Sirah Nabawiyah

Belajar dari Keberhasilan Dakwah dan Perjuangan Rasulullah

Sel, 8 Juni 2021 | 15:45 WIB

Belajar dari Keberhasilan Dakwah dan Perjuangan Rasulullah

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Nabi Muhammad shalallhu ‘alaihi wasallam menghadirkan kebenaran Islam dengan akhlak mulianya sehingga Islam diterima oleh siapa pun. Nabi dan para pengikutnya juga tidak berperang dan memerangi. Perang yang dilakukan oleh Nabi dan umatnya dilakukan karena terlebih dahulu diperangi sehingga mempertahankan diri dan menjaga jiwa (hifzun nafs) dari serangan kaum musyrikin merupakan kewajiban agama.


Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam bukunya Secercah Tinta (2012) mengungkapkan tiga penopang keberhasilan dakwah Nabi Muhammad yang dinukil dari sebuah ayat Al-Qur’an:


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ 


Artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS At-Taubah: 128)


Dari ayat di atas, Allah SWT memperkenalkan dan menerangkan kedudukan Nabi Muhammad. Telah datang Rasul, utusan yang berasal dari manusia, bukan dari makhluk lain. Utusan Allah dari golongan manusia menunjukkan bahwa Muhammad bukanlah manusia sembarangan. Beliau adalah manusia pilihan yang luar biasa.

 


Lalu apa luar biasa atau keistimewaan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW? Pertanyaan ini terjawab dalam beberapa kalimat selanjutnya. Pertama, azizun ‘alaih ma’anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu). Karena sepanjang hayatnya, terutama yang dipikirkan oleh Nabi Muhammad adalah umatnya. Ia sama sekali tidak menginginkan umatnya menderita di hari kemudian.


Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan ketika Malaikat Izrail mendatangi Nabi Muhammad untuk mencabut nyawanya. Tentu saja perintah Allah tersebut terasa berat bagi Izrail untuk mencabut manusia yang paling dicintai Allah SWT. Di dalam obrolan sebelum mencabut nyawa Sang Nabi, Izrail memberikan kabar gembira tentang kesempurnaan dan kenikmatan surga bagi Rasulullah SAW.


Bukan malah bergembira, Nabi Muhammad justru teramat sedih dan menderita sehingga membuat Izrail bertanya-tanya. Nabi Muhammad berkata, “Lalu, bagaimana dengan umatku?” Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa Nabi tidak akan pernah membiarkan umatnya menderita meski merekalah yang membuat sengsara dirinya sendiri. Kondisi ini membuat berat terasa oleh Nabi Muhammad atas penderitaan umatnya.


Kedua, harishun ‘alaikum (sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu). Ini merupakan ungkapan cinta, kasih sayang sekaligus harapan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya.


Ketiga, bil mu’minina raufur rahim (amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin). Beliau memiliki rasa kasih sayang teramat mendalam pada kaum beriman.

 


Penulis buku Riyadhul Mu’min KH Zakky Mubarak (2021) mengungkapkan kunci keberhasilan perjuangan Nabi Muhammad sehingga perjuangannya mengantarkan umat manusia menuju peradaban yang tinggi.

 

Pertama, bersikap lemah lembut. Nabi Muhammad memiliki sifat yang lemah lembut terhadap sesama manusia, dan bersikap dengan akhlak yang luhur sehingga segala kegiatannya senantiasa memperhatikan tingkatan sosial dan pengetahuan lawan bicaranya, beliau senantiasa menyesuaikan diri. Terhadap keluarga dan masyarakat di sekitarnya selalu bersikap baik. Nabi katakan:


خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي (رواه الترميذي)


“Orang yang terbaik di antaramu adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarga, aku adalah orang yang paling baik di antaramu terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi, No: 3820).


Mengenai keluhuran akhlak Nabi, Sayidah Aisyah pernah ditanya para sahabat, beliau menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”.


Kedua, pemaaf terhadap sesamanya. Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak memaafkan terhadap orang lain, meskipun mereka membenci Nabi. Sikap yang mulia ini bisa kita ketahui, ketika beliau pergi ke Thaif untuk berdakwah beliau dilempari dengan batu. Nabi tidak membenci mereka malah beliau berdoa untuk mereka: “Wahai Allah tunjukilah kaumku karena sesungguhnya mereka belum mengetahui”.


Contoh lain, kita jumpai ketika beliau kembali ke Makkah, dan datang sebagai pemenang yang dulunya beliau diusir dari sana, dimusuhi dan dihina, akan tetapi beliau datang dengan memberikan pengampunan besar-besaran termasuk kepada musuh-musuhnya yang berencana membantai Nabi.

 


Ketiga, sangat kasih terhadap umatnya. Kasih sayang Nabi terhadap umatnya demikian besar, sehingga setiap saat beliau membantu mereka, berdoa untuk kesejahteraan dan memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka.


Keempat, bermusyawarah dalam segala urusan. Meskipun Nabi menerima wahyu dan bersifat ma’shum atau terpelihara dari perbuatan dosa, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam segala urusan. Tiada penyesalan bagi mereka yang bermusyawarah dan tidak ada musyawarah yang menimbulkan kerugian. 


Kelima, bertawakkal setelah berikhtiar. Nabi dan para sahabatnya senantiasa bertawakkal kepada Allah setelah berusaha dan berikhtiar semaksimal mungkin. Bertawakkal sebelum berikhtiar adalah sikap fatalistis yang dilarang Islam.


Manusia Muslim diperintahkan agar berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Demikian kerasnya perintah agar manusia Muslim berusaha, Umar bin Khattab pernah mengusir seseorang yang kerjanya hanya berdoa di masjid. Beliau berkata kepada orang itu: ”Tidak ada hujan uang dari langit”.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon