Risalah Redaksi

Tantangan Pendidikan di Tengah Covid-19

Ahad, 3 Mei 2020 | 10:45 WIB

Tantangan Pendidikan di Tengah Covid-19

Masalah pembelajaran yang serba-daring bukan cuma persoalan efektivitas tapi juga problem ongkos yang mesti dikeluarkan.

Pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi Covid-19. Sekolah dan perguruan tinggi di seluruh tingkatan diliburkan sebagai langkah pencegahan penyebaran Corona. Para santri di berbagai pesantren seluruh Indonesia pun pulang lebih awal, jauh sebelum Ramadhan untuk mencegah pesantren jadi klaster penyebaran penyakit. Semuanya harus belajar dari rumahnya masing-masing.

 

Ada banyak persoalan dari situasi yang baru pertama kali dialami ini. Program belajar dari rumah tentu tidak memiliki efektivitas yang sama dibandingkan dengan interaksi langsung di sekolah dengan para guru dan teman sebaya. Kemampuan memahami dan menyerap materi yang diajarkan jauh berkurang mengingat siswa hanya belajar di depan layar HP atau komputer karena proses pemahaman sebuah masalah dapat diperoleh secara maksimal dengan menggunakan lima pancaindra. Keterbatasan belajar di layar mereduksi kemampuan alamiah ini. Interaksi dan diskusi dengan sesama pelajar juga mampu meningkatkan pemahaman atas materi-materi sulit.

 

Belum lagi persoalan akses internet yang tidak merata di seluruh Indonesia. Di kota-kota besar, akses internet sudah cukup lancar, tetapi di daerah tertentu aksesnya lambat sehingga belajar secara daring tidak efektif. Sinyal yang hilang menyebabkan terjadinya buffering. Akibatnya siswa kehilangan konsentrasi atau kehilangan bagian tertentu dari materi yang dibahas.

 

Belum lagi soal biaya paket data yang harus dikeluarkan. Jika belajar di sekolah, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya akses internet, mungkin cukup biaya transportasi yang tidak terlalu besar. Untuk belajar daring, dalam satu hari bisa diperlukan satu giga byte. Maka dalam satu bulan, bisa dibutuhkan 20-25 Gbt yang bila dirupiahkan mencapai 200 ribu lebih. Dalam situasi ekonomi sulit seperti ini, tambahan biaya menjadi beban berat bagi banyak orang.

 

Materi-materi tertentu yang sifatnya vokasional yang berguna untuk meningkatkan keterampilan siswa, terutama di SMK atau di perguruan tinggi jurusan vokasional sulit untuk diajarkan secara daring. Guru atau pembimbing harus melihat karya siswa secara langsung untuk mengevaluasi kualitas karyanya. Materi-materi pelajaran yang banyak menghitung seperti matematika atau fisika juga menjadi persoalan. Matematika telah menjadi momok bagi banyak pelajar sejak zaman dahulu. Jika diajarkan di kelas saja banyak yang kesulitan, apalagi jika sekadar melalui belajar daring.

 

Persoalan lain yang muncul akibat Covid-19 adalah biaya operasional sekolah atau perguruan tinggi, terutama bagi lembaga pendidikan swasta. Mereka mengandalkan iuran dari wali murid untuk biaya operasional sekolah. Ketika banyak orang tua berhenti bekerja atau pendapatannya turun, maka ada kemungkinan mereka tidak membayar SPP ke sekolah. Apalagi, siswa belajar di rumah, yang bagi sebagian orang tua dianggapnya tidak perlu membayar SPP karena lebih dominan belajar mandirinya.

 

Dalam situasi seperti ini, sekolah tidak memperoleh pemasukan sehingga mereka tidak mampu membayar gaji guru atau membayarnya tetapi tidak penuh. Bagi guru negeri, hal ini tidak masalah mengingat pemerintah tetap membayar gaji bulanannya dalam situasi apapun, namun bagi guru honorer atau guru sekolah swasta yang tergantung pada pembayaran SPP dari sisiwa, hal ini menjadi masalah besar. Pemerintah telah memberikan dana biaya operasional sekolah (BOS), namun hal tersebut tidak sepenuhnya mampu menutup biaya operasional sekolah.

 

Pesantren menghadapi persoalan yang tak kalah kompleks. Di pesantren, santri tak hanya belajar soal materi-materi yang harus dipahami atau dihapalkan. Namun juga harus menjalankan banyak ritual agama. Ada proses pembelajaran yang awalnya terlihat seperti dipaksa, lama-lama menjadi biasa sampai akhirnya menjadi terbiasa. Santri bangun sebelum subuh untuk shalat tahajud. Sehabis itu, berbagai kegiatan tak berhenti sampai pukul 10 malam ketika mereka istirahat malam. Ritual-ritual seperti ini mampu dijalankan secara efektif di pesantren. Ketika di rumah, maka kurang berjalan maksimal terutama bagi santri yunior yang baru masuk pesantren.

 

Kesiapan para ustadz dan santri dalam pembelajaran daring juga tidak seperti sekolah pada umumnya mengingat para umumnya pesantren melarang penggunaan HP di lingkungan pesantren. Jadi ketika pulang ke rumah, aktivitas pembelajaran di banyak pesantren juga berhenti. Sejumlah kiai pesantren telah mencoba menyelenggarakan pengajian yang disiarkan secara langsung di media sosial, tetapi metode pengajian yang masih konvensional ternyata kurang tepat diterapkan di dunia maya.

 

Dalam situasi seperti ini, pemerintah seharusnya turun tangan. Untuk akses internet, pemberian internet gratis bagi pelajar dan mahasiswa akan sangat membantu. Anggaran pelatihan prakerja sebesar 5.6 triliun sebaiknya direalokasikan untuk aktivitas yang jelas-jelas produktif bagi masa depan generasi muda Indonesia dibandingkan dengan didistribusikan untuk pelatihan online yang sesungguhnya bisa diakses secara gratis.

 

Dalam konteks operasional sekolah, selayaknya terdapat anggaran yang dialokasikan secara khusus. Membantu sekolah jelas memberi dampak yang lebih besar dibandingkan memberikan alokasi dana kepada perusahaan rintisan penyedia pelatihan kerja yang berorientasi mencari keuntungan. Apalagi beberapa perusahaan tersebut berbadan hukum di negara asing. Sangat tidak layak jika anggaran negara yang berasal dari pajak dialokasikan untuk perusahaan asing sementara sekolah yang jelas-jelas mendidik anak bangsa kesulitan memenuhi kebutuhan operasionalnya.

 

Perkembangan teknologi digital telah menjadi suatu kemestian. Dan hal ini terus berlangsung semakin cepat dalam bentuk yang semakin canggih. Lingkungan pesantren harus mengadopsi perkembangan ini untuk membantu proses belajar-mengajar. Namun harus diingat bahwa nilai utama pendidikan pesantren adalah pada perubahan perilaku sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. (Achmad Mukafi Niam)