi, Abdul Muthalib mengadakan kenduri dengan menyembelih unta. Ia mengundang makan masyarakat Quraisy yang kemudian bertanya-tanya kenapa nama bayi tersebut tidak memakai nama seperti nama-nama nenek moyang mereka.

“Kuinginkan dia akan menjadi orang yang terpuji bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi,” jawab Abdul Muthalib seperti diungkap Husain Haekal.

Al-Aqqad dalam Mathla’ Al-Nur, seperti dikutip Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati (2007), menyatakan bahwa keluarga Hasyim terkenal gagah, budiman, dan religius. Sementara keluarga Umayyah adalah politikus yang pandai melakukan tipu daya, pekerja yang ambisius, dan tidak gagah. Menurut Al-Aqqad, hal ini disepakati para sejarawan dan tidak dibantah oleh Umayyah bahkan setelah mereka berkuasa.

“Nah, dari keluarga siapakah di Mekah ini yang wajar dipilih untuk tugas kenabian? Tentu saja dari keluarga Hasyim. Dari keluarga ini terpilih Nabi Muhammad, yang bukan saja karena gagah, simpatik, dan berwibawa, tapi juga karena budi pekertinya yang luhur,” ungkap Quraish Shihab dalam bukunya itu.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muchlishon