Sirah Nabawiyah

Alasan Islam Lahir di Semenanjung Arab

Sen, 21 Juni 2021 | 19:30 WIB

Alasan Islam Lahir di Semenanjung Arab

Ka'bah tempo dulu di Kota Makkah. (Foto: The Muslim Vibe)

Pertama kali Islam dikenalkan adalah di Semenanjung Arab, tepatnya di Mekah, salah satu kota yang berada di negara Arab Saudi. Pertanyaannya, mengapa Islam tidak diturunkan di wilayah lain? Apa keistimewaan kota Mekah sehingga menjadi kota yang pertama kali dijejaki agama Islam?


Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penting untuk diketahui, bahwa secara geografis posisi Semenanjung Arab berada di Asia Barat Daya pada persimpangan Afrika dan Asia. Secara politik, Semenanjung Arab terdiri dari sembilan negara, yaitu: Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Irak, dan Suriah. Secara spesifik, Islam pertama kali dijejakkan di Arab Saudi, tepatnya di Kota Makkah.


Untuk bisa menjawab mengapa Kota Makkah menjadi pijakan awal Islam, adalah dengan melihat kondisi sosial masyarakat bangsa Arab dan letak geografisnya, lalu dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang berada di sekitar Semenanjung Arab.


Sebelum Islam hadir, ada beberapa bangsa-bangsa di sekitar Semenanjung Arab yang terbilang sudah mapan, antara lain: Persia, Romawi, Yunani, dan India. Menurut Dr. Said Ramadhan al-Buthi, saat itu ada dua bangsa besar yang menjadi pusat peradaban dunia, yaitu Persia dan Romawi. Selain itu, ada juga Yunani dan India. (lihat al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 30)


Saat itu, di Persia menjadi hegemoni berbagai pandangan agama dan filsafat. Para penguasa di sana menganut aliran Zoroaster. Dalam aliran itu, salah satu ajarannya adalah setiap laki-laki dianjurkan untuk menikahi ibu, anak perempuan, atau saudara perempuannya. Bahkan, seorang raja yang berkuasa pada abad kelima Masehi, Raja Yazdajird, menikahi putri kandungnya sendiri. 


Selain aliran Zoroaster, ada juga kepercayaan Mazdakiyah. Kepercayaan ini tidak jauh berbeda dengan Zoroaster. Salah satu ajarannya adalah menghalalkan semua wanita dan harta. Mereka menganggap bahwa semua manusia adalah milik bersama. Sebagaimana air, api, dan harta. Pengikutnya pun tidak sedikit, mereka adalah dari orang-orang yang gemar mengumbar hawa nafsu.


Pada saat yang bersamaan, imperialisme Romawi tengah gencar melancarkan agresi militer ke bangsa-bangsa lain. Kerajaan besar ini terlibat dalam konflik berkepanjangan dengan kaum Nasrani Syria dan Mesir. Dengan kekuatan militer raksasa yang dimiliki, imperialisme mereka lancarkan ke penjuru dunia. Salah satu misinya adalah menyebarkan ajaran Kristen yang sudah dimodifikasi sesuai kepentingan mereka. Selain itu, Romawi juga tengah dilanda krisis ekonomi besar-besaran.


Sementara di Yunani, bangsa ini sedang terperangkap dalam hegemoni takhayul dan mitologi teologi yang menyibukkan penduduknya terus terlibat dalam perdebatan-perdebatan terkait isu-isu yang tidak bermanfaat.


Berikutnya, India. Sejak paruh awal abad keenam Masehi, India mengalami kemunduran di bidang agama, moral, dan sosial yang luar biasa. 


Menurut al-Buthi, faktor yang menyebabkan kemunduran berbagai bidang dan dekadensi moral bangsa-bangsa tersebut adalah karena peradabannya hanya dibangun di atas prinsip-prinsip materialistik, tanpa diimbangi dengan model ideal-leluhur yang mampu menuntun ke jalan yang lurus. Sementara kemajuan peradaban, lanjut al-Buthi, hanya bisa maju jika dibangun dengan akal sehat yang benar, yang tentunya tidak lepas dari wahyu ilahi. (lihat al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 31)


Apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di atas, jelas bertentangan dengan akal sehat yang lurus dan wahyu ilahi. Terbukti, berbagai instabilitas di berbagai bidang menjadi problem bangsa yang serius.


Di tengah-tengah hiruk-pikuk bangsa-bangsa sekitarnya, Semenanjung Arab masih dalam kondisi damai dan terhindar dari segala bentuk kekacauan yang terjadi di bangsa-bangsa sekitar. Bangsa Arab tidak sedang berada dalam kemewahan dan peradaban gemilang yang bisa mengakibatkan jatuh dalam kehancuran seperti bangsa Persia. Juga tidak diduduki oleh hegemoni paham yang menyebabkan dekadensi moral. 


Bangsa Arab juga tidak memiliki militer yang diktator seperti  Romawi, sehingga menjadi benalu bagi bangsa-bangsa lain. Bangsa Arab juga tidak dipengaruhi filsafat-dialektika seperti Yunani, sehingga terjebak dalam takhayul dan mitos. Dalam bahasa al-Buthi diungkapkan,


كانت طبائعهم أشبه ما تكون بالمادة (الخام) التي لم تنصهر بعد في أي بوتقة محولة


Artinya, “Pada saat itu, bangsa Arab tak ubahnya ‘bahan baku’ yang belum diolah dan diubah bentuk.” (lihat al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 31)


Dengan kondisi sosial yang masih murni inilah, masyarakat Arab masih tetap terjaga dalam fitrahnya. Dengan begitu, Nilai-nilai luhur masih menjadi basis kehidupan mereka, seperti kejujuran, martabat, suka menolong sesama, dan menjaga harga diri. Persoalan mereka terperangkap dalam kajahiliyahan, itu hanya karena belum ada ‘pelita ilahi’ yang menuntun mereka ke jalan yang lurus. 


Sehingga pada masa kegelapan jahiliyah itu, mereka terperangkap dalam paham yang sesat. Seperti rela membunuh anak-anak perempuan dengan dalih kehormatan. Rela berlebihan mengeluarkan harta hanya karena gila jabatan. Bahkan, mereka tega membunuh satu sama lain demi mempertahankan harga diri.


Oleh karena itu, Nabi Muhammad di utus di tengah-tengah mereka, membawa ajaran Islam sebagai penerang yang akan menuntun moral masyarakat bangsa Arab saat itu.


Dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman tentang kondisi bangsa Arab kala itu,


وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ

  
Artinya, “...dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 198)


Menurut al-Buthi, ayat di atas menunjukkan bahwa kesesatan mereka masih dimaklumi oleh Allah swt. Kesesatan mereka hanya karena kebodohan. Berbeda dengan kesesatan bangsa-bangsa lainnya; mereka terjerumus dalam kesesatan, padahal kondisi peradaban sudah sedemikian maju.


Selain pertimbangan moral, secara geografis Bangsa Arab juga lebih strategis untuk pijakan pertama agama Islam. Pasalnya, bangsa Arab berada di antara dua peradaban besar: Bangsa Barat yang materialis dan bangsa Timur yang didominasi spiritual-khayali seperti di India dan Cina.


Demikianlah, Semenanjung Arab dinilai lebih strategis untuk pijakan awal agama Islam, baik secara moral maupun geografis.

 

Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta