Syariah

Batasan dan Ketentuan Aurat dalam Shalat

Jum, 3 November 2017 | 00:30 WIB

Salah satu syarat sah shalat adalah menutup aurat. Seseorang yang hendak melaksanakan shalat, baik fardhu ataupun sunnah, perlu mengetahui dengan detail batasan tubuh bagian mana saja yang merupakan aurat yang harus ditutupi.


Sebelum membahas batasan aurat, kita simak terlebih dahulu penjelasan Syekh Said bin Muhammad Ba’ali al-Hadrami dalam kitab Busyra al-Karîm (Jeddah: Dar al-Minhâj, 2004), hal. 262, tentang apa itu aurat:

و (العورة) لغة: النقص، والشيء المستقبح، وسمي المقدار الآتي بها؛ لقبح ظهوره. وتطلق شرعاً: على ما يحرم نظره،

“Secara etimologis, aurat berarti kurang, sesuatu yang menjijikan, dan terkadang sesuatu yang dianggap jijik akan dinamai dengan “aurat” karena dianggap jelek untuk diperlihatkan. Dalam terminologi syara’, aurat berarti sesuatu yang haram untuk dilihat.”

Dalam bab shalat, batasan aurat secara syara’ bisa kita lihat penjelasannya pada penuturan Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarîb (Surabaya: Kharisma, tt), hal. 12:

وعورة الذكر ما بين سرته وركبته، …؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا وبطنا إلى الكوعين؛

“Aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut,.. dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.”

Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga lutut. Demikian ini menurut kepatutan syariat. Namun demikian, ada kepatutan yang lain yang mesti diperhatikan, yakni kepatutan adab atau kesopanan. Maka bagi lelaki seyogianya menggunakan pakaian yang memenuhi standar syariat dan kesopanan. Adapun perempuan, ketika shalat harus menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

Sudut pandang ketertutupan aurat ini ialah ketika tak terlihat dari sisi atas dan seputarnya (kanan, kiri, depan dan belakang), bukan dari sisi bawah. Sehingga, bila aurat terlihat dari bawah seperti terlihat dari bawah saat sujud atau yang lainnya, hal tersebut tidak menjadi masalah, sebagaimana dijelaskan Syekh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), juz I, hal. 113:

قوله لا من الأسفل - أي فلو رؤيت من ذيله كأن كان بعلو والرائي بسفل لم يضر أو رؤيت حال سجوده فكذلك لا يضر 

“(Pernyataan ‘bukan dari bawah’) maksudnya apabila terlihat dari bawah seperti ketika shalat di tempat tinggi dan terlihat dari bawah, maka tidak masalah sebagaimana jika terlihat saat sujud.”

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

(Muhammad Ibnu Sahroji)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua