Sirah Nabawiyah

Perang Bani Quraizhah di Bulan Dzulqa’dah: Sejarah Pengkhianatan

Kam, 9 Juni 2022 | 09:00 WIB

Perang Bani Quraizhah di Bulan Dzulqa’dah: Sejarah Pengkhianatan

“Setiap orang dari mereka yang ikut Perang Khandaq harus dibunuh, dan keturunan mereka dijadikan tawanan.” (Ilustrasi: via n-num.com)

Bulan Dzulqa’dah merupakan bulan yang sangat sakral dan dimuliakan dakam Islam. Kemuliaan itu bisa dibuktikan dengan banyak hal, misalnya semua perbuatan baik akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, dan perbuatan maksiat akan dilipatgandakan pula dosanya oleh Allah.


Selain itu, untuk menghormati bulan mulia ini Allah melarang umat Islam untuk melakukan peperangan, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, yaitu:


يَسْأَلونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ


Artinya, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar.” (QS Al-Baqarah [2]: 217)


Kendati demikian, terdapat sejarah penting yang harus diketahui oleh umat Islam dan bertepatan dengan bulan haram (Dzulqa’dah), yaitu meletusnya peperangan Bani Quraizhah, yang terjadi pada tahun kelima setelah hijrahnya Nabi Muhammad. Peperangan ini dilatarbelakangi oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai yang telah mereka sepakati bersama umat Islam.


Saat itu, umat Islam sedang kelelahan dan dalam kondisi kritis, baik dari segi kekuatan maupun senjata yang bisa digunakan ketika perang. Sebab, peristiwa itu terjadi pasca-umat Islam berperang melawan orang kafir, yang dikenal dengan perang Khandaq di akhir bulan Syawwal. Namun, dari pengkhianatan itulah yang menjadi salah satu penyebab adanya perang setelah perang Khandaq.


Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam salah satu kitab ¬sirah-nya mengatakan, bahwa sehari setelah kepulangan Rasulullah menuju Madinah di waktu Zuhur, kemudian meletakkan senjatanya dan hendak mandi di rumah Ummu Salamah, datang malaikat Jibril untuk menemuinya. Kemudian dia berkata,


قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ؟ وَاللهِ مَا وَضَعْنَاهُ. فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ، قَالَ: إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ: إِلَى قُرَيْظَةَ، فَخَرَجَ النَّبِي إِلَيْهِمْ


Artinya, “’Sungguh kalian telah meletakkan senjata? Demi Allah, kami (para malaikat) belum meletakkannya. Keluarlah menuju mereka!’ kata Jibril. Rasulullah bertanya, ‘Ke mana?’ Jibril menjawab, ‘Kepada Bani Quraizhah.’ Kemudian Nabi Muhammad (dan para sahabat) pergi menujunya.” (HR Bukhari).


Menerima perintah ini, Rasulullah langsung bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para sahabat untuk segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Bahkan, agar cepat sampai pada tujuan, Rasulullah menyuruh para sahabat untuk shalat Ashar di pemukiman Bani Quraizhah. Dalam sebuah hadits disebutkan,


لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ


Artinya, “Janganlah (ada) satu pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).


Kendati Rasulullah menyuruh para sahabat melakukan shalat Ashar di sana, ada beberapa shabat yang melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan karena khawatir waktunya akan segera habis, dan ada juga beberapa sahabat yang meneruskan perjalanannya karena sudah ada perintah dari Rasulullah, dan tentunya juga dilarang melakukan shalat sebelum sampai pada tujuan.


Karena berbeda pendapat, para sahabat memberanikan diri untuk menyampaikan semua itu kepada Nabi Muhammad, khawatir apa yang dilakukannya terjerumus pada kesalahan. Namun, beliau tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.


Pengepungan Bani Quraizhah

Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi mengatakan dalam kitab sirah-nya, bahwa tiba di pemukiman Bani Quraizhah, Rasulullah dan para sahabat langsung mengepung Yahudi Bani Quraizhah, yang berlindung di benteng-benteng mereka selama 25 malam (menurut riwayat lain, 25 hari). Akhirnya, mereka tidak tahan lagi dikepung, dan Allah menanamkan rasa takut di dalam hati mereka. (Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut, Darul Fikr: 2020], halaman 302).


Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Ka’b bin Asad (pemuka Bani Quraizhah) berkata kepada orang-orang Yahudi, “Hai orang-orang Yahudi! Kalian telah melihat sendiri apa yang sedang menimpa kalian. Aku mempunyai tiga saran, untuk itu, ambillah mana saja sesuka kalian.” “Apa itu?” tanya mereka.


Ka’b bin Asad menerangkan, “Kita ikuti lelaki ini (Rasulullah) dan membenarkannya. Demi Tuhan, kalian sebenarnya sudah tahu bahwa dia benar-benar seorang nabi yang diutus dan bahwa dialah yang disebut dalam kitab kalian. Jika saran ini diambil, nyawa kalian akan selamat, begitu juga nyawa anak-anak dan istri-istri kalian.”


Namun, seorang dari mereka menyahut, “Sampai kapan pun, kami tidak akan meninggalkan hukum Taurat!” Ka’b lalu berkata, “Jika begitu, kita bunuh saja semua anak dan istri kita, lalu kita keluar mendatangi Muhammad dan para pengikutnya dengan pedang terhunus. Jika kita binasa, biarlah kita binasa, karena kita tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan keselamatannya.”


Mereka menjawab, “Apa dosa orang-orang malang itu?” Ka’b berkata lagi, “Jika saran ini juga kalian tolak, malam ini adalah malam Sabtu. Semoga saja Muhammad dan para pengikutnya tidak akan menyerang (untuk memberi kita kesempatan beribadah di hari besar kita). Sebab itu, ayo kita turun dan serang mereka. Siapa tahu kita bisa menyergap mereka.” Saran ketiga ini pun mereka tolak. Namun pada akhirnya, mereka menyerah dan tunduk di bawah keputusan hukum Rasulullah. (al-Buthi, 202).


Sa’d dan Luka Awal Kematiannya

Bani Quraizhah sejak zaman Jahiliyah telah memiliki ikatan persekutuan dengan Suku Aus. Karenanya, Rasulullah ingin agar yang memutuskan perkara mereka berasal dari kalangan pembesar Suku Aus. Akhirnya pilihan jatuh ke tangan Sa’d bin Muadz.


Saat itu, Sa’d tengah dirawat di sebuah tenda karena luka akibat lemparan anak panah sewaktu Perang Khandaq. Ketika Rasulullah memintanya agar memutuskan perkara Bani Quraizhah, Sa’d segera datang dengan mengendarai seekor keledai. Setiba Sa’d dekat masjid, Rasulullah berseru kepada kaum Ansor, “Berdiri dan sambutlah pemimpin dan orang terbaik kalian.”


Setelah itu, Rasulullah berkata kepada Sa’d, “Mereka (Bani Quraizhah) akan tunduk pada keputusan hukum darimu.” Sa’d berkata, “Setiap orang dari mereka yang ikut Perang Khandaq harus dibunuh, dan keturunan mereka dijadikan tawanan.” Mendengar keputusan Sa’d ini, Rasulullah menyahut, “Engkau telah memutuskan perkara mereka sesuai hukum Allah.”


Sa’d bin Mu’adz kemudian berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang lebih kusukai untuk kuperangi selain kaum yang mendustakan dan mengusir utusan-Mu. Ya Allah, aku menduga bahwa Engkau telah mengakhiri peperangan antara kami dan mereka (Quraisy Makkah). Jika memang masih ada peperangan melawan mereka, berilah aku kesempatan hidup untuk berjihad di jalan-Mu melawan mereka. Namun, jika Engkau telah mengakhiri peperangan, letuskanlah (lukaku ini) dan jadikanlah kematianku di jalan-Mu.”


Tak lama berselang, luka Sa’d bin Mu’adz meletus tanpa disadari seorang pun yang menemaninya. Darah pun mengucur deras dan mengalir ke tenda milik Bani Ghifar di masjid. “Hai penghuni tenda, dari mana darah ini berasal?” tanya seorang dari mereka. Ternyata, darah itu diketahui berasal dari Sa’d yang mengucur deras dari lukanya dan menjadi sebab kematiannya.


Selanjutnya, Yahudi Bani Quraizhah dipaksa turun dari benteng-benteng mereka, lalu digiring ke parit-parit Madinah. Setiap lelaki dari mereka yang ikut Perang Khandaq dibunuh, sementara anak-cucunya dijadikan tawanan. Di antara mereka yang dihukum bunuh adalah Huyay bin Akhthab, seorang pembesar Yahudi Bani Nadhir yang berhasil membujuk Bani Quraizhah untuk mengkhianati perjanjian dan melanggar kesepakatan.


Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, saat itu Huyay dibawa ke hadapan Rasulullah dengan kedua tangan terikat di leher. Ketika matanya tertuju ke arah Rasulullah, Huyay berkata, “Demi Tuhan, aku takkan mencela diriku sendiri karena telah memusuhimu. Namun, siapa saja yang mempermalukan Tuhan, niscaya dia akan dipermalukan.” Beberapa saat kemudian, Huyay didudukkan, lalu kepalanya dipenggal. (al-Buthi, 203).


Demikian sejarah peperangan dan pengkhianatan Bani Quraizhah yang bertepatan dengan bulan Dzulqa’dah. Semoga bermanfaat.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.