Seni Budaya

Bisakan Kita Belajar Bijak dari Siluman?

Ahad, 5 April 2015 | 01:59 WIB

Antara siluman (si jahat) dan manusia (si baik) kini tampaknya susah dibedakan. Dalam wujud manusia yang santun dan tampak religius, ternyata ada diantaranya yang merupakan penjelmaan siluman. Dan bahkan baru-baru ini pun pemerintah DKI Jakarta sempat heboh dengan anggaran siluman. <>
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah mereka yang dianggap jahat bisa berubah baik dan apakah yang baik atau menganggap dirinya baik akan terus tetap baik? Inilah yang dicoba ditampilkan oleh teater Koma dalam pementasan Opera Ular Putih pada 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya Jakarta. 

Kisah Ular Putih merupakan cerita klasik asal Tiongkok yang sarat dengan nilai moral. Teater Koma, mampu mementaskannya sesuai dengan situasi kekinian secara apik dan bernas. Kisahnya dimulai dari siluman ular putih (Tinio) yang bertapa selama 1700 tahun sampai akhirnya keinginannya untuk menjadi manusia terkabul. Ia tidak ingin terus menerus menjadi siluman, tetapi ingin merasakan manjadi manusia dengan seluruh suka dan dukanya. Tak sampai di situ, si ular putih pun berkeinginan menikah dengan manusia dan memiliki keturunan. Dengan dukungan siluman ular hijau (Siocing) yang setia menemaninya, ia akhirnya menikah dengan seorang manusia bernama Hanbun.

Setelah menikah, mereka berdua mencurahkan seluruh hidupnya untuk membantu manusia sebagai tabib yang dikenal baik oleh seluruh penduduk kota. Sayangnya, para pembasmi siluman, penerima mandat dari langit datang mengobrak abrik kebahagiaan Tinio dan Hanbun. Pendeta Bahai dan muridnya, Peramal Gowi yang memandang segala sesuatu secara legalistik dan tekstual dalam menafsirkan ajaran agama tetap menganggap Tinio dan Siocing sebagai siluman. Mereka tidak peduli pada segala kebaikan yang telah dilakukan oleh Tinio.

Apakah cap siluman memang tidak bisa dibasuh dengan air jenis apapun? Apakah segala kebaikan yang dilakukan oleh mereka yang dianggap jahat, juga akan dikutuk sebagai kejahatan? Mampukan mata hati manusia membedakan mana manusia dan mana siluman? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus menggelayut. 

N Riantiarno, sutradara Teater Koma mengatakan, tak dapat lagi membedakan antara watak manusia dan siluman. Dengan kata lain, sekarang ini kita hidup diantara mereka yang sifatnya mungkin saja siluman. Mungkin juga dia manusia tapi siluman. Lalu siapa manusia.

“Mungkinkan kita bisa berharap ada manusia yang sifatnya betul-betul jujur dan mampu menangani hal-hal yang bersifat siluman? Maksudnya, apa ada manusia yang mampu mengusir siluman dan menjadikan kita semuanya manusia, yang jujur dan tidak korupsi? Atau tak adakah manusia semacam itu?”

Teater Koma sebenarnya sudah pernah mementaskan lakon Opera Ular Putih ini pada 21 tahun lalu, tepatnya pada 23 April hingga 8 Mei 1994. Anehnya lakon itu selalu menemukan cara yang bijak dan bagus sehingga bisa ditempatkan pada masa yang tepat. Dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Jika dulu berbicara tentang kekuasaan, kini siapa lagi mampu membedakan antara watak manusia dan siluman. Siapa manusia, siapa siluman.

Kelompok teater ini selalu serius dalam menggarap segala sesuatunya. Dalam produksinya yang ke-139 ini, semuanya dirancang dengan cermat. Sesuai dengan konteks cerita yang berlatar belakang China, berbagai atribut budaya negeri tirai bambu ini sangat menonjol, tetapi N Riantiarno tetap memasukkan unsur lokal seperti motif batik dalam setiap pakaian yang dikenakan pemain. Ia juga menampilkan model ondel-ondel yang mencerminkan budaya Betawi. 

Musik, skenografi dan pencahayaan dalam Teater Koma selalu tampil secara memukau. Ditambah dengan dialog yang bernas, kadangkala sarkastik yang menyentil para penguasa kini menjadikan seluruh penampilan mereka menjadi suatu pesan moral yang disampaikan secara menghibur, yang membuat para penonton juga bisa tersenyum melakukan upaya reflektif atas perilakunya sendiri, apakah saya ini manusia, siluman, atau manusia sekaligus siluman.

Satu hal penting yang bisa dipelajari dari  Teater Koma bagi kelompok seni pesantren adalah kemampuan mereka dalam menjaga konsistensinya dalam berproduksi dan menghasilkan seniman-seniman berkualitas. Dakwah tak harus dilakukan secara vulgar dalam bentuk ceramah. Walisongo dengan wayangnya merupakan pendekatan yang sangat sukses dalam konteks zamannya. Keberhasilan seni pesantren, tergantung pada kemampuan berinovasi sehingga mampu menarik simpati masyarakat. (mukafi niam)