Sirah Nabawiyah

Biografi Abu Bakar: Kelahiran hingga Memeluk Islam Tanpa Keraguan

Jum, 28 Agustus 2020 | 13:00 WIB

Biografi Abu Bakar: Kelahiran hingga Memeluk Islam Tanpa Keraguan

Biografi Abu Bakar as-Shiddiq.

Abu Bakar lahir dengan nama Abdullah bin Abu Quhafah at-Taimy (nama sebenarnya Utsman). Sementara ibunya bernama Ummu al-Khair (sebetulnya bernama Salma binti Sakhar). Jika nasab Abu Bakar dari bapaknya ditarik ke atas, maka akan bertemu dengan garis keturunan Nabi Muhammad pada Murrah bin Ka’ab. Ia lahir di Makkah pada 573 M atau lebih kurang dua tahun enam bulan setelah Tahun Gajah. Dari situ bisa diketahui bahwa Abu Bakar lebih muda 2,5 tahun dari Nabi Muhammad. 


Abu Bakar berasal dari keluarga pedagang yang kaya. Hal itu yang memengaruhi kehidupannya sehingga kelak ketika dewasa dia menjadi pedagang yang sukses. Keluarga berada juga membuat Abu Bakar menjadi pribadi yang terpelajara. Ia kerap kali pergi ke luar Makkah, ke Yaman, Syam, dan tempat lainnya.


Kendati demikian, tidak ada informasi yang memadai—yang sampai kepada kita- mengenai masa kecil dan masa remaja Abu Bakar. Namun demikian, sebagaimana diketahui bahwa pada saat itu masyarakat Arab tengah berada dalam zaman jahiliyah—di mana mereka menyembah berhala, Abu Bakar juga diajarkan untuk menyembah berhala sejak kecil. Pernah suatu hari Abu Bakar meminta makanan dan pakaian kepada berhala. 


Tentu saja berhala itu tidak mengabulkan permintaannya. Karena kesabarannya habis, Abu Bakar mengangkat batu dan mengancam berhala tersebut; ‘Kamu bukan lah Tuhan kalau tidak bisa melindungi dirimu’. Seketika, berhala tersebut dipukul dengan batu hingga hancur. Maka sejak saat itu, Abu Bakar tidak lagi menyembah berhala. 


Disebutkan Muhammad Husain Haekal dalam Abu Bakr as-Siddiq (2004), pada masa remaja—lepas dari masa anak-anak- Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain. Usahanya sukses. Dagangnya berkembang pesat. Ia memperoleh laba yang cukup besar. Di usianya yang masih muda itu, Abu Bakar menikah dengan Qutailah binti Abdul Uzza. Dari perkawinannya dengan Qutailah, Abu Bakar memiliki dua, yaitu Abdullah dan Asma.


Perihal nama, julukan, dan gelar

Ali At-Tanthawy dalam Abu Bakar al-Shiddiq (1986) menjelaskan, nama Abu Bakar sebelum masuk Islam adalah Abdul Ka’bah. Ketika masuk Islam, Nabi Muhammad mengganti namanya menjadi Abdullah. Ulama Ahlussunnah dalam berbagai periwayatan kemudian lebih mengenal nama Abu Bakar as-Shiddiq.


Ada juga yang berpendapat bahwa nama Abu Bakar sebelum memeluk Islam adalah Atiq. Mungkin nama ini dinisbatkan kepada Ka’bah yang lain, yaitu Baitul Atiq (Rumah Purba). Ada sejarah tersendiri terkait dengan nama Atiq ini. Jadi, sebelumnya ibu Abu Bakar tidak pernah memiliki anak laki-laki.

 

Ibunya kemudian bernazar, jika ia melahirkan anak laki-laki maka akan diberi nama Abdul Ka’bah dan akan disedekahkan kepada Ka’bah. Betul saja, anak yang dinanti-nantikan lahir. Setelah tumbuh besar, anak tersebut diberi nama Atiq (yang dibebaskan).

 

Riwayat lain menyebutkan bahwa Atiq bukanlah nama Abu Bakar sebelum memeluk Islam, melainkan itu adalah julukan bagi dia karena kulitnya yang putih (atiq). Ada juga pendapat yang menyebut kalau julukan Atiq bagi Abu Bakar adalah pemberian Nabi Muhammad.    


Sementara nama Abu Bakar banyak ditemukan dalam berbagai periwayatan. Dalam keterangan buku Abu Bakar as-Siddiq (Muhammad Husain Haekal, 2004), semula tidak dijelaskan alasan mengapa dia dijuluki Abu Bakar, namun penulis-penulis kemudian menyimpulkan bahwa dia dijuluki demikian karena dia adalah orang yang paling dini (bakr) memeluk Islam—di bandingkan dengan yang lainnya. 


Ali al-Tanthawy memiliki alasan berbeda mengapa dia diberi julukan Abu Bakar. Menurut al-Tanthawy, al-bakru bermakna unta yang masih muda. Julukan bakran menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan sosok pemimpin kabilah yang memiliki kedudukan yang sangat terpandang dan terhormat. Abdulullah dijuluki Abu Bakar karena kedudukannya yang terhormat di tengah Suku Quraisy, baik dari segi nasab maupun strata sosial.


Adapun gelar as-Siddiq, menurut pendapat yang masyhur, disematkan di belakang nama Abu Bakar setelah peristiwa Isra Mi’raj. Dia langsung membenarkan kisah Nabi Muhammad tentang Isra Mi’raj, sementara yang lainnya meragukannya—bahkan tidak mempercayainya.

 

Bagi mereka, Isra Mi’raj—perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, dan kemudian berlanjut ke Sidratul Muntaha dalam waktu satu malam- adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Akan tetapi, Abu Bakar mempercayai Nabi Muhammad dan semua khabar yang datang dari langit. Tanpa meragukan sedikit pun.


Menerima Islam tanpa ragu sedikit pun

Ketika Nabi Muhammad menyerukan ajaran Islam, Abu Bakar langsung menerimanya dengan tanpa ragu sedikit pun. Dia menjadi laki-laki pertama yang memeluk agama Islam—tentunya setelah Nabi Muhammad. Dalam satu hadits, Nabi Muhammad menyampaikan testimoni terkait dengan masuk Islamnya Abu Bakar tanpa adanya keraguan di dalamnya.


“Tidak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. Ia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya,” kata Nabi Muhammad.


Lantas apa yang menyebabkan Abu Bakar menerima Islam denga begitu mudahnya? Dalam Abu Bakar as-Siddiq (Muhammad Husain Haekal, 2004), Abu Bakar sudah sangat mengenal Nabi Muhammad. Kejujurannya, kelurusan hatinya, dan kejernihan pikirannya. Sehingga apa pun yang disampaikan Nabi Muhammad, ia mempercayainya dengan penuh kemantapan. Tidak ada keraguan dalam hatinya tentang Nabi Muhammad. 


Abu Bakar memang sudah mengenal Nabi Muhammad sebelum beliau diangkat menjadi seorang nabi dan rasul karena keduanya tinggal di kampung yang sama. Dia tinggal di sebuah kampung di Makkah di mana saudagar-saudagar kaya tinggal, termasuk Sayyidah Khadijah. Setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad juga tinggal di daerah itu. Dari situ, keduanya saling mengenal satu sama lainnya.


Di samping itu, Abu Bakar adalah seorang yang memiliki pandangan bahwa penyembahan berhala itu sebuah kebodohan dan kepalsuan belaka. Dalam Sirah Nabawiyah-nya, Ibnu Hisyam menggambarkan Abu Bakar sebagai orang yang sangat dan lembut terhadap kaumnya, jujur, memiliki kedudukan yang tinggi di tengah kaumnya, dan terhindar dari kebiasaan buruk kaum jahiliah seperti bermain wanita, minum minuman keras, dan lainnya. Seolah-olah Abu Bakar telah mengamalkan ajaran Islam, meskipun saat itu ajaran Islam belum diturunkan. Hal-hal itu juga yang membuat Abu Bakar mudah menerima Islam. 


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad