Sirah Nabawiyah

Hikmah Kekalahan Tentara Gajah saat Menyerang Ka’bah

Sel, 17 Agustus 2021 | 08:00 WIB

Hikmah Kekalahan Tentara Gajah saat Menyerang Ka’bah

Kekalahan Tentara Gajah saat Menyerang Ka’bah

Raja Abrahah tidak senang Ka’bah menjadi tujuan orang-orang Arab saat menunaikan ibadah haji. Ia berniat untuk mengalihkannya ke al-Qullais, gereja di Shan’a, ibu kota Yaman. Bersama pasukan gajah ia berangkat menuju Makkah berniat menghancurkan Ka’bah yang selama ini dijadikan pusat ibadah haji orang-orang Arab.

 

Al-Qullais Gereja Abrahan Tandingan Ka'bah
Abrahah membangun al-Qullais di Shan’a, Yaman. Sebuah gereja yang terbuat dari tanah. Bangunan mewah tanpa ada yang menandingi saat itu. Begitu selesai dibangun, Abrahah segera mengabarkan kepada Raja Najasyi: 


“Saya telah membangunkannya untukmu, wahai Baginda Raja, sebuah gereja yang belum pernah dibangun untuk seorang pun dari kalangan raja sebelum Engkau. Saya tidak akan berhenti sampai berhasil memindahkan orang-orang Arab yang berhaji ke sana!”


Kabar itu menyebar hingga sampai ke telinga seorang pria dari kalangan Nas’ah (orang yang biasa menunda janji sampai beberapa bulan lamanya, nas’ah artinya menunda). Pria Na’sah itu tidak suka. Sebagai responnya, ia datangi bangunan Al-Qullais dan tidak tanggung-tanggung nekat buang hajat di sana.


Mengetahui aksi ‘kurang ajar’ pria Nas’ah itu, Abharah murka. Ketidaksukaannya terhadap Ka’bah semakin menjadi. Ia bersumpah mengerahkan tentara menuju Makkah dan merobohkan bangunan Ka’bah. Tekad Abrahah mendapat kutukan keras dari orang-orang Arab. Bahkan, mereka sampai pada keputusan berjihad melawan Abrahah adalah wajib. Dalam perjalanan menuju Makkah nanti, pasukan Abrahah akan banyak menemui perlawanan. Kendati kekuatan tentaranya tidak tertandingi.

 

Perjalanan Tentara Gajah ke Makkah
Dzu Nafir, seorang pria dari kalangan terhormat dan tokoh negeri Yaman mencoba menghadang Abrahah. Mengajak kaum dan para pengikutnya untuk memerangi Abrahah demi menjaga Baitullah. Tapi, Dzu Nafir beserta pasukannya berhasil dilumpuhkan, Dzu Nafir ditangkap dan dijadikan tawanan perang.


Abrahah melanjutkan perjalanannya. Ketika sampai di wilayah Khats’am, Nufail bin Habib bereserta dua kabilah Khats’am; Syahran dan Nahis, dan sejumlah kabilah Arab lainnya, menghadang pasukan Abrahah. Namun lagi-lagi kekuatan pasukan Abrahah terlalu kuat. Akhirnya Abrahah berhasil mengatasi serangan. Sementara Nufail ditangkap dan dijadikan penunjuk jalan menuju Makkah. 


Sampai di Tha’if, Mas’ud bin Mu’tab bersama sejumlah orang dari suku Tsaqif menemuinya. Kali ini, orang-orang Arab dari Tha’if tidak bermaksud untuk menyerang pasukan Abrahah. Mereka mengakui Abrahah sebagai raja dan meminta berdamai. Sebagai bukti penghormatan pada Sang Raja, mereka mengutus Abu Righal sebagai penunjuk jalan menuju Makkah. Namun, Abu Righal meninggal dunia begitu sampai di Mughamas, tempat di dekat kota Mekah, dari arah Tha’if.


Saat tiba di Mughamas, Abrahah mengutus Aswad bin Mashfud, pria dari kalangan bangsa Habsyi, untuk pergi ke Makkah. Sesampai di Makkah, ia merampas harta Tihamah dari kaum Quraisy dan selain mereka. Ia juga merampas 200 ekor unta milik Abdul Muthallib, kakek Nabi saw. Suku Quraisy, Kinanah, Hudzail, serta orang-orang yang berada di tanah Haram ingin sekali melawan. Tapi sadar, kekuatan musuh terlalu besar.


Abrahah juga mengutus Hunathah al-Himyari guna menemui pemimpin Makkah, Abdul Muthallib, untuk menyampaikan tujuan pasukannya hanya untuk merobohkan Ka’bah, bukan untuk bertempur. Jika memang pemimpin Makkah itu tidak mau bertempur, Abrahah memintanya untuk menghadap. Singkat cerita, Abdul Muthallib menyadari tidak akan mampu melawan tentara Abharah. Ia hanya bisa pasrah dan menemui Abrahah.


Sesampainya bertemu Abrahah, Abdul Muthallib tidak membicarakan soal tujuan Abrahah yang ingin merobohkan Ka’bah. Ia sudah pasrah, hanya meminta unta-unta yang telah dirampas Abrahah untuk dikembalikan. Permintaan Abdul Muthallib dikabulkan. Lalu Abdul Muthallib kembali menemui kaum Quraisy dan memberitahu apa yang akan terjadi. Kemudian menginstruksikan mereka untuk mengungsi keluar dari Makkah dan berlindung di puncak serta lereng gunug. 


Di pengungsian itu, mereka berdoa kepada Allah agar mengalahkan tentara Abrahah. Sementara itu, Abdul Muhtallib memegangi rantai pintu Ka’bah sembari bersenandung:


لَاهُمَّ إِنَّ الْعَبْدَ يَمْنَعُ *** رَحْلَهُ فَامْنَعْ حِلَالَكْ 
لَا يَغْلِبَنَّ صَلِيبُهُمْ *** وَمِحَالُهُمْ غَدْوًا مِحَالَكْ
إِنْ كَنْتَ تَارِكَهُمْ وَ *** قِبْلتَنَا فَأَمْرٌ مَا بَدَا لَكْ


Artinya, “Bukan mereka, sesungguhnya ada hamba yang mencegah untanya, maka cegahlah tanah suci-Mu. Salib dan tipu daya mereka tidak dapat mengalahkan tipu daya-Mu esok. Jika Engkau hendak membiarkan mereka dan kiblat kami, perintahkanlah yang semestinya Engkau perintahkan.”


Lalu, Abdul Muthallib melepaskan mata rantai pintu Ka’bah dan ikut naik ke puncak gunung bersama orang Quraisy lainnya.


Tatkala pasukan Abrahah sampai, hampir menyentuh Ka’bah, tiba-tiba pasukan gajah yang mereka bawa mogok menderum. Dipaksa, tetap saja. Tapi, begitu diarahkan untuk kembali pulang ke arah Yaman, gajah-gajah itu langsung berdiri dan berlari-lari kecil. 


Allah kemudian mengutus serombongan burung dari arah laut yang bentuknya seperti burung layang-layang hitam dan burung jalak. Masing-masing dari mereka membawa tiga butir batu kecil seukuran biji kacang, dua batu di kaki dan satu di paruh. Siapapun yang terkena batu itu langsung binasa. Pasukan Abrahah segera hancur, binasa oleh batu-batu kecil yang menimpanya. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an surat Al-Fîl. (Abdussalam Muhammad Harun, Tahdzîb Sîrah Ibnu Hisyâm, [Beirut, Mu’assasah ar-Risalah: 1985], halaman 26-30).


Menurut riwayat paling shahih, peristiwa ini terjadi pada Muharram, bertepatan dengan Februari tahun 570 M. Tepat setelah 50 hari setelah itu, lahir Nabi Muhammad saw. (Shalih ‘Abduh al-Barkani, al-Umam al-Hâlikah fil Yaman, [Kairo, Dârul Lu’lu’ah: 2018], halaman 247).


Hikmah Kekalahan Tentara Gajah 
Kekalahan Tentara Gajah sebagaimana kisah di atas mengandung banyak hikmah, yang di antaranya adalah sebagai berikut.


Pertama, sebagai persiapan kelahiran Rasulullah saw. Banyak dijelaskan oleh ulama, seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Ibnul Qayyim dalam Zâdul Ma’âd, Muhammad asy-Syami dalam Subulul Hudâ war Rasyâd , dan lain sebagainya, kekalahan pasukan gajah di bawah pimpinan Raja Abrahah merupakan pertanda akan dilahirkannya nabi akhir zaman di kota Makkah. Peristiwa ini tergolong sebagai irsâhsh, hal-hal irasional (luar biasa) yang terjadi pada diri Rasulullah saw sebelum diutus menjadi nabi.


Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, peristiwa kekalahan Tentara Gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah merupakan pertanda akan dilahirkannya Nabi saw di kota Makkah. Secara logika, seharusnya pasukan Abrahah yang beragrama Nasrani (Ahlul Kitab), otomatis lebih mulia dari penduduk Makkah yang menyembah berhala. Tetapi, Allah lebih berpihak kepada penduduk Makkah. Tidak lain, kehendak Allah itu adalah untuk memuliakan kota Makkah, kota yang 50 hari setelah itu akan melahirkan seorang nabi akhir zaman. Artinya, Nabi sudah ada dalam kandungan Sayyidah Aminah. Secara tidak langsung, seolah Allah berpesan: 


“Wahai suku Quraisy sekalian, kami menolong kalian dengan mengalahkan Habasyah bukan karena kalian lebih mulia (dari para ahlul kitab, pen). Kami hanya ingin menjaga Ka’bah yang kelak akan kami muliakan dan kami agungkan dengan diutusnya nabi yang ummi.” (Ibnu Katsir, Tafsîrul Qur’ân al-‘Adhîm, [Islam Kotob: 1950], juz XIV, halaman 455).


Seandainya Tentara Gajah berhasil menguasai kota Makkah saat itu, tentu mereka akan menahan seluruh penduduknya dan dijadikan budak. Termasuk ibunda Nabi saw, Sayyidah Aminah yang kala itu sedang mengandungnya. Jika Siti Aminah dijadikan budak, Nabi saw yang masih di dalam kandungannya pun menjadi budak, baik saat masih di kandungan, maupun nanti jika sudah lahir. (Ali Ash-Shallabi, as-Sirâh an-Nabawiyyah, [Beirut, Dârul Ma’rifah: 2008], halaman 43).


Kedua, penjagaan terhadap Ka’bah. Tujuan Allah membebaskan Ka’bah dari sentuhan Abrahah dan pasukannya adalah untuk melindunginya dari penguasaan dan kendali orang-orang zalim, sehingga Makkah tetap menjadi kota merdeka. Ini adalah cara Allah untuk menjaga agama dan dan Baitullah, sebelum semua orang tahu akan lahirnya sosok Nabi saw. (Ali Ash-Shallabi, as-Sirâh an-Nabawiyyah, halaman 43).


Ketiga, menjadikannya sebagai perhitungan kalender orang Arab. Dalam tradisi Arab sebelum mengenal kalender Hijriyah, mereka menggunakan peritiswa-peristiwa besar sebagai pengingat suatu peristiwa. Misal mereka mengatakan, “Hal itu terjadi pada Tahun Gajah, Si Fulan lahir pada Tahun Gajah, itu sekian tahun setelah Tahun Gajah.” (Abul Hasan an-Nadawi, as-Sîratun Nabawiyyah, [Jedah: Darus Syuruq, 1989], halaman 82). Wallahu a’lam.

 


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab dan Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon