Sirah Nabawiyah

Empat Hikmah di Balik Pengkhianatan Bani Quraizhah pada Bulan Dzulqa’dah

Sab, 11 Juni 2022 | 08:00 WIB

Empat Hikmah di Balik Pengkhianatan Bani Quraizhah pada Bulan Dzulqa’dah

Perjanjian damai, gencatan senjata, atau jaminan keamanan yang dibuat kaum Muslim dan nonmuslim harus selalu dihormati sebaik mungkin selama poin-poin perjanjian tidak dilanggar. (Ilustrasi: via wikipedia)

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, bahwa perang Bani Quraizhah terjadi pada bulan Dzulqa’dah, salah satu bulan yang sangat dimuliakan dalam Islam.

 

Perang ini pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok yang ada di perkampungan Bani Quraizhah, oleh karenanya Rasulullah mengambil langkah untuk berperang sebagai solusi terakhir sekali pun bertepatan dengan bulan haram.


Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, salah satu pakar sejarah dari timur tengah mengupas tuntas perihal hikmah-hikmah yang terjadi pada peperangan yang satu ini dalam kitab Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, halaman 301-302. Ia juga menjelaskan perihal alasan kebolehan berperang pada bulan haram, yang notabenenya diharamkan dalam Islam. Hikmah-hikmah itu di antaranya adalah:


Pertama, Diperbolehkannya Perang

Dalam ajaran Islam, Allah melarang umat Islam untuk berperang di bulan-bulan yang dimuliakan, seperti bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hal itu untuk menjaga sakralitas kemuliaan yang ada dalam bulan-bulan tersebut, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu:


يَسْأَلونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ


Artinya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.” (QS Al-Baqarah [2]: 217)


Hanya saja, larangan itu tidak berlaku secara umum. Sebab, perang pada bulan ini diperbolehkan memerangi pihak yang melanggar perjanjian. Perjanjian damai, gencatan senjata, atau jaminan keamanan yang dibuat kaum Muslim dan nonmuslim harus selalu dihormati sebaik mungkin selama poin-poin perjanjian tidak dilanggar. Jika terjadi pelanggaran, kaum Muslim diperbolehkan memerangi mereka, jika memang itu dapat membawa kemaslahatan.


Kedua, Kebolehan Ijtihad dalam Masalah Furu’

Dalam peristiwa perang Bani Quraizhah terdapat hikmah diperbolehkannya berijtihad dalam persoalan cabang (furu’iyah) dan keniscayaan perbedaan pendapat di dalamnya. Perbedaan pendapat para sahabat dalam memahami sabda Rasulullah, “Jangan ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat ashar sebelum tiba di perkampungan Bani Quraizhah,” juga sikap Rasulullah yang tidak menegur atau mencela seorang pun dari mereka setelah sebagiannya shalat dan sebagiannya tidak menjadi dalil terpenting bagi salah satu prinsip dasar syariat Islam.


Prinsip dasar yang dimaksud tidak lain adalah keniscayaan perbedaan pendapat dalam persoalan persoalan cabang. Masing-masing pihak yang berijtihad tetap mendapatkan pahala, dan hasil ijtihad tetap berbeda. Perbedaan pemahaman para sahabat tersebut juga menegaskan prinsip ijtihad dalam menggali hukum-hukum agama. Selain itu, kisah mereka menunjukkan bahwa menghilangkan perbedaan pendapat dalam persoalan cabang yang bersumber dari dalil-dalil zhannî (tidak pasti) adalah sesuatu yang mustahil dan tak terbayangkan.


Banyaknya dalil dan teks keagamaan yang zhannî sebenarnya mengandung banyak hikmah yang sangat mulia. Di antara hikmah terpentingnya adalah hendaknya perbedaan ijtihad dalam satu pesoalan didasarkan pada dalil-dalil yang diakui secara syar`i.

 

Itu dimaksudkan agar setiap Muslim dapat memilih hasil ijtihad sesukanya yang sesuai dengan tuntutan zaman dan kemaslahatan mereka masing-masing. Inilah salah satu wujud rahmat Allah bagi hamba-hamba-Nya di setiap tempat dan zaman.


Dari sini, bisa dipahami bahwa upaya menghapuskan perbedaan pendapat dalam persoalan-persoalan cabang berarti upaya melawan hikmah Ilahiah dalam penetapan syariat, selain termasuk upaya yang sia-sia belaka. Bagaimana mungkin perbedaan pendapat dalam satu persoalan bisa dihilangkan, bila dalilnya saja masih zhannî dan mengandung banyak kemungkinan makna?


Seandainya semua itu bisa dilakukan pada masa sekarang, maka pada masa Rasulullah tentu jauh lebih mungkin untuk dilakukan, mengingat para sahabat adalah orang yang paling mungkin untuk tidak berbeda pendapat. Namun, mengapa mereka tetap berbeda pendapat, sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya?


Ketiga, Anjuran Berdiri Menghormati Orang yang Datang

Ketika Sa’d bin Mu’adz datang dengan mengendarai seekor keledai menuju arah kaum Anshar, Rasulullah memerintahkan supaya mereka berdiri untuk menghormati kedatangannya. Tindakan Rasulullah ini ditegaskan sabdanya, “Berdiri dan sambutlah pemimpin dan orang terbaik kalian.”


Para ulama menjadikan hadits ini dan hadits-hadits yang senada sebagai dalil dianjurkannya menghormati orang-orang saleh dan alim dengan cara berdiri, sesuai adat kebiasaan yang berlaku di zaman masing-masing.


Imam Nawawi dalam salah satu kitabnya mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan anjuran untuk menghormati orang-orang yang memiliki kelebihan ilmu dan menyambut mereka dengan berdiri. Hadits ini pula yang dijadikan mayoritas ulama sebagai hujah bahwa berdiri untuk menghormati orang alim adalah dianjurkan,


قَوْلُهُ (قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ) فِيْهِ إِكْرَامُ أَهْلِ الْفَضْلِ وَتَلْقِيْهِمْ بِالْقِيَامِ لَهُمْ إِذَا أَقْبَلُوْا هَكَذَا اِحْتَجَّ بِهِ جَمَاهِيْرُ الْعُلُمُاءِ لِاسْتِحْبَابِ الْقِيَامِ


Artinya, “Sabda nabi ‘Berdirilah untuk pemimpin dan orang terbaik kalian’. Dalam hadits ini terdapat (anjuran) menghormati orang-orang yang memiliki kemuliaan, dan penyambutan mereka dengan berdiri kepadanya ketika berhadapan. Hadits ini pula yang dijadikan dalil oleh para ulama perihal kesunnahan berdiri (untuk orang mulia).”


Imam Nawawi juga mengutip pendapat Imam al-Qadhi yang mengatakan bahwa berdiri dalam konteks ini tidak termasuk berdiri yang dilarang. Alhasil, berdiri untuk menghormati orang yang datang adalah mustahabb (dianjurkan). Hal ini telah ditegaskan banyak hadits dan tidak ada satu pun larangan yang tegas tentangnya. (Imam Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahihi al-Muslim, [Beirut, Darul Ihya at-Turats, tt], juz XII, halaman 93).


Keempat, Kebolehan Tahkim (Damai)

Diperbolehkannya perundingan damai (tahkim) dalam urusan yang menyangkut kaum Muslim. Menurut al-Buthi, peristiwa Bani Quraizhah menunjukkan kebolehan ber-tahkîm menyangkut urusan-urusan penting kaum Muslim, yaitu dengan meminta keputusan hukum dari seorang Muslim yang adil dan pantas untuk semua itu, sebagaimana yang dilakukan oleh Sa’d bin Mu’adz.


Para ulama telah sepakat tentang sahnya tahkim dalam kasus kaum Khawarij. Mereka mengingkari perundingan damai yang dibuat oleh Sayyidina Ali, tetapi Ali berhasil mematahkan pengingkaran mereka.


Peristiwa Bani Quraizhah juga menunjukkan diperbolehkannya perundingan damai dengan penduduk satu desa atau benteng di bawah keputusan hukum dari seorang muslim yang disyaratkan adil, pantas memutus perkara hukum, serta dapat dipercaya.


Selain itu, keputusan hukum yang ia ambil harus mengandung kemaslahatan bagi umat Islam, di samping mengikat dan harus dijalankan. Dengan kata lain, imam (penguasa) tidak boleh menolak keputusan tersebut. Imam hanya bisa menolak sebelum keputusan itu ditetapkan.


Demikian beberapa hikmah yang terjadi dalam peristiwa pengkhianatan penduduk Bani Quraizhah pada perjanjian yang telah mereka sepakati dengan Rasulullah. Semoga bermanfaat!


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.