Syariah

Tata Cara Shalat dengan Posisi Duduk di Kursi

Kam, 16 April 2020 | 03:00 WIB

Tata Cara Shalat dengan Posisi Duduk di Kursi

Ulama tidak memberikan ketentuan perihal posisi duduk pengganti rukun berdiri sehingga seseorang boleh duduk di kursi.

Sering kita jumpai di masjid-masjid sebagian jamaah yang menderita sakit melaksanakan shalat dengan duduk di atas kursi. Orang yang sedang sakit sehingga tidak mampu berdiri dapat melaksanakan shalat dengan duduk sesuai petunjuk  Nabi Muhammad SAW:
  
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ رواه البخاري

Artinya, “Diriwayatkan dari Ibnu Buraidah, dari Imran bin Hushain RA, ia berkata, ‘Aku menderita penyakit wasir, lalu aku bertanya tentang shalat (dalam kondisi sakit) kepada Nabi SAW, kemudian beliau menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri, bila tidak mampu maka dengan duduk, dan bila tidak mampu maka dengan tidur miring,’” (HR Al-Bukhari Jamius Shahih Bukhari, [Kairo, Mathba’ah Al-Amiriyyah: 1286 H], 4/377).

Hadits di atas merupakan penjelasan terhadap firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 286, yaitu:

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

Artinya, “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuanya.”

Duduk sebagai pengganti rukun qiyam (berdiri), bagaimana praktik yang benar? Sakit yang bagaimana seseorang sudah diperbolehkan mengganti berdiri dengan duduk ?

Mengingat shalat tetap wajib dilakukan sepanjang kesadaran masih sehat, maka seseorang yang tidak mampu melakukanya sebagaimana mestinya tidak berarti boleh meninggalkan shalat. Oleh sebab itu terkait dua pertanyaan di atas, para fuqaha (ulama ahli fiqih) telah merumuskanya secara detail. Siapapun yang shalat dengan posisi duduk tentu harus mengikuti rumusan para ulama ahli fiqih sehingga dengan demikian ibadah kita terbimbing oleh ahlinya.

Batasan kebolehan shalat dengan posisi duduk didasarkan pada masyaqqat syadidah (kesulitan berat) yang dirasakan yaitu kesulitan yang pada umumnya seseorang tidak sanggup menanggung/menahan, walau kesulitan itu belum mencapai batas uzur kerbolehan bertayammum.

Mengenai masyaqqat syadidah para ulama berbeda pendapat:

1. Menurut Ibnu Hajar tidak sekadar masyaqqat yang menghilangkan kekhusyukan bahkan harus lebih dari itu.

2. Menurut Muhammad Ramli adalah masyaqqat yang sudah sampai menghilangkan kekhusyukan.

3. Menurut As-Syarqawi adalah masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyuk.

قوله (فَإنْ لَمْ يَقْدرْ) عَلىَ الْقيَام بأنْ لَحقَتْهُ به مَشَقةٌ شَديْدَةٌ أوْظَاهرَةٌ عبَارَتَان مَعْنَاهُمَا وَاحدٌ وَهيَ التيْ لاَ تُحْتَمَلُ عَادةً وَإنْ لمْ تُبح التيمُمَ كدَوَرَان رْأس وَهَلْ التيْ تذهبُ الخُشُوْعَ شَديدَةٌ ؟ قَالَ (حج) لاَ و (مر) نَعَمْ بَلْ قاَلَ الشرْقاَويْ أوكَمَالَهُ ( قَعَدَ) كَيْفَ شَاءَ وَلاَ يَنْقُصُ ثَوَابَه

Artinya, “Lalu apabila seseorang tidak kuasa berdiri dengan gambaran sampai timbul masyaqqat syadidah atau zhahirah (kesulitan berat atau yang jelas)–dua ungkapan yang berbeda tetapi maksudnya sama–, yaitu kesulitan yang pada umumnya tidak dapat ditahan walaupun tidak sampai –uzur–membolehkan tayamum seperti rasa berputar-putar pada kepala (kliyeng-kliyeng, mumet). Apakah maksud masyaqqat syadidah itu adalah yang menghilangkan kekhusyukan? Ibnu Hajar berkata, ‘bukan;’ Muhammad Ramli berkata, ‘iya;’ bahkan As-Syarqawi berkata, masyaqqat yang menghilangkan kesempurnaan khusyu, maka seseorang boleh shalat duduk dengan cara apa saja yang ia inginkan dan tidak mengurangi pahala berdiri,”  (Busyra al-Karim bi Syarh Masail al-Ta’lim, halaman 200).

Adapun khusyuk memiliki keragaman definisi, antara lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

اْلخُشُوْعُ فِي الصَّلاَةِ هُوَجَمْعُ اْلهِمَّةِ وَاْلِإعْرَاضُ عَمَّا سِوَى اللهِ وَالتَّدَبُّرُ فِيْمَا يَجْرِيْ عَلىَ لِسَانِهِ مِنَ اْلقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ 

Artinya, “Khusyu dalam shalat yaitu memusatkan perhatian, berpaling dari selain Allah, dan merenung terhadap apa yang dibaca oleh lisanya baik bacaan (al-Qur’an) dan zikir,” (Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowi, Tafsir Al-Baghowi, [Dar Thaibah, 1417 H/1997 M], juz V, halaman 409).

Ulama tidak memberikan ketentuan perihal posisi duduk pengganti rukun berdiri sehingga seseorang boleh duduk di kursi, namun yang utama adalah duduk iftirasy (duduk sebagaimana tasyahhud awwal). Harus dimengerti bahwa duduk adalah penganti rukun berdiri sehingga posisi duduk hanya boleh dilakukan di saat benar-benar merasakan masyaqqat jika shalat dengan posisi berdiri.

Orang yang shalat duduk di atas kursi, tetapi masih mampu rukuk dan sujud sebagaimana mestinya wajib melakukan rukuk dan sujud sehingga rukuk dan sujud tidak cukup hanya isyarat membungkuk dengan tetap duduk di kursi.

Bahkan jika duduk di lantai dengan posisi apapun, ia malah mampu melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna. Tetapi jika duduk di kursi tidak dapat turun dari kursi untuk sujud di lantai, maka ia wajib duduk di lantai dan tidak diperbolehkan duduk di kursi.

Kewajiban duduk di lantai berlaku bagi orang yang dapat melakukan sujud dengan sempurna dengan alasan tidak mampu bangun untuk berdiri agar dapat duduk di kursi sebab bagi dia duduk di kursi justru malah meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna).

Jadi orang yang terakhir ini disebut meninggalkan rukun asli (sujud dengan sempurna) demi mendapatkan posisi rukun pengganti (duduk di kursi), padahal antara duduk di kursi dan di lantai tidak berbeda, sebab keduanya sama-sama rukun pengganti berdiri.

فَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ وَهَكَذَا

Artinya, “Lalu jika seseorang mampu berdiri sampai kadar bacaan Al-Fatihah, kemudian lemah (tidak mampu) dalam kadar bacaan surat, maka ia wajib berdiri sampai bacaan Al-Fatihah-nya sempurna, kemudian duduk ketika membaca surat, kemudian berdiri lagi untuk melakukan rukuk dan seterusnya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyyah Kubro: 1357 H/1983 M], juz II, halaman 21).

Al-Haitami menambahkan, apabila seseorang mampu berdiri namun tidak mampu rukuk dan sujud dari posisi berdiri sebab menderita sakit di punggung yang mencegahnya membungkuk, maka ia tetap wajib berdiri sekalipun dengan bantuan orang lain bahkan walaupun dengan posisi miring ke samping, bahkan walaupun dengan membukuk mendekati batas posisi rukuk menurut pendapat yang zhahir.

Menurutnya, untuk rukuk dan sujud ia dapat melakukannya sesuai kadar kemampuan yaitu berusaha dengan semampunya membungkukkan punggung, leher, kepala kemudian pandangannya, karena atas dasar kaidah “Sesuatu yang masih mampu dilakukan tidaklah begitu saja gugur sebab sesuatu yang sukar dilakukan.”

Adapun seseorang yang hanya mampu rukuk saja, lakukanlah dengan berulang-ulang atas nama rukuk dan sujud, lalu jika masih mampu melakukan (membungkuk) melebihi rukuk yang sempurna, maka jadikanlah posisi lebih membungkuk itu sebagai rukun sujud guna membedakan antara rukuk dan sujud.

Cara shalat di atas (tetap berdiri dengan rukuk dan sujud semampunya) tidak berlaku untuk orang yang mampu melakukan rukuk dan sujud jika shalat dengan duduk, maka ia wajib shalat duduk dengan melakukan rukuk dan sujud secara sempurna, bukan shalat berdiri dengan rukuk dan sujud secara isyarat sebagaimana pendapat yang dikuatkan sebagian ulama, alasannya bahwa perhatian Syari’ (Allah) terhadap kesempurnaan rukuk dan sujud adalah di atas perhatian-Nya terhadap berdiri dengan bukti bahwa rukun berdiri menjadi gugur (tidak wajib) dalam shalat sunnah dan tidak demikian halnya rukuk dan sujud (tetap wajib dalam shalat sunnah),” (Al-Haitami, 1357 H/1983 M: II/20-23).
 

KH Ahmad Asyhar Shafwan, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur.