Syariah

Ada Najis di Bawah Sajadah, Apakah Shalat Tetap Sah?

Ahad, 24 Februari 2019 | 05:30 WIB

Suci dari najis merupakan salah satu syarat sahnya melaksanakan shalat. Maka wajib bagi seseorang sebelum melaksanakan shalat untuk menghilangkan najis yang masih melekat pada tubuh, pakaian dan tempat yang akan dijadikan objek pelaksanaan shalat. Salah satu dalil wajibnya suci dari najis pada saat shalat adalah hadits:

إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنْ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ

“Apabila pakaian salah satu dari kalian terkena darah haid, hendaknya ia menggosoknya kemudian membasuhnya dengan air, lalu ia boleh mengenakannya untuk shalat.” (HR. Bukhari Muslim)

Darah haid pada redaksi hadits di atas merupakan salah satu contoh kecil dari najis yang tidak ma’fu (tak ditoleransi), sehingga hadits tersebut juga mencakup terhadap wajibnya suci dari najis-najis yang lain. 

Lalu bagaimana ketika sebuah najis terdapat di bawah sajadah, apakah dianggap melaksanakan shalat di tempat yang terdapat najis, sehingga shalatnya dihukumi tidak sah?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut para ulama Syafiiyah berpandangan bahwa najis yang terdapat di bawah sajadah bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, sehingga shalat yang dilaksanakan di atas sajadah yang di bawahnya terdapat najis tetap dihukumi sah. Ketentuan hukum ini misalnya seperti yang dijelaskan dalam kitab Kifayah al-Akhyar:

ولو صلى على بساط تحته نجاسة أو على طرفه نجاسة أو على سرير قوائمه على نجاسة لم يضر ولو كانت نجاسة تحاذي صدره في حال سجوده أو غيره : فوجهان الأصح لا تبطل صلاته لأنه غير حامل للنجاسة ولا مصل عليها

“Jika seseorang shalat di atas karpet yang di bawahnya terdapat najis, atau ia shalat di atas ranjang yang mana penyangganya terdapat najis maka hal tersebut tidak membahayakan shalatnya. Jika sebuah najis sejajar dengan dadanya tatkala ia sujud atau melakukan rukun yang lain, maka dalam keadaan demikian terdapat dua pandangan. Menurut qaul ashah shalatnya tidak batal karena ia tidak membawa terhadap najis dan tidak shalat di atas najis” (Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, juz 1, hal. 108)

Tetap sahnya melaksanakan shalat di atas sajadah yang di bawahnya terdapat najis dialasi karena dalam praktek tersebut seseorang dianggap tidak bersentuhan secara langsung dengan najis dan dianggap tidak membawa terhadap benda atau pakaian yang menempel pada najis. Alasan ini secara tegas disampaikan dalam kitab al-Muhadzab:

فإن صلى على أرض فيها نجاسة فإن عرف موضعها تجنبها وصلى في غيرها وإن فرش عليها شيئا وصلى عليه جاز لأنه غير مباشر للنجاسة ولا حامل لما هو متصل بها 

“Jika seseorang melaksanakan shalat di atas dataran yang terdapat najis, jika tempat najis diketahui olehnya maka hindari najis tersebut dan shalat ditempat lain. jika di atas najis tersebut diberi alas, lalu ia shalat di atas alas tersebut maka hal ini diperbolehkan, karena ia tidak bersentuhan dengan najis dan tidak membawa sesuatu yang menempel pada najis” (Syekh Abi Ishaq Asy-Syairazi, Al-Muhadzab, juz 1, hal. 116)

Namun keabsahan shalat pada sajadah yang di bawahnya terdapat najis perlu dibatasi sekiranya najis tidak sampai menembus pada permukaan sajadah, karena najis yang basah atau sajadah yang tipis misalnya. Sedangkan ketika najis menembus pada permukaan sajadah, maka shalat seseorang tetap dihukumi sah selama pakaian atau tubuhnya tidak mengenai pada najis tersebut. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa najis yang berada di bawah sajadah bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan dan shalat yang dilakukan di atas sajadah tersebut tetap dihukumi sah. Wallahu a'lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua