Syariah

Apakah Sah Shalat sambil Bersandar?

Sel, 11 Desember 2018 | 12:50 WIB

Salah satu rukun dalam ibadah shalat adalah berdiri. Wajib bagi setiap orang yang hendak melaksanakan shalat untuk melakukannya dengan cara berdiri. Kewajiban ini tidak bersifat menyeluruh bagi setiap orang, melainkan hanya bagi orang yang mampu melaksanakannya. Jika tidak mampu untuk berdiri, maka ia cukup melaksanakan shalat dengan duduk, jika tidak mampu untuk duduk maka boleh melaksanakan shalat dengan berbaring. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits:

صَلِّ قائماً، فإِن لم تستطع فقاعداً، فإِن لم تستطع فعلى جَنب
 
“Shalatlah sambil berdiri, jika kamu tidak mampu maka dengan cara duduk, dan jika kamu tidak mampu maka dengan cara berbaring miring.” (HR. Bukhari)

Kewajiban berdiri juga tidak menyeluruh pada semua jenis shalat, namun hanya diwajibkan bagi shalat fardhu saja. Sedangkan shalat selain fardhu, seperti shalat dhuha, shalat rawatib, shalat tahajud dan shalat sunnah yang lain boleh dilaksanakan dengan cara duduk. Konsekuensi shalat sunnah dengan cara duduk padahal mampu berdiri adalah pahala yang didapat hanya setengah dari shalat yang dilaksanakan dengan berdiri. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam hadits:

من صلى قائماً فهو أفضل، ومن صلّى قاعداً فله نصف أجر القائم، ومن صلى نائماً فله نصف أجر القاعد

“Orang yang shalat dengan berdiri adalah yang paling baik. Orang yang shalat sambil duduk mendapat pahala separuh dari yang berdiri. Orang yang shalat sambil berbaring mendapat pahala separuh dari yang duduk.”  (HR. Bukhari Muslim)

Menurut pendapat yang paling kuat, boleh-boleh saja orang shalat berdiri sambil bersandar pada benda di belakangnya seperti tembok, papan, atau lainnya, meskipun seandainya sandaran itu dihilangkan maka ia akan terjatuh. Hal ini dianggap cukup dalam melaksanakan kewajiban berdiri dalam shalat, meski dihukumi makruh.  Hukum ini seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab Raudhah At-Thalibin:

ويشترط في القيام، الانتصاب. وهل يشترط الاستقلال بحيث لا يستند؟ فيه أوجه: أصحها وهو المذكور في (التهذيب)، وغيره لا يشترط. فلو استند إلى جدار أو إنسان، بحيث لو رفع السناد لسقط، صحت صلاته مع الكراهة والثاني: يشترط، ولا يصح مع الاسناد عند القدرة بحال. والثالث: يجوز إن كان بحيث لو رفع السناد لم يسقط، وإلا، فلا

"Disyaratkan dalam berdiri yaitu tegak lurus. Lalu apakah disyaratkan berdiri secara mandiri tanpa perantara apa pun? Dalam menanggapi permasalah ini terdapat beberapa pendapat. Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang dijelaskan dalam kitab At-Tahdzib dan kitab yang lain, bahwa tidak disyaratkan berdiri secara mandiri. Jika seseorang bersandar pada tembok atau manusia sekiranya jika sandaran itu dihilangkan maka ia akan terjatuh, maka shalat yang ia laksanakan tetap sah besertaan terkena hukum makruh. Pendapat kedua, disyaratkan berdiri secara mandiri, maka tidak sah shalatnya seseorang yang bersandar ketika ia masih mampu berdiri secara mandiri. Pendapat ketiga, boleh bersandar sekiranya ketika sandaran dihilangkan maka ia tidak terjatuh. Seandainya sandaran itu dihilangkan ia terjatuh maka tidak boleh baginya bersandar." (Syarafuddin Yahya An-Nawawi, Raudhah at-Thalibin, juz 1, hal. 233)

Meski bersandar dalam shalat ini diperbolehkan namun baiknya bagi seseorang agar tetap menjaga shalatnya dari kemakruhan ini dengan tetap melaksanakan shalat berdiri tanpa bersandar. Sebab, permasalahan tersebut masuk persoalan khilafiyah (debatable), sedangkan keluar dari sebuah permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama adalah hal yang sunnah (al-khuruj an al-khilaf mustahabbun). Wallahu a'lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua