Syariah

Apakah Tunanetra sekaligus Tunarungu Masih Wajib Shalat?

Ahad, 31 Desember 2017 | 23:04 WIB

Memiliki anggota tubuh yang bisa berfungsi adalah merupakan suatu nikmat yang tidak terkira. Cara mensyukurinya adalah dengan menggunakan fungsi anggota tubuh kita dengan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah dengan menggunakannya menerima ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

Orang yang memiliki pendengaran dan penglihatan tidak diperkenankan mengulur-ulur waktunya untuk mengerjakan shalat setelah mendengarkan adzan dan atau melihat sudah masuknya waktu shalat. Hal ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Lalu bagaimana dengan seorang tunanetra sekaligus tunarungu, apakah mereka masih wajib menjalankan shalat?

Menjawab hal ini mungkin perlu kita urai terlebih dahulu. Apakah kedua difabilitas tersebut terjadi sejak ia baru lahir atau setelah dia baligh. Jika hal itu terjadi setelah baligh, maka ia memungkinkan mengenal shalat dan tata caranya sehingga ia masih tetap diwajibkan shalat.

Hal ini sesuai tuntunan Nabi dalam haditsnya yang mengharuskan orang tua agar mengajarkan anak-anaknya shalat sebelum baligh melalui riwayat Abu Dawud.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Artinya, "Perintahlah anak-anakmu shalat setelah mereka memasuki usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (karena meninggalkan shalat) bila sudah menginjak usia 10 tahun. Pisahkanlah tempat tidur mereka," (Lihat Abu Dawud Sulaiman As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut, Darul Kutub Al-Arabi, juz I, halaman 185).

Hal ini ditekankan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain.

بِخِلَاف من طَرَأَ عَلَيْهِ ذَلِك بعد الْمعرفَة فَإِنَّهُ مُكَلّف

Artinya, "Berbeda hukumnya bagi orang yang mengalami tunanetra dan tunarungu setelah mengetahui (hukum-hukum syara’) maka sesungguhnya ia mukallaf (diwajibkan shalat),” (Lihat Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, Beirut, Darul Fikr, halaman 9).

Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Al-Bujairimi dalam Syarah Al-Bujairimi alal Khatib:

أَمَّا الطَّارِئُ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ التَّمْيِيزِ فَكَالْأَصْلِيِّ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ التَّمْيِيزِ وَلَوْ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَعَرَفَ الْحُكْمَ تَعَلَّقَ بِهِ الْوُجُوبُ اهـ اج.

Artinya, "Adapun jika kondisi (tunanetra dan tunarungu) itu datang setelah tamyiz,walaupun menjelang baligh dan telah mengetahui hukum (permasalahan) sholat, maka yang bersangkutan terkena kewajiban," ( Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Al-Bujairami ala Syarhil Khatib, Beirut, Darul Fikr, 1995, halaman 408).

Lalu bagaimana jika kecacatan yang ia alami terjadi sejak lahir?

Syekh Nawawi dalam Syarah Kasyifatus Saja menjelaskan bahwa orang tunanetra dan sekaligus tunarungu tidak wajib shalat.

فلا تجب الصلاة علي من خلق أصم أعمى ولو ناطقا

Artinya, "Tidak diwajibkan shalat bagi orang yang dari lahir mengalami tunanetra sekaligus tunarungu walaupun ia bisa berbicara," (Lihat Muhammad bin Umar Al-Bantani, Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja, Beirut, Daru Ibni Hazm, 2011 M, halaman 206).

Dari penjelasan Syekh Nawawi di atas, secara umum dikatakan bahwa orang yang mengalami dua difabilitas tersebut tidak diwajibkan shalat.

Namun dalam kitabnya yang lain, Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan lebih rinci terkait alasan tidak diwajibkannya shalat bagi kaum tersebut.

وَمن نَشأ بشاهق جبل وَلم تبلغه دَعْوَة الْإِسْلَام غير مُكَلّف بِشَيْءوَكَذَا من خلق أعمى أَصمّ فَإِنَّهُ غير مُكَلّف بِشَيْء إِذْ لَا طَرِيق لَهُ إِلَى الْعلم بذلك وَلَو كَانَ ناطقا لِأَن النُّطْق بِمُجَرَّدِهِ لَا يكون طَرِيقا لمعْرِفَة الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة

Artinya, "Siapa yang tumbuh dan tinggal di puncak gunung dan orang tersebut tidak tersentuh dakwah Islam (karena tidak terjangkau), maka mereka tidak terkena hukum wajib. Begitu juga orang yang dilahirkanan dalam keadaan tunanetra dan tunarungu, mereka tidak terkena kewajiban karena tidak ada cara untuk menyampaikan dakwah kepadanya walaupun ia bisa berbicara karena mampu berbicara bukanlah cara untuk mengetahui hukum-hukum syara'," (Lihat Muhammad bin Umar Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, Beirut, Darul Fikr, halaman 9).

Dengan demikian bisa kita ambil simpulan bahwa sebenarnya yang menjadikan tunanetra dan tunarungu tidak diwajibkan shalat adalah ketidakmampuannya dalam menerima dakwah lantaran difabilitas yang dialaminya. Jika ada metode atau cara lain yang mampu mengenalkan dakwah kepada penyandang difabilitas ini maka ia tetap mukallaf. Wallahu a'lam. (M Alvin Nur Choironi)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua