Risalah Redaksi

Perjuangan Buruh Belum Selesai

Sen, 1 Mei 2006 | 14:35 WIB

Beberapa hari ini wacana tentang gerakan buruh begitu besar mendominasi media massa, terutama menjelang peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), 1 Mei 2006, yang dianggap hari keramat bagi kaum buruh. Di tengah gemuruh kaum buruh itu tiba-tiba kita dikejutkan oleh meninggalnya sastrawan besar dunia, yaitu Pramoedya Ananta Toer (Pram), yang juga adalah seorang pejuang kaum tertindas yang sangat gigih.

Perjuangan kaum buruh hingga saat ini belum usai, belum lama mereka mendapatkan kebebasan dan kesejahteraan yang memadai, tiba-tiba Undang-undang (UU) yang menjamin kesejahteraan mereka direvisi. Tentu saja rencana pemerintah yang memihak kaum pengusaha itu membuat buruh geram. Kegeraman buruh itu mendapat momentumnya ketika sekelompok politisi berusaha melakukan kritik terhadap rezim yang berkuasa. Pertemuan dua kepentingan itu yang membuat gerakan protes begitu masif.

<>

Namun hingga saat ini belum ada jaminan dari pemerintah, bahwa rencana untuk merevisi UU Ketenagakerjaan dibatalkan sesuai dengan yang mereka tuntut. Sebaliknya pemerintah hanya menginginkan demonstrasi mereka sekadar syukuran atas datangnya hari buruh sedunia. Artinya, pemerintah masih berdiri di pihak pengusaha, ketimbang menuruti tuntutan kaum buruh dan tuntutan rakyat pada umumnya, terbukti hingga saat ini belum memberikan kepastian apapun, sehingga UU akan tetap direvisi.

Memang selama ini pemerintah lebih memihak kepada pengusaha, terutama perusahaan internasional atau multinasional, karena mereka itu kuat secara modal dan politik, sehingga bisa menekan pemerintah mana saja. Termasuk pemerintah Indonesia yang bisa ditekan oleh kelompok bisnis besar itu. Hampir semua kebijakan merupakan aspirasi kelompok pengusaha, bukan aspirasi rakyat.

Seluruh karya Pram menunjukkan bagaimana kekejaman kapitalisme terhadap kaum buruh dan kaum tani sepanjang sejarah Indonesia berdiri, sebagaimana yang terjadi di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo dan juga industri Belanda yang lain. Semuanya tergambar sangat nyata dalam novel Bumi Manusia. Tulisan Pram tentang Jalan Pos Anyer-Panarukan, juga melukiskan kekejaman Belanda terhadap kaum buruh dan tani sehingga banyak yang mati selama masa pembuatan jalan raya trans-Jawa itu.

Kehadiran Pram memang sangat terkait dengan perjuangan kaum tertindas, karena itu kepergiannya diratapi banyak orang. Demikian juga ia seorang cendekiawan besar, ia tidak hanya menulis novel biasa, tetapi menulis sebuah novel sejarah, sehingga pengetahuannya di bidang sejarah melebihi sejarawan yang ada. Dia sangat gigih menggali sumber sejarah, selain itu ia mampu menghayati semangat sejarah, sehingga mampu melukiskan denyut jantung masyarakat pada masa lalu. Kebesaran karakternya juga tercermin dalam tulisan serta sikap hidupnya yang konsisten.

Bagaimanapun perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme, sebagaimana diperjuangkan kaum buruh dan Pram selama ini mendapatkan jalan lempang, sehingga cita-cita luhur yang diemban dapat dicapai. Berbagai jalan perlu ditempuh oleh kaum buruh, salah satunya demonstrasi, tetapi selain itu juga bisa dengan lobi, dan penataan lembaga serta perundangan yang ada.

Sebagaimana kelompok buruh yang lain, kelompok buruh NU, yakni Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslimin Indonesia) juga turut meramaikan demonstrasi ke Bundaran Hotel Indonesia dan Istana Merdeka. Bahkan, Sarbumusi di Surabaya merupakan kelompok buruh mayoritas, sehingga demonstrasi tersebut memadati kota Surabaya. Ini menunjukkan basis sosial NU tidak lagi hanya masyarakat agraris. Mereka adanya mobilitas sosial, masyarakat tani yang terpelajar atau memiliki sedikit kemampuan telah bekerja di sektor Industri, karena itu mereka menjadi buruh, sementara kondisi mereka sangat pas-pasan terutama setelah kenaikan BBM.

Mengingat kondisi semacam itu, Sarbumusi juga melakukan aksi turun jalan memrotes rencana pemerintah merevisi UU No.13/2003 yang melindungi kaum buruh. Kepedulian NU terhadap nasib kaum buruh itu sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran di kalangan NU bahwa basis sosial mereka telah bergeser, dari tani ke industri. Kesadaran itu penting agar NU tidak terlepas dari aspirasi warganya, terutama yang nasibnya belum menentu dan membutuhkan perjuangan. (Mun’im DZ)