Syariah

Kategori dan Pembagian Waktu Shalat Sunah

Sab, 3 Februari 2018 | 10:02 WIB

Kategori dan Pembagian Waktu Shalat Sunah

(© ibtimes.co.uk)

Dalam studi fiqih, sebagaimana yang disebutkan Syekh Abu Muhammad Mahmud dalam kitab Al-Binâyah Syarhul Hidayah (terbitan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, juz II, 2000 M, halaman 141), shalat sunah atau shalat di luar shalat fardlu dapat dikategorikan menjadi dua kategori. Pertama, yang berkaitan dengan waktu. Kedua, yang berkaitan dengan sebab.

Dalam konteks ini, shalat sunah rawatib, shalat tahajud, shalat witir, shalat dluha, tak terkecuali shalat tarawih, shalat sunah idul fitri, dan idul adlha, termasuk ke dalam kategori pertama karena harus ditunaikan pada waktunya. Sedangkan shalat sunah hajat, shalat istikharah, shalat istisqa, shalat gerhana, shalat jenazah, termasuk ke dalam kategori berikutnya karena yang ditunaikan setelah ada sebab tertentu.

Selanjutnya, shalat sunah atau shalat di luar shalat fardlu yang berkaitan dengan sebab juga terbagi lagi menjadi tiga. Pertama, shalat sunah karena sebab mutaqddim (sebab yang mendahului), seperti shalat sunah tahiyatul masjid dan shalat sunah wudlu. Kedua, shalat sunah karena sebab muqarin (sebab yang membarengi), seperti shalat sunah istisqa dan shalat sunah gerhana. Ketiga, shalat sunah karena sebab muta’akhir (sebab yang muncul belakangan), seperti shalat istikharah dan shalat tobat.

Pandangan para ulama Syafi‘i yang dikutip Syekh ‘Abdurrahman bin Muhammad ‘Audh Al-Jaziri dalam bukunya menegaskan hal itu:

أما الصلاة التي لها سبب متقدم عليها كتحية المسجد وسنة الوضوء، وركعتي الطواف، فإنها تصح بدون كراهة في هذه الأوقات لوجود سببها المتقدم، وهو الطواف، والوضوء، ودخول المسجد، وكذا الصلاة التي لها سبب مقارن، كصلاة الاستسقاء، والكسوف، فإنها تصح بدون كراهة أيضاً لوجود سببها المقارن، وهو القحط، وتغيب الشمس؛ أما الصلاة التي لها سبب متأخر كصلاة الاستخارة والتوبة، فإنها لا تنعقد لتأخير سببها

Artinya, “Adapun shalat sunah yang memiliki sebab mutaqaddim (sebab yang mendahului), seperti shalat tahiyatul masjid, shalat sunah wudlu, dan dua rakaat thawaf, adalah sah tanpa makruh dilakukan pada waktu-waktu terlarang, karena adanya sebab yang mendahului, yaitu thawaf, wudlu, dan masuk masjid. Demikian pula shalat yang memiliki sebab muqarin (sebab yang membarengi), seperti shalat istisqa dan shalat kusuf atau gerhana, juga sah dilakukan pada waktu terlarang karena ada sebab yang menyertai, yaitu kekeringan dan menghilangnya matahari. Sementara shalat sunah yang memiliki sebab mutaakhir (sebab yang muncul belakangan), seperti shalat sunat istikharah dan shalat sunah tobat tidak sah karena belakangannya sebab,” (Lihat Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba‘ah, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, cetakan kedua, 2003 M, juz I, halaman 336).

Dengan demikian, shalat sunah gerhana, shalat istisqa, shalat jenazah, shalat tahiyatul masjid, dan shalat syukrul wudlu tergolong ke dalam kategori pertama dan kedua. Semua shalat itu memiliki sebab mutaqadim dan muqarin sehingga boleh ditunaikan kapan saja, bahkan pada waktu-waktu terlarang sekalipun. Sedangkan shalat sunat hajat, shalat istikharah, shalat tobat, dan shalat tasbih—kendati shalat tasbih ini tidak bergantung pada sebab dan waktu—tergolong ke dalam kategori ketiga karena memiliki sebab muta’akhir sehingga tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang, yakni:

1. Setelah shalat subuh hingga terbit matahari.

2. Saat terbit matahari hingga ia naik kira-kira satu tumbak.

3. Saat matahari tepat di atas langit (istiwa) hingga ia tergelincir ke arah barat.

4. Setelah shalat ashar hingga terbenam matahari.

5. Saat matahari terbenam dan berwarna kekuningan hingga ia terbenam sempurna.

Dari ulasan di atas, jelaslah bahwa shalat hajat, shalat istikharah, dan shalat tobat termasuk shalat sunah yang memiliki sebab muta’akhir dan waktu pelaksanaannya cukup longgar sehingga tidak mengakibatkan cepat hilangnya sebab jika tidak segera dijalankan. Karenanya, shalat-shalat sunah tersebut dapat dilakukan kapan saja, baik siang maupun malam, selama tidak dalam waktu terlarang sebagaimana yang disebutkan di atas.

Hanya saja, demi menuai keutamaan untuk shalat-shalat tertentu, seperti shalat hajat dan istikharah, yang keduanya menyangkut permohonan seorang hamba ke hadirat Allah, maka waktu malam terutama sepertiganya merupakan waktu terbaik berdasarkan beberapa hadits. Wallahu a’lam. (M Tatam Wijaya)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua