Shalawat/Wirid

10 Perbedaan Pendapat Ulama tentang Hukum Membaca Shalawat

Kam, 16 Mei 2019 | 06:30 WIB

Bagi seorang Muslim, membaca shalawat adalah sebuah amalan yang tak asing lagi. Hal ini sering kita lakukan terutama ketika nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disebut. Namun, para ulama sendiri ternyata tidak satu suara terkait hukum membaca shalawat. Para ulama berbeda pendapat terkait hukum membaca shalawat, apakah wajib, sunnah, ataupun mubah.
 
Ibn Ḥajar al-Asqalani (w. 852 H) menyebutkan bahwa para ulama tidak satu kata dalam memberikan hukum membaca shalawat. Ibn Ḥajar membagi perdebatan hukum shalawat ini menjadi sepuluh kelompok (lihat: Ibn Ḥajar al-Asqalânî, Fatḥ al-Bârî Syarḥ Shaḥiḥ al-Bukharî, (Beirut: Dâr al-Fikr, T.T), j. 11, h. 152.)
 
Kelompok pertama menyatakan bahwa hukum membaca shalawat adalah sunnah. Salah satu ulama yang mendukung pendapat ini adalah Ibn Jarir at-Thabari. At-Thabari menyebutkan bahwa pendapat ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. 
 
Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib tanpa ada batasan apa pun. Salah satu pendukung pendapat ini adalah Ibn al-Qishar. 
 
Ketiga, pendapat Abu Bakr al-Razi, salah satu ulama Hanafiyah, dan Ibn Ḥazm yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib, sebagaimana wajibnya kalimat tauhid, yang harus diucapkan pada waktu melakukan shalat wajib dan shalat sunnah. Pendapat ini juga didukung oleh al-Qurthubi dan Ibn ʽAthiyyah. 
 
Keempat, pendapat Imam al-Syafiʽi dan para pengikutnya, yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib, namun hanya pada waktu duduk di akhir shalat (duduk tahiyyat akhir), antara ucapan tasyahud dan salam. 
 
Kelima, pendapat al-Syaʽbi dan Ishaq ibn Rahawaih, yang menyebutkan bahwa hukum shalawat adalah wajib pada saat tasyahud shalat. 
 
Keenam, pendapat Abu Jaʽfar al-Baqir yang menyatakan bahwa hukum shalawat adalah wajib pada saat shalat tanpa batasan. Sehingga dalam pendapat ini shalawat bisa dibaca kapanpun, asalkan dalam keadaan shalat. 
 
Ketujuh, pendapat Abu Bakr bin Bukair, ulama Malikiyyah, yang menyebutkan bahwa diwajibkan memperbanyak shalawat tanpa batasan jumlah. 
 
Kedelapan, pendapat Imam al-Thahawi, Ibn ʽAraby, al-Zamakhsyari dan beberapa ulama lain, yang menyebutkan bahwa diharuskan membaca shalawat saat nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam disebutkan, ini sebagai bentuk kehati-hatian. Jadi saat ada yang menyebut nama Rasulullah kita diharuskan untuk membaca shalawat. 
 
Kesembilan, pendapat al-Zamakhsyari, yang menyebutkan bahwa wajib membaca shalawat satu kali di setiap majelis, walaupun dalam majelis itu, kita sering menyebut nama Rasulullah berulang-ulang. 
 
Kesepuluh, membaca shalawat diwajibkan dalam setiap doa yang kita panjatkan, hal ini juga disebutkan oleh al-Zamakhsyarî.
 
Perbedaan pendapat ini dipengaruhi oleh hadits-hadits yang dijadikan sebagai rujukan. Al-Ityûbi (l. 1366 H) misalnya, menyebutkan bahwa ia lebih menguatkan pendapat yang kedelapan (wajib saat disebutkan nama Rasulullah) karena didukung oleh sebuah hadits riwayat Abu Hurairah. 
 
Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Rasulullah bercakap-cakap dengan seorang laki-laki yang merupakan perwujudan dari Jibril. Saat itu Jibril berkata kepada Rasulullah bahwa jika ada orang yang mendengar nama Rasulullah disebut, tapi ia tidak bershalawat kepada Rasul, maka ketika ia meninggal dunia, ia masuk neraka. Hadits ini bisa ditemukan dalam kitab Sahih Ibn Hibban. (Lihat: Muhammad ibn Ḥibbân, Shaḥîḥ Ibn Hibbân, [Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993], j. 2, h. 140.) 
 
Al-Ityubi berpendapat bahwa ancaman neraka yang diberikan oleh Jibril dan diaminkan oleh Rasul menunjukkan bahwa hal itu akan diberikan kepada orang yang meninggalkan kewajiban. Artinya, membaca shalawat, dalam hadits tersebut, wajib ketika nama Rasulullah disebutkan. (Muhammad ibn ʽAlî ibn Adam al-Ityûbî, Dakhîrah al-Uqbâ fi Syarḥ al-Mujtabâ, (T.K: Dâr Alî Barûm, 2003), j. 15, h. 149.)
 
Imam al-Syafi’i yang memiliki pendapat berbeda, yaitu memilih pendapat yang keempat dalam pembagian Ibn Ḥajar, juga mendasarkan argumentasinya pada sebuah hadits lain riwayat Abu Mas’ud al-Badri,
 
أَقْبَلَ رَجُلٌ حَتَّى جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَنَحْنُ عِنْدَهُ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَمَّا السَّلاَمُ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ ، فَكَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ إِذَا نَحْنُ صَلَّيْنَا فِي صَلاَتِنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْكَ ؟ قَالَ : فَصَمَتَ حَتَّى أَحْبَبْنَا أَنَّ الرَّجُلَ لَمْ يَسْأَلْهُ ، ثُمَّ قَالَ : إِذَا أَنْتُمْ صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَقُولُوا : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
 
Artinya, “Seorang laki-laki menghadap Rasul Saw hingga ia duduk di depan Rasulullah Saat itu kami (para sahabat) berada di sampingnya. Kemudian laki-laki itu bertanya, “Wahai Rasulullah Adapun salam kepadamu kami sudah tahu. Lalu bagaimana dengan shalawat kepadamu saat kami melakukan shalat?” Rasul kemudian diam, hingga kami menyukai sesungguhnya laki-laki itu tidak bertanya (lagi) kepada Rasulullah Rasul kemudian menjawab, “Ketika kalian membaca shalawat kepadaku, maka ucapkanlah: “Ya allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya karena engkau memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Penyayang Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya karena engkau memberi shalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya engkau Maha Terpuji lagi Maha Penyayang. (Lihat: Abu Bakr al-Bayhaqi, Sunan al-Bayhâqî, [Heyderbad: Majelis Dairah al-Maʽârif, 1344 H], j. 2, h. 378.) Selain al-Bayhaqi, beberapa ulama juga meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya, seperti: Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, al-Daruqutni, dan Imam Ahmad.
 
Sighat amar dalam hadits di atas, dijadikan sebagai dalil kewajiban mengucapkan shalawat pada saat shalat. Mengingat konteks pertanyaan yang disampaikan seorang laki-laki dalam hadits di atas adalah shalawat dalam keadaan shalat, bahkan Imam al-Syafii, sebagaimana disebutkan Ibn ʽAbd al-Bar, bahwa tanpa mengucapkan shalawat di tasyahud akkhir, maka diwajibkan untuk mengulangi shalat. (Lihat: Ḥamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarḥ Muḥtaṣar Shaḥiḥ al-Bukharî, [Damaskus: Dâr al-Bayân, 1990], j. 5, h. 67.)
 
Hadits ini, oleh al-Qurthûbî dijadikan sebagai penjelas (tafsir) atas firman Allah subhanahu wata'ala surat al-Ahzab: 56: 
 
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا
 
Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab: 56).
 
Al-Qurthubî menyebutkan, karena anjuran shalawat dalam ayat ini hanya disebutkan secara umum, maka hadits di atas menjadi penafsirnya. (Lihat: Al-Qurthubî, al-Jâmi’ li-Aḥkâm al-Qur’ân, [Kairo: Dar Kutub al-Miṣriyyah, 1964], j. 14, h. 234.)
 
Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan 10 kelompok di atas, sudah selayaknya kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw. selalu membaca dengan istiqamah shalawat kepadanya. Bukan karena hukumnya, baik wajib atau sekedar sunnah, tapi lebih kepada penghormatan kita kepada Nabi Agung Muhammad Saw. yang mulia akhlaknya serta pemberi syafaat kita kelak di hari kiamat. Wallahu a’lam
 
 
Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah