Sirah Nabawiyah

Hijrah Rasulullah ke Madinah: Ancaman dan Hikmahnya

Sab, 19 Juni 2021 | 14:15 WIB

Hijrah Rasulullah ke Madinah: Ancaman dan Hikmahnya

Setelah mengetahui kepergian para Sahabat Rasulullah ﷺ ke Madinah, kaum kafir Quraisy mengalami kekalutan dan kebingungan. Mereka berasa terganggu secara ideologis dan ekonomi.

Setelah selesai dilaksanakannya Baiat Aqabah kedua, dan setelah Islam mendapatkan wilayah yang siap menampung mereka, maka sejak saat itu Rasulullah mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah. Sebagian dari sahabat mulai mempersiapkan bekalnya, ada juga yang langsung berangkat, dan ada pula yang masih menunggu Rasulullah untuk berangkat bersamanya.

 

Tantangan hijrah sangatlah berat. Para sahabat harus menanggung berbagai macam risiko agar bisa melakukan hijrah. Ada yang meninggalkan sanak keluarganya, hartanya, bahkan ada yang terancam jiwanya. Belum lagi meninggalkan kampung halaman yang sudah pasti sangat berat bagi mereka. Namun, satu persatu kaum Muslimin berhasil melakukan hijrah ke Madinah. Mereka umumnya pergi berkelompok dan dengan sembunyi-sembunyi, meski ada juga yang sedikit dari mereka pergi dengan terang-terangan.

 

Menurut Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, selang dua bulan lebih beberapa hari setelah terlaksananya Baiat Aqabah kedua, akhirnya tidak ada kaum muslimin yang tersisa kecuali Rasulullah , Abu Bakar, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma. Sementara itu, Rasulullah tengah menunggu saat-saat Allah mengizinkannya untuk melakukan hijrah. Abu Bakar yang saat itu telah bersiap-siap untuk hijrah diminta Rasulullah untuk ikut menemaninya (Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf: Qatar, 2007], h. 155).

 

Rencana Pembunuhan

Setelah mengetahui kepergian para Sahabat Rasulullah ke Madinah, kaum kafir Quraisy mengalami kekalutan dan kebingungan. Bayang-bayang besar ada di depan mereka, dan merasa bahwa keberadaannya secara ideologis dan ekonomi sangat terancam sebab mereka tahu betul pengaruh Rasulullah terhadap para sahabatnya untuk membela dan memperjuangkan aqidahnya, apalagi jika disertai dengan kekuatan kaum muslimin Madinah yang kini telah bersatu setelah sekian lama dilanda pertikaian antarsuku.

 

Di sisi lain, letak kota Madinah sangat strategis. Kota itu merupakan tempat lalu lalang kafilah dagang dari Yaman ke Syam. Saat itu, penduduk Makkah biasa melakukan perjalanan bisnis ke negeri Syam dengan nilai perdagangan yang sangat tinggi. Dan semua itu sangat tergantung dengan kondisi keamanan di jalur tersebut. Bertitik tolak dari hal itu, para pembesar Quraisy sepakat untuk bermusyawarah membicarakan cara paling efektif untuk menghadapi bahaya tersebut. Akhirnya mereka sepakat, dan mulai mengumpulkan berbagai pembesar dan tokoh kafir Quraisy untuk mengikuti musyawarah.

 

Pada pertemuan itu semua utusan dari suku-suku Quraisy berupaya memadamkan cahaya dakwah yang dibawa Rasulullah . Hadir pula dalam pertemuan itu, seorang tua yang mengaku dirinya sebagai orang tua dari Nadj, padahal sebenarnya dia adalah setan yang menyerupai manusia. Setelah berembuk sekian lama, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk membunuh Rasulullah . Kesepakatan itu diambil setelah Abu Jahal menyempaikan pendapatnya; dengan cara setiap suku mengirimkan seorang pemuda yang gagah perkasa serta dibekali sebilah pedang yang tajam. Kemudian mereka diperintah secara bersama untuk membunuh Rasulullah . Pendapat ini yang akhirnya disepakati, dan ternyata dikuatkan oleh orang tua dari Najd tadi (Syekh Shafiyurrahman, Rahiqul Makhtum, 2007, h. 155).

 

Ketika kesepakatan membunuh Rasulullah telah diambil, malaikat Jibril segera memberi tahu tentang rencana makar mereka. Dia juga memberitahu bahwa Allah telah mengizinkannya melakukan hijrah. Mendengar berita itu, Rasulullah segera menuju rumah Abu Bakar di siang hari yang terik dan pada waktu yang biasanya jarang orang lalu lalang.

 

Sesampainya di rumah Abu Bakar, Rasulullah meminta kepadanya agar tidak ada seorang pun keluarganya yang berada di dalam karena ia akan menerangkan rencana perjalanan hijrahnya. Abu Bakar sangat gembira dengan dipilihnya dia sebagai teman yang mendampingi hijrah Rasulullah. Setelah semua dijelaskan, Rasulullah kembali ke rumahnya, menunggu datangnya malam.

 

Pada saat yang sama, para pembesar Quraisy sudah bersiap-siap untuk melaksanakan rencana mereka. Rencana sudah mereka susun di siang harinya secara matang. Mereka telah memilih 11 orang dari masing-masing suku untuk menunaikan tugas tersebut. Dan tiba saatnya, ketika malam mulai gelap, mereka bergerak dengan mengintai rumah Rasulullah . Mereka berniat mengeksekusi Rasulullah kala beliau tidur. Mereka sangat yakin bahwa rencana yang telah disusun matang akan berhasil sesuai harapan. Namun, di balik semua itu, ada Allah yang selalu melindungi hamba-Nya dan berbuat sesuai kehendak-Nya. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

 

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِين

 

Artinya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya (QS Al-Anfal: 30).

 

Pada waktu yang sangat kritis itu, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya dengan menggunakan selimut yang biasa Rasulullah pakai. Setelah itu Rasulullah menerobos kepungan mereka yang saat itu penglihatannya Allah cabut, sehingga tidak bisa melihat perjalanan Rasulullah. Kemudian, pada malam itu juga, Rasulullah berjalan menuju rumah Abu Bakar.

 

Sementara itu para pengepung rumahnya masih menunggu waktu pelaksanaan eksekusi. Dan akhirnya, mereka segera masuk ke rumah dan melihat ada seseorang yang sedang tidur. Mereka mengira bahwa ia adalah Rasulullah yang sedang tidur di balik selimutnya. Namun ternyata, yang tidur di tempat itu adalah Ali bin Abi Thalib.

 

Di sisi lain, Abu Bakar meminta putranya, Abdullah, mengamati segala aktivitas dan merekam semua pembicaraan kaum Quraisy di siang hari, lalu melaporkannya setiap petang menjelang. Abu Bakar juga menyuruh budaknya, Amir bin Fahirah untuk menggembalakan kambing dekat Gua Tsur pada siang hari dan mengistirahatkannya pada petang hari agar dirinya dan Rasulullah dapat minum susu dari kambing gembalaan itu. Asma, putrinya, juga diperintahkan oleh Abu Bakar membawakan makanan setiap petang untuk mereka berdua.

 

Kemudian, Rasulullah dan Abu Bakar pergi menuju Gua Tsur untuk tinggal selama beberapa waktu di sana. Abu Bakar mendahului Nabi Muhammad masuk ke dalam gua untuk memastikan bahwa di dalam gua tersebut tidak terdapat binatang buas dan ular. Rasulullah dan Abu Bakar selama tiga hari tinggal di dalam gua ini. Abdullah bin Abu Bakar juga ikut menginap bersama mereka untuk melaporkan berbagai peristiwa dan perkembangan yang terjadi di Kota Makkah. Dan Abdullah, sebelum fajar, telah kembali ke Makkah berbaur bersama penduduk seolah-olah dia bermalam di Makkah. Sementara Amir bin Fahirah ditugaskan membawa gembalannya ke daerah sekitar Gua Tsur. Kambing-kambingnya digiring berjalan mengikuti jalan yang dilalui Abdullah ketika meninggalkan gua, agar jejak kaki putra Abu Bakar itu hilang tidak terlacak. Selain itu, dia juga ditugasi membawa sepotong daging untuk Rasulullah dan Abu Bakar.

 

Akhirnya, kaum musyrik mengetahui Rasulullah berhasil keluar dari Makkah. Mereka menyusuri setiap jalanan menuju Madinah. Mereka memeriksa tempat-tempat mencurigakan yang mungkin bisa dijadikan tempat bersembunyi. Sampailah mereka tiba di sekitar Gua Tsur. Rasulullah dan sahabatnya mendengar derap kaki mereka. Abu Bakar seketika dilanda rasa takut. Ia berbisik kepada Rasulullah, “Seandainya salah seorang dari mereka melihat ke bawah kakinya, pastilah kita akan terlihat oleh mereka.” Untuk menenangkan sahabatnya, Rasulullah bersabda:

 

ما ظنك يا أبا بكر باثنين الله ثالثهما

 

Artinya, “Wahai Abu Bakar, bagaimana menurutmu dua orang yang pergi bersama, sedangkan yang ketiganya adalah Allah?” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2019], halaman 149).

 

Allah membutakan mata kaum musyrik sehingga tak seorang pun dari mereka ingin melongokkan kepalanya ke dalam gua. Tak pernah terbesit dalam hati seorang pun dari mereka ingin memeriksa ada apa di dalam gua itu. Begitulah pertolongan Allah . Imam al-Bushiri dalam qasidah burdahnya mengatakan:

 

وقاية الله أغنت عن مضاعفة # من الدروع وعن عال من الأطم

 

Artinya, “Perlindungan Allah tidak membutuhkan berlipatnya baju baja, juga benteng tinggi nan kokoh.”

 

Hikmah di Balik Kisah Hijrah

Menurut Syekh al-Buthi, di antara hikmah Rasulullah hijrah secara sembunyi-sembunyi bukan karena khawatir atas keselamatan dirinya atau takut ditangkap musuh sebelum tiba Madinah. Buktinya, setelah Rasulullah menempuh semua rihlah perjalanannya, ketika beristirahat di Gua Tsur, lalu kaum musyrik tiba di sekitar gua tempat mereka bersembunyi, yang seandainya seorang dari mereka melihat ke bawah maka pasti akan melihat Rasulullah, sehingga Abu Bakar dihinggapi rasa takut yang hebat. Rasulullah tetap bersikap tenang dan menenangkan sahabatnya dengan berkata, “Wahai Abu Bakar, menurutmu, apa yang akan terjadi dengan dua orang yang ketiganya adalah Allah?” Padahal, bila Rasulullah hanya mengandalkan semua langkah lahiriah dan kehati-hatiannya dalam proses hijrah itu, beliau pasti juga akan merasa takut dan cemas ketika menghadapi situasi seperti itu. Namun, nyatanya tidak! (Syekh al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2019, halaman 152).

 

Dengan demikian, semua langkah Rasulullah dalam perjalanan hijrah adalah tugas penerapan syariat (wadhifah tasyri‘iyyah) yang mesti dijalankan. Ketika itu sudah dilaksanakan, Rasulullah tinggal mengaitkan hatinya kepada Allah dan bersandar hanya pada petunjuk dan pertolongan-Nya. Maka, setiap Muslim harus menyadari bahwa mereka dilarang menyandarkan segala sesuatu kecuali kepada Allah, tanpa mengabaikan prinsip kausalitas (sebab akibat).

 

Bahkan ternyata, ada Mukjizat paling menonjol dalam perjalanan hijrah Rasulullah, yaitu ketika beliau berhasil keluar dari rumahnya tanpa diketahui kaum musyrik yang sudah mengepung rumah dan berjaga-jaga di setiap sudut. Mukjizat ini menjadi semacam maklumat bagi kaum musyrik di setiap tempat dan waktu bahwa penindasan dan penyiksaan yang dialami Rasulullah dan para sahabat dalam perjuangan membela agama, tidak serta-merta mengindikasikan bahwa Allah menelantarkan mereka dan mereka jauh dari kemenangan. Sama-sekali tidak! Kaum musyrik dan semua musuh Islam jangan merasa senang dulu. Sebab, pertolongan Allah amat dekat dan jalan menuju kemenangan selalu ada, kapan pun dan di mana pun.

 

Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.