Syariah

Pentingnya Khusyuk dalam Wudhu agar Khusyuk dalam Shalat

Jum, 13 April 2018 | 09:30 WIB

Pentingnya Khusyuk dalam Wudhu agar Khusyuk dalam Shalat

Ilustrasi (via Forbes)

Kajian tata cara shalat khusyuk sudah sering dibahas di berbagai forum. Iya, kajian itu memang tepat dan bahkan seharusnya dipelajari setiap Muslim. Secara normatif, bobot shalat seseorang ditakar dengan seberapa khusyuk atau konsentrasinya dalam shalat. 

Shalat yang tidak disertai dengan khusyuk  adalah ibarat tong yang tidak ada isinya sama sekali. Apabila dilihat dari luar tampak tong dengan berdiri tegar. Namun tong tersebut ternyata kosong. Artinya, tidak ada ruhnya. Sedangkan nyawa shalat itu adalah kekhusyukan. Semakin khusyuk, berarti shalat seseorang semakin berbobot. 

Baca: Mengapa Harus Khusyuk?
Salah kaprah juga jika ada orang yang kemudian menjawab, isi lebih penting dari pada tong, maka tong tidak diperlukan sehingga tong bisa dibuang. Meskipun ada orang yang bisa berkonsentrasi mengingat Allah tanpa harus menjalankan shalat lalu menjadikan ia boleh meninggalkan shalat, ini  jelas tidak tepat. Pemahaman tersebut bertentangan dengan ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam

Selama hidup, setelah Rasul mendapatkan wahyu menjalankan shalat, beliau tak pernah sekalipun meninggalkannya kecuali shubuh tanggal 27 Rajab setelah malam Isra' Mi'raj. Sebab malaikat Jibril belum mengajarkan tatat cara melaksanakan shalat. 

Dengan demikian, Rasulullah pemilik kualitas khusyuk paling sempurna saja masih tetap  melaksanakan shalat, apa lagi umatnya? 

Sungguh beruntung orang yang diberikan Allah subhânahȗ wa ta'âlâ sebuah karunia bisa menjalankan shalat dan sekaligus bisa menjalankannya dengan khusyuk. Allah berfirman: 

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ 

Artinya: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka." (QS Al Mu'minun: 1-2). 

Baca: Kiat Khusyuk Sembahyang Menurut Imam al-Ghazali
Sebagaimana kita ketahui, target utama perintah Allah saat Nabi Muhammad diisra'-mi'râj-kan adalah pemberian tugas menjalankan shalat lima waktu. 

Dengan adanya perintah shalat ini, baru kemudian ada syarat rukun shalat yang wajib dipenuhi. Di antaranya adalah, orang yang akan menjalankan ritual ibadah shalat harus suci dari hadats. Sehingga di sini terjadi hubungan sebab-akibat, orang yang wudhu, mandi dan tata-cara bersucinya sah, akan berdampak shalat yang sah. Begitu pula sebaliknya. Orang yang wudhunya tidak sah, akan menyebabkan shalat tidak sah. 

Abi Said Al Khudri pernah mendengarkan hadits dari Rasulullah yang menyatakan bahwa bersuci merupakan kuncinya shalat. Jika wudhu yang jadi kuncinya saja tidak tepat, maka shalatnya otomatis terkena dampaknya. 

Demikian ilustrasi korelasi antara wudhu dengan shalat dilihat dari sisi ibadah lahiriah (fisik). 

Adapun secara batiniah, Imam asy-Sya'rani menyatakan, konsentrasi dalam shalat ditentukan sesuai kadar kekhusyuan hati seseorang dalam wudhunya. Dan ini memang sudah terbukti.

وقال الامام الشعرانى: الحضور فى الصلاة بقدر الحضور فى الوضوء وقد جرب  ذلك. 

Artinya: "Imam asy-Sya'rani berkata hudlȗr (hadirnya hati) dalam shalat sesuai dengan kadar hudlȗr dalam wudhu. Dan ini sungguh telah diujicobakan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Abwâb al-Faraj, Dârul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1971, halaman 12)

Dengan demikian, dapat disimpulkan, wudhu mempunyai peranan penting dalam shalat seseorang. Jika wudhunya tidak sah, mengakibatkan shalat tidak sah. Tidak cukup demikian, jika wudhu tidak khusyuk, shalat seseorang juga tidak akan bisa mencapai derajat khusyuk. Wallahu a'lam(Ahmad Mundzir)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua