Syariah

Serdawa ketika Shalat, Batalkah?

Sab, 19 Januari 2019 | 02:00 WIB

Serdawa ketika Shalat, Batalkah?

(Foto: @alray.ps)

Serdawa adalah bunyi yang keluar dari kerongkongan, biasanya apabila masuk angin atau sesudah makan kenyang. Dalam bahasa yang tidak baku, sehari-hari biasanya disebut dengan istilah "sendawa". Suara tersebut terkadang terjadi saat shalat, terlebih setelah melahap makanan. Pertanyaannya kemudian, batalkah orang yang berserdawa di tengah shalatnya?

Salah satu yang harus dihindari ketika shalat adalah berbicara yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi:

إن هذه الصلاة لا يصلح فيها شيء من كلام الناس

Artinya, “Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia.” (HR Muslim).

Para ahli fiqih Syafi’iyyah merumuskan bahwa standar pembicaraan yang dapat membatalkan shalat adalah terucapnya satu huruf yang memahamkan atau dua huruf meski tidak memahamkan. Contoh satu huruf yang memahamkan adalah “Qi” yang berarti “Jagalah”. 

Standar tersebut juga berlaku dalam persoalan serdawa. Secara umum, serdawa bisa membatalkan shalat bila sampai memperlihatkan satu huruf yang memahamkan atau dua huruf meski tidak memahamkan. Bila tidak memperlihatkan huruf yang betul-betul jelas, semisal hanya suara-suara samar yang tidak jelas makhrajnya, maka tidak membatalkan secara mutlak, baik sedikit atau banyak, sengaja atau tidak sengaja. Syekh Zakariyya Al-Anshari menegaskan:

و سابعها (ترك نطق) عمدا بغير قرآن وذكر ودعاء على ما سيأتي (فتبطل بحرفين) أفهما أو لا كقم وعن (ولو في نحو تنحنح) كضحك وبكاء وأنين ونفخ وسعال وعطاس فهو أعم مما عبر به (وبحرف مفهم) كق من الوقاية وإن أخطأ بحذف هاء السكت (أو) حرف (ممدود) لأن المدة ألف أو واو أو ياء

Artinya, “Yang ketujuh adalah meninggalkan ucapan secara sengaja dengan selain al-Qur’an, zikir, doa sebagaimana keterangan yang akan dijelaskan. Maka shalat batal dengan terucapnya dua huruf, baik memahamkan atau tidak, seperti kata ‘Qum’ (berdirilah) dan ‘‘An’. Ketentuan batal tersebut juga berlaku dalam persoalan semisal berdehem seperti tertawa, menangis, merintih, meniup, batuk dan bersin. Redaksi ini lebih umum dari pada redaksi yang disampaikan kitab asal (Minhaj al-Thalibin). Dan batal dengan mengucapkan satu huruf yang memahamkan seperti kata ‘Qi’ (jagalah), meski terdapat kesalahan dengan membuang ha’ saktah. Demikian pula batal dengan satu huruf yang dibaca panjang, karena huruf mad adalah alif, wawu atau ya,’” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaan 243).

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

والظاهر أن المراد ظهر بكل مرة من التنحنح ونحوه حرفان فأكثر لأن الصوت الغفل لا عبرة به كما صرح بذلك وفي كلامه ولو نهق كالحمار أو صهل كالفرس أو حاكى شيئا من الطيور ولم يظهر من ذلك حرف مفهم أو حرفان لم تبطل صلاته وإلا بطلت ح ل

Artinya, “Pendapat yang unggul bahwa dari berdehem dan semisalnya memperlihatkan dua huruf atau lebih. Karena suara yang tidak dikenal tidak dianggap sebagaimana dijelaskan oleh sang pengarang. Dan dalam statemennya, bila mushalli bersuara seperti suara keledai atau meringkik seperti suara kuda atau menceritakan satu dari beberapa suara burung dan tidak memperlihatkan satu huruf yang memahamkan, atau dua huruf, maka tidak batal shalatnya. Bila tidak demikian, maka batal,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarhi Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).

Serdawa yang memperlihatkan minimal satu huruf yang memahamkan atau dua huruf meski tidak memahmkan, tidak membatalkan shalat bila disertai udzur. Uzur yang dimaksud berkisar pada dua hal. Pertama, karena untuk memudahkan bacaan yang wajib di dalam shalat. Bacaan yang diwajibkan dalam shalat meliputi Surat al-Fatihah, tahiyyat akhir dan salam. Semisal, saat membaca surat Al-Fatihah, mushalli sulit mengeluarkan bunyi suaranya bila tidak berserdawa, maka boleh baginya untuk berserdawa, sekalipun menampakan banyak huruf. Namun menurut Al-Imam Al-Qamuli dalam Kitab Al-Jawahir, kebolehan serdawa tersebut dibatasi dengan batas kewajaran, tidak terlalu menampakan banyak huruf.

Dikecualikan dengan bacaan wajib, yaitu bacaan sunah. Seperti membaca surat, tahiyyat awal, doa qunut, membaca keras dan lain-lain. Bila serdawa dapat memperlihatkan semisal dua huruf, maka membatalkan. Sebab bacaan tersebut bukan termasuk kewajiban, sehingga tidak ada keterdesakan untuk berserdawa.

Syekh Zakariyya Al-Anshari menegaskan:

ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي ) لا لتعذر غيره كجهر ؛ لأنه ليس بواجب فلا ضرورة إلى التنحنح له

Artinya, “Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, bukan sulitnya bacaan lainnya, seperti anjuran membaca keras, karena hal tersebut tidak wajib, maka tidak ada keterdesakan untuk berdehem,” (Lihat Syekh Zakariyya al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245).

Mengomentari referensi di atas, Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan:

قوله (ولا بتنحنح لتعذر ركن قولي) وظاهر صنيعه وإن كثر التنحنح وظهر بكل واحدة حرفان فأكثر ثم رأيت شيخنا قال نعم التنحنح للقراءة الواجبة لا يبطلها وإن كثر خلافا لما في الجواهر ولو غلب عليه الضحك وبان منه حرفان لم تبطل 

Artinya, “Ucapan Syekh Zakariyya, Dan tidak batal disebabkan berdehem karena sulitnya mengucapkan rukun qauli, Zhahir dari ucapannya, meskipun berdehem dilakukan sering dan masing-masing dapat memperlihatkan dua huruf atau lebih. Kemudian aku melihat guruku berkata. Ya, memang demikian. Berdehem untuk bacaan yang wajib tidak membatalkan shalat meski banyak, berbeda menurut keterangan dalam kitab al-Jawahir (karya Imam Al-Qamuli),” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarh Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).

Kedua, ketika tidak bisa dihindari (ghalabah). Mushalli yang tidak kuasa menahan serdawanya, tidak dapat membatalkan shalat meski memperlihatkan dua huruf atau lebih. Namun hal tersebut dibatasi dengan taraf kewajaran. Sehingga bila huruf yang terucap telampau banyak, maka dapat membatalkan. Standar sedikit dan banyaknya huruf dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan) yang berlaku.

Syekh Zakariyya Al-Anshari mengatakan:

ـ (ولا بقليل نحوه ) أي : نحو التنحنح من ضحك ، وغيره ، ( لغلبة ) ، وخرج بقليله ، وقليل ما مر كثيرهما ؛ لأنه يقطع نظم الصلاة ، الى ان قال وتعرف القلة ، والكثرة بالعرف

Artinya, “Dan tidak batal disebabkan sedikitnya berdehem, tertawa dan lainnya, ketika terdesak. Dikecualikan dengan sedikitnya berdehem dan semisalnya, yaitu banyaknya berdehem dan semisalnya, karena hal tersebut dapat memutus rangkaian shalat. Sedikit dan banyaknya berdehem diketahui dengan ‘urf (kebiasaaan),” (Lihat Syekh Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab Hamiys Hasyiyat Bujairimi ‘alal Wahhab, juz I, halaman 245).

Bila seseorang tidak dapat menghindarkan serdawa yang membatalkan, menurut Al-Imam Al-Halabi, sebagaimana dikutip Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, ia wajib menunda shalatnya hingga menemukan waktu yang dapat terhindari dari serdawa, meski harus menunggu sampai akhir waktu shalat, asalkan masih menemukan shalat di dalam waktunya.

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan sebagai berikut:

ولو كان له حالة يخلو فيها عن ذلك وهي تسع الصلاة قبل خروج وقتها وجب عليه انتظارها ولو آخر الوقت ا هـ ح ل 

Artinya, “Dan bila seseorang menemukan kondisi yang sunyi dari berdehem dan sejenisnya dan memuat shalat sebelum keluar waktu, maka wajib ditunggu meski sampai akhir waktu. Keterangan dari Imam al-Halabi”. (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘ala Syarh Manhajit Thullab, juz I, halaman 245).

Demikian penjelasan mengenai hukum serdawa ketika shalat. Simpulannya, dalam kondisi tidak ada udzur, serdawa dapat membatalkan shalat bila sampai memperlihatkan suara huruf yang terang, minimal satu huruf yang membatalkan atau dua huruf meski tidak membatalkan. Faktanya, serdawa yang sering terjadi tidak sampai memperlihatkan huruf hijaiyyah yang terang, sehingga tidak membatalkan shalat. 

Bila melihat pertimbangan keutamaan, sebisa mungkin, agar serdawa dihindari saat shalat agar ia bisa lebih khusyuk ketika shalat. Hendaknya mushalli memulai shalat dalam kondisi yang tenang dan terbebas dari serdawa sehingga tidak rawan terjadi serdawa yang membatalkan shalat.


(Ustadz M Mubasysyarum Bih)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua